Karena ada permintaan pembaca untuk melanjutkan “dongeng JROP” yang sudah dimuat di “Harian ILP” terbitan hari Senin tanggal 9 November 2015 – “terpaksa” dongeng itu harus dituliskan lanjutannya – dengan #senang_hati. Mbulet kan bahasanya.
Selain itu juga karena di bawah edisi yang pertama sudah terlanjur saya tuliskan BERSAMBUNG.
Kedua hal itu perlu saya tuliskan, supaya tidak dikira menyaingi cerita bersambung yang sudah eksis di harian ILP tercinta – seperti MM (Mangir Membara) dan MR (Mas Rara) – karya pak Apung Swarna.
++
Setelah beberapa saat berada di ruang tunggu Bandara Juanda – akhirnya kami dipanggil untuk segera memasuki pesawat melalui pintu sekian. Oleh staf UKH, kami dipilihkan maskapai Merpati Nusantara Airline.
Bukan menuduh macam-macam atau sejenisnya.
Saat itu – di kemudian hari setelah sekian lama di Ambon – baru kami tahu bahwa kalau naik Merpati, dan punya NIK Telkom, maka pembelinya mendapat diskon sebesar 25%. Di tiket dituliskan – misalnya – Rp 100, tetapi bayarnya hanya Rp 75. Karena itu kalau ada karyawan ingusan, maka karyawan yang kreatif berlomba-lomba membantu menolong.. Ini hanya untuk mengenang cerita2 lucu saat muda..
Dari kami berenam – lima orang, sebelumnya belum pernah naik pesawat sama sekali. Jadi bagaimanapun – selain merupakan SPJ pertama, ini juga menjadi pengalaman pertama naik pesawat.
Dari Surabaya, kami transit di Makasar (Ujungpadang). Saya lupa, saat itu nama kotanya pas lagi bernama Makasar atau Ujungpandang. Wajar lupa. Lha sudah 40 tahun, dan kotanya suka ganti nama.
Kalau ditanya berapa lama durasi terbang Surabaya – Makasar, terus terang itu saya juga lupa. Begitu juga durasi terbang Makasar – Ambon. Kalau semua lupa, apa yang ingaat..? Yang saya ingat, dari Surabaya ke Makasar, di udara kami dapat jatah sarapan. Dari Makasar ke Ambon, dapat lagi – maksi.
Selama perjalanan rasa sedih masih terasa. Hanya agak terhibur setiap kali ada pramugari menawari dan mengantarkan minuman dan atau makanan. Apalagi – nggak tahu bagaimana ceritanya saat itu, saya duduknya di kursi paling belakang. Sendirian.
Sehingga sering pramugari yang pas lagi tidak ngapa2in, suka duduk istirahat di samping saya.
Herannya saya merasa senang – tapi saya tidak ingin mengajaknya bicara. Mungkin juga karena umur mereka ada di atas kami. Saya tetap hanya berbicara dengan diri sendiri. Dalam hati.
Dengan topik atau isi: membayarangkan masa depan nanti. Di kota yang belum kami mengerti.
Karena banyak yang sudah lupa, saya ceritakan saja langsung yang saya tidak lupa, yaitu kejadian2 menjelang pesawat turun di Bandara Ambon. Dari atas kami melihat, Bandara ada di pinggir pantai.
Juga melihat tanah pulau Ambon yang tidak rata. Kelihatan bergunung-gunung, meski tidak tinggi.
Ada sedikit keheranan, sekitar Bandara kok tidak terlihat deretan rumah seperti umumnya kota.
Setelah mengurus ini itu, kami keluar dari gedung Bandara, soal urusan bentuk rumah kami segera lupa.
Yang kami hadapi adalah para sopir yang menawarkan “taksi”. Mereka menyebut taksi, tetapi kendaraan yang terlihat adalah minibus. Oleh aparat Bandara tidak terlihat adanya pengaturan taksi seperti halnya umumnya bandara jaman sekarang.
Para sopir berebut menawarkan langsung ke para calon penumpang. Calon penumpang kayak kami – yang belum tahu tatacaranya, akhirnya ya ikut aja apa kata salah seorang sopir yang menawarkan kepada kami dengan gigih, dan sekaligu membantu membawakan koper kami.
Ya koper pertama yang kami miliki. Koper bersejarah – karena dibeli dengan uang SPJ di pasar Blauran.
Sudah ada kuitansi dari tokonya sih. Jadi kalau nanti boleh dipertanggungkan, kuitansi sudah siap.
Artinya blanko kuitansi masih utuh 100 lembar. Kami ikut saja saat sopir membawaka koper kami, karena kata beliau, naik taksi mana saja, taripnya ke kota (Ambon) sama saja. Tarifnya rata-rata.
Bayarnya hitung orang. “Jadi naik beta pung taksi atau naik dorang pung taksi, sama saja Mas…”, begitu katanya. Ya, para sopir – begitu melihat wajah kami, langsung mereka memanggil kami “Mas”..!!
Ternyata, sopir ini membawa kami ke taksi, yang ada di urutan sekitar 4 atau 5. Bukan yang di urutan pertama. Saat semua koper sudah tertata rapi di dalam mobil, dan kami berenam sudah duduk manis, tiba-tiba di luar ada suara gaduh.
Para sopir lain memarahi sopir yang rencananya akan mengantar kami. Suaranya keras, tapi kata-katanya tidak terlalu jelas. Sebagian kata tidak ada bedanya dengan bahasa Indonesia, tetapi sebagian diucapkan sangat cepat, sehingga kami tidak tahu maksudnya. Kira2 yang diucapkan adalah:
“Beta su nunggu labih dua jam, ose langsung bawa penumpang jatah beta. Cukimai..”, dan seterusnya..
Kemudian, setelah perkelahian mulut mereda:
“Mas harus turun. Mereka tidak mengijinkan mas-mas jalan duluan. Jadi mas-mas harus naik taksi nomor urut 1 lebih dulu. Kalau sudah penuh, baru taksi nomor 2 boleh jalan”.
Saya sempat menanyakan ke sopir tersebut, kalau tahu begitu aturannya, mengapa dia minta kami naik taksinya. Si sopir menjawab, kalau penumpangnya langsung 6 orang, dan langsung jalan – karena dianggap penuh, biasanya boleh. Syaratnya di jalan tidak boleh ambil penumpang lagi.
Namun kemudian yang kami lihat adalah para sopir tertawa-tawa kembali. Padahal kalau liat kemarahan para sopir sebelumnya – kalau itu terjadi di Jawa, dugaan saya akan segera diikuti perkelahiaan. Ternyata di Ambon, hal seperti itu adalah hal yang biasa. Semua orang kalau bicara ya keras volume dan keras juga kata-katanya. Kalau marah, kata-kata yang keluar adalah apa adanya..
++
“Taksi” minibus Mitsubishi yang kami naiki segera berjalan keluar dari area Bandara. Jalanan sepi. Kanan kiri yang terlihat adalah pepohonan dan rerumputan. Yang kanan pendek, yang kiri seperti pegunungan. Sesekali terlihat rumah-rumah sederhana. Beratap daun rumbia, berdinding batang pohon gaba-gaba.
Rumah-rumah semacam itu, tidak benar-benar rapat dindingnya. Dari luar orang masih bisa mengintip apa yang ada di dalamnya. Tapi mungkin juga ada untungya, yaitu ada angin sumilir mengalir ke dalamnya. Sesekali ada warung, rumahnya pakai seng. Dindingnya semi permanen, seperti tembok, tetapi bukan tembok kayak di Jawa.
Dinding itu di dalamnya tanpa batu bata. Hanya bambu dan kawat yang dianyam, kemudian di pinggir luar dan dalam dikasih adukan semen. Setelah berjalan beberapa saat, di sebelah kanan terlihat “semacam” pantai. Dan pemandangan di seberangnya seperti pulau lain. Sang sopir bilang: “Itu kota Ambon. Kita akan ke sana”.
Kami merasa heran, tidak membayangkan kalau pulau Ambon itu berbentuk teluk. Bandara dan kota saling berseberangan. Tapi saat itu kami belum benar-benar paham maksud sang sopir. Karena itu kami menanyakan, bagaimana kami akan sampai ke sana, apakah memutar?
Sang sopir menjawab: “Tidak”. Makanya kami makin heran.
Tapi setiap kali kami bertanya, bahasa kami “belum nyambung”.
Mereka tidak tahu maksud kata “memutar”.
Sedangkan penjelasan panjang lebar sang sopir tentang cara mencapai kota yang kelihatan di seberang kanan, kami tidak paham.
Belum sempat kami paham, dan masih agak terheran-heran, kami dikagetkan hal kedua.
Oh ya, yang nomor satunya adalah saat ada “pertengkaran sopir”.
Tiba-tiba mobil keluar dari jalan raya, dan memasuki jalan tanah disamping jalan aspal.
Kami tanya: “Mengapa lewat sini?”.
Yang kami pikirkan saat itu adalah: apakah kami akan #dirampok?
Sang sopir menjawab: “Katorang harus cari jalan lewat sini mas. Katorang cari bagian sungai yang dangkal..”
Kemudian di jalan tanah itu mobil kami ketemu dari lawan arah, beberapa mobil lain.
Sang sopir bertanya jawab dengan sesama sopir, pakai bahasa yang kami tidak paham.
Sopir kami kelihatan senang, kemudian melanjutkan perjalanan lewat jalan tanah.
Dan kemudian, jalanan bukan sekedar jalan tanah, tetapi mobil kami berjalan disamping sungai. Hanya sekitar satu dua meter dari pinggir sungai… Di kirinya ada semacam tebing sungai..
Dan kemudian dilanjutkan: #masuk sungai…!!!
Sang sopir tegang. Mobil sesekali terasa seperti perahu. Terangkat dan tergoyangkan. Kami #lebih tegang. Tapi juga agak #lega. Dan baru agak paham. Ternyata jalan raya di atas tadi – tidak ada jembatannya. Atau jembatannya lagi diperbaiki. Tetapi tidak disiapkan jembatan darurat seperti kalau perbaikan jembatan di Jawa.
Di kemudian hari baru kami tahu bahwa saat sopir berbicara dengan sopir lain, dan terlihat lega, itu adalah karena sopir yang dari seberang sudah berhasil mendapatkan bagian sungai yang dangkal – kemudian memberi tahu lokasi itu.
Ya, kami lega. Meski mobil harus masuk sungai untuk menyebrang, tetapi lega, karena ternyata kami bukan mau dirampok. Karena, yang sebenarnya terjadi adalah sopir sedang mencari jalan terbaik supaya bisa menyebrang sungai, supaya bisa sampai kota Ambon. Sopir sedang melayani konsumennya dengan sebaik-baiknya. Bukan mau merampok.
Sebelum sampai kota Ambon, ternyata ada 2 sungai lagi yang kayak gitu..
Jadi, ada 3 sungai yang harus kami seberangi dengan cara itu. Saat itu… Duh rikolo sakmono..
++
Kejadian – bahwa kami tidak paham bentuk pulau yang menjadi letak kota Ambon seperti yang kami ceritakan di atas, kami bingung saat sopir menunjuk deretan rumah di seberang adalah kota yang akan kita tuju – mungkin tidak akan terjadi kalau jaman sekarang. Sekarang sebelum sampai kota tujuan, kita bisa pelajari segala sesuatu dan tanyakan lewat mbah Google.
Tapi di saat itu – sebenarnya saya sudah mencoba mempelajari “peta” Ambon.
Yang kami dapatkan adalah: kalau petanya bukan peta khusus, maka kota Ambon seperti bagian dari pulau yang sangat besar. Ini khusus peta yang skalanya besar. Di kemudian hari baru kami tahu, pulau yang besar itu adalah pulau Seram. Ya, kita lihat peta kecil, kota Ambon seperti bagian dari pulau Seram.
Padahal, kota Ambon sebenarnya kecil sekali. Makanya kalau pakai peta kecil, pulau Ambon hanya terlihat seperti “titik”. Bentuk pulau Ambon sendiri ternyata suatu pulau dengan seakan 2 kaki. Kaki yang satu adalah kota Ambon, kaki yang satu adalah pedesaan di mana di ujungnya ada Bandara Pattimura.
Tahun 1976, wilayah kota Ambon 4,2 km2. Itu kira2 sama dengan 2 kali luas “Jeron beteng” kota Yogya. Bayangkan – kecil sekali. Tetapi jumlah penduduknya saat itu 102.000 orang. Jadi tengah kotanya padat. Padahal di luarannya masih banyak tanah kosong. Hanya berbentuk gunung. Kota seluas 4,2 km itu memanjang mengikuti kelok garis pantai. Jarak Bandara ke kota Ambon sekitar 36 km.
Kalau pulaunya kecil, mengapa bisa jadi ibukota propinsi?
Jawabnya: dulu Belanda memilih Ambon untuk tujuan “strategi pertahanan”.
++
Selanjutnya kami memutari teluk, sepanjang pantai. Pemandangannya indah, tapi monotoon.
Di kanan gunung, di kiri pantai. Makanya orang Ambon kalau ditanya Utara-Selatan, umumnya mereka tidak tahu. Dalam hal arah, mereka menggunakan istilah: #Kalao (ke arah laut) #Kadara (ke arah darat)
Monotoon, tapi indah. Sesekali ketemu perkampungan orang Islam. Cirinya ada masjidnya. Sesekali ketemu kampong orang Kristen. Kampung orang Kristen umumnya lebih rapi dibanding kampung orang Islam. Mungkin karena pengaruh ada orang luar – pendeta.
Apakah orang Maluku rasis/ SARA? Tidak. Saat itu tidak..!!
Sistem perkampungan mereka, memang kalau satu desa Islam – semuanya penduduknya orang Islam.
Kampung Kriten – seluruh penduduknya Kristen. Apakah mereka bermusuhan? Tidak. Saat itu tidak..!!
Justru sebenarnya ini saling menghormati.
Katanya: “Daripada kami saling menyakiti”. Mereka memberi contoh:
“Kami memelihara babi, pasti orang Islam tidak suka”
“Kami mengaji pakai suara keras di masjid, pasti orang Kristen juga tidak suka”.
“Tapi kami bahkan punya “#pela” – hubungan kekeluargaan antar desa, tanpa memandang agama. Desa yang punya pela, hubungan dengan desa lain itu kadang bahkan lebih dari sekedar saudara.
Kalau #pela_gandong, kami lebih dekat daripada saudara kandung. Padahal beda agama.”
Saya menyaksikan, itu bukan hanya ceritera, tetapi kenyataan..!!
Dengan catatan: sebelum kerusuhan..
++
Akhirnya kami sampai di kota. Begitu sampai kota, kami bingung mencari kuitansi, untuk pertanggungan kuitansi taksi. Kami sudah obok2 koper 6 orang, kuitansi tidak ketemu. Karena itu kami minta diantar ke toko yang jual kuitansi. Ternyata saat itu, untuk seluruh kota, hanya ada 2 toko yang jual kuitansi.
Dua2nya terletak di jalan AY Patty.
Kami diantar ke sana. Begitu sampai di sana, penjaga toko tanya:
“Baru pertama di Ambon ya mas..?”
Lho kok tau?
“Bahasanya medok sekali Jawanya, mas”.
“Saya dulu sekolahnya juga di Jawa mas. Mari. Kita masuk ke dalam yuk, kita minum teh”.
Ternyata bahasa kami mudah sekali dikenali, sebagai orang baru.
Sesuai pesan, pak Sopir kemudian mengantar kami ke hotel. Saat itu di Ambon hanya ada 2 hotel.
Satunya bernama HI – tapi lupa kepanjangannya, mungkin Hotel Islam, atau Hotel Indonesia.
Satunya lagi bernama Hotel Abdul Alie..
Untuk Hotel Abdul Alie terus terang sebenarnya saya lupa cara menuliskannya.
Yang jelas, sebenarnya pemilik hotel itu adalah orang keturunan Cina Musim, bernama Abdullah Lie.
Selain pengusaha hotel, pak Abdullah Lie adalah juga pengusaha minyak kayu putih. Saat itu minyak kayu putih Abdul Alie adalah merupakan salah satu komoditi oleh2 khas Ambon.
Pemilihan hotel Abdul Alie ini adalah rekomendasi pak Sopir.
Bagi sebagian besar kami, ini adalah pertama kalinya kami akan tidur di “hotel” meskipun sebenarnya hanya hotel sederhana. Paling tidak, kalaupun pernah tidur di hotel, tetapi melakukan check in sendiri sebuah hotel – ini adalah pengalaman pertama.
Karena kami berenam, kami pesan 3 kamar. Per kamar diisi 2 orang.
Setelah check in, segera kami masuk ke dalam kamar masing- masing.
Yang pertama kali kami lakukan adalah: mandi. Maklum, setelah sampai Ambon – situasi sudah sore.
Maklum jugalah, Ambon ini kan masuk Waktu Indonesia Timur.
Jadi gampangannnya, kalau pesawat berangkat jam 8 pagi dari Surabaya.
Durasi penerbangan plus transit di Makasar total adalah 6 jam. Maka saat itu adalah 8 + 6 + 2, yang berarti sudah jam 4 sore. Habis mandi, beberapa dari kami duduk-duduk di depan kamar, menikmati teh yang disediakan hotel.
++
Tiba-tiba – menurut resepsionis ada orang Perumtel datang mencari kami.
Bocoran: ini kejutan ketiga yang kami hadapi hari itu.
“Mas, tidak boleh tidur di hotel. Sudah disediakan tempat di Tanah Lapang Kecil”.
“Lho, tapi bagaimana ini kami sudah masuk. Sudah check in. Bahkan sudah minum teh?”.
“Tidak apa. Saya sudah bicara sama pemiliknya. Tidak perlu bayar”.
Kami berenam berembug. Salah seorang nyeletuk, kita kan bayar pakai uang sendiri, kenapa tidak boleh tidur di hotel, meski hanya semalam? Tapi sang tamu yang ternyata adalah petugas UKH DTEL XI tersebut bisa menjelaskan semua pertanyaan – detilnya saya lupa – tapi intinya:
Karyawan rendahan aja gaya, tidur di hotel. Mbok uangnya dipakai untuk yang lebih perlu.
Iya sih. Maka kemudian koper kami rapikan lagi.
Terus diantar tamu tadi, ke satu rumah dinas di Tanah Lapang Kecil.
—-
(BERSAMBUNG – capek ngetiknya karena pakai HP)
Angket: besok perlu dilanjutkan gak sih ceritanya?
Penting2 gak sih..? (Agus Suryomo)-FR