P2Tel

Hujan Bulan Juni

DI dalam sangkar, sepasang merpati tampil seolah mereka sudah ditentukan jodohnya. Meski keduanya bisa berasal dari hutan berlainan, di dalam sangkar itu mereka tampak jatuh cinta, bertelur, dan menetaskan anak burung. Kalau ditanya soal hutan asalnya, mereka mungkin bisa menjawab, tapi mungkin juga mereka tidak berpikir asal itu penting.

Sayangnya di dalam dunia manusia, asal usul seolah mahapenting, perbedaan dianggap genting. Hal itulah yang menjadi ganjalan tautan kasih dua manusia bernama Sarwono dan Pingkan. Sarwono dosen antropologi di FISIP UI. Sementara itu, Pingkan asisten dosen muda program studi Jepang di universitas yang sama.

Keduanya saling mengenal karena Sar–begitu dia akrab disapa–bersahabat dengan abangnya Pingkan. Sarwono paling benci ketika dipanggil Wono yang artinya hutan. Itu membuat namanya terkesan berarti kesasar (dari sar) di hutan. Padahal, dia yakin namanya diambil dari kata sarwo (serba) dan ono (ada), alias serba ada. Pingkan perempuan yang pintar, cantik, dan berkarakter.

Mudah saja untuk jatuh hati kepada Pingkan yang di jantungnya dipompa darah Manado dan Jawa. Sebaliknya, Sarwono yang ‘asli’ Jawa dikenal genius, mampu dan diandalkan mengerjakan penelitian2 yang enak dibaca. Percintaan keduanya lantas terjadi nyaris alamiah saja, tanpa upaya berlebihan, dimulai dan dibumbui kekaguman.

Namun, kisah keduanya menjadi pelik ketika muncul niat untuk melanggengkan hubungannya lewat pernikahan. Meski ibunya Pingkan berasal dari Solo, ayahnya Manado. Ketika mereka menikah, ayahnya meminta agar ibunya berpindah agama dari Islam. Karena garis keturunannya, Pingkan menjadi liyan. Di Solo ia jadi Manado, di Manado ia dibilang Jawa.

Dia bingung, mana yang memberi label itu, nama atau darah. Padahal, bagi Sarwono jawabannya sederhana, mereka semua Indonesia Raya. Ibunya Pingkan pun tidak pernah bisa atau tidak mau menyebut dirinya Jawa meskipun Jawa. Konon di Makassar, perempuan pendatang dari Jawa pernah dikaitkan dengan profesi yang dianggap haram oleh masyarakat.

Jadi ibu yang namanya di kartu tanda penduduk itu ditulis Hartini, tetap saja dianggap liyan. Suaminya–ayah Pingkan–pernah berkata ke kedua anak mereka, “Dari mana pun asal usul ibu terserah, bukan masalah. Asal tidak dari neraka.”

Kritik sosial
Meski sempat menanyakan apakah Sarwono sadar konsekuensi menikah dengan Pingkan yang tak hanya campuran Jawa-Manado, lain agama, tetapi juga berpendidikan dan mendapat tawaran beasiswa untuk belajar ke Jepang, secara tidak terduga keluarga lelaki itu tidak menentang. Begitupun ibunya Pingkan, perempuan itu telah menerima dosen antropologi itu sebagai calon mantunya.

Akan tetapi, kicau burung yang nyaring mengusik justru datang dari tante-tante Manado, keluarga ayahnya. Mereka berharap Pingkan menikah dengan orang Manado sebelum pergi ke Jepang. Agar sesudah selesai sekolahnya, dia pulang dan mengajar di Manado, tanah kelahiran ayahnya.

“Kalau nanti kalian kawin, anak-anakmu ikut siapa?” Itu di antara pertanyaan yang diajukan dengan niat menentang perkawinan Pingkan-Sarwono. Kisah cinta yang diwarnai pertentangan atas dasar perbedaan suku dan agama itulah yang tertuang dalam novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.

Buku yang mengalami alih wahana dari puisi jadi lagu dan komik itu diluncurkan 14/6/2015. Saat ditemui jelang peluncuran bukunya, Sapardi mengatakan Hujan Bulan Juni pun segera beralih wahana menjadi film. Hadir sebagai novel, tulisan lelaki yang tetap produktif meski sudah menginjak usia 75 tahun tersebut kental kritik sosial.

Sampai zaman yang sudah lanjut ini, kendati sudah lama mengakui Indonesia sebagai bangsa yang utuh, masih ada pengaruh keluarga dalam perkawinan antarsuku dan agama. Bukan hanya di Jawa dan Manado, keluarga besar merasa ada hak milik atas anggotanya. Mengutip kalimat Sapardi, “Dongeng adalah jawaban yang diajukan suatu kaum tentang hal2 yang menyangkut keberadaannya (hlm 52).”

Pingkan tak peduli itu semua, tidak peduli pendapat orang, dia justru berharap Sarwono mengikutinya ke Kyoto, Jepang. Dalam skenario indah yang ada di benaknya, keduanya tak perlu kembali. Menikah di negara itu lebih mudah. Akan tetapi, keinginan perempuannya itu justru membuat Sarwono masygul.

Cintanya tak perlu diragukan, sayang dia tipikal lelaki yang tak pernah membayangkan hidup di tempat selain tanah yang selama ini dipijaknya.

Segar dibaca
Sapardi membuktikan belum bosan bereksperimen dengan tulisannya. Di sela tulisannya pada halaman 39-43, dia menyisipkan dialog antara Sarwono dan Pingkan. Meski nyeleneh, perbincangan itu hadir kian menghidupkan karakter tokohnya yang cerdas dan berpikir dengan cara yang kerap tak lazim.

Lain lagi yang muncul di halaman 44-45 yang terdiri dua kalimat, panjang dan pendek. Di kalimat yang panjangnya melintas hingga halaman berikutnya, dia tidak membubuhi satu tanda koma pun. Entah kebencian apa yang Sapardi miliki terhadap tanda koma, atau dia hanya menghidupkan karakter Sarwono yang acuh, menekankan ada banyak hal tak berguna yang bisa dihilangkan tetapi kita tak akan kehilangan makna.

Meski mengambil judul sama dengan puisinya Hujan Bulan Juni, jangan harap menemukan puisi itu di dalam novelnya. Sapardi merasa tak perlu menghadirkannya kembali. Sebagai gantinya, buku itu ditutup dengan Tiga Sajak Kecil. Bila saja buku ini hadir dengan judul yang tidak identik dengan namanya, pun memilih nama pena, kiranya bisa saja karyanya dianggap sebagai karya segar penulis muda.

Kemudaan dua tokohnya mendorong Sapardi menulis soal fenomena komunikasi masa kini, mulai aplikasi Whatsapp hingga kebiasaan bertukar foto selfie. Bisa juga itu artinya Sapardi tidak pernah menua, hanya bertambah muda dan mengikuti zaman yang bergerak. (M-2)
—————————

Judul : Hujan Bulan Juni (novel); Penulis : Sapardi Djoko Damono; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 135 halaman; (http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/14468/Menjadi-Liyan/2015/08/16)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version