P2Tel

Kok bisa ya Soto Sulung?

Di musim hujan ini di rumah Johar 2x kedatangan tamu tak diundang, banyak lagi. Mereka adalah laron tapi jenisnya kecil. Kalau laron biasa bentang sayapnya 4 cm, maka laron ini pendek, sekitar 1 cm. Beratnya kurang dari 1/4 laron biasa. Laron jenis kecil ini kalau di kampung Pak Johar namanya Sulung.

 

Jaman dulu, Pak Johar kecil dan hidup di kampung, kadang anak2 (dan seringkali ortu juga) memasak laron kalau pas musim. Dibakar, digoreng atau dipepes. Rasanya ? Gurih. Mengapa hanya pas musim? Sebab sulit mengumpulkan laron banyak. Sedang musim saja sulit, apalagi tidak musim.

 

Ketika Pak Johar dewasa dan merantau ke kota lain, di melihat ada warung berlabel “SOTO SULUNG”. Pak Johar heran, dia pikir mungkin orang menjual soto sulung, berbahan sulung alias laron kecil. Pertama enakkah? Apa sebagai taburan kayak ebi goreng atau bawang merah goreng?

 

Apa ya ada pelanggannya? Kalau memang sukses, bagaimana mendapat pasokan sulung untuk sotonya? Musim laron saja sulit, apalagi di luar musimnya. Sulung ini jauh lebih kecil dari laron biasa. Di kepalan Pak Johar segala pertanyaan berkecamuk membelenggunya. Namun dia juga tidak mencoba mencari tahu. Ya sudah, katanya dalam hati.

 

Nggak perlu dicoba, toh dia sudah tahu rasanya laron dan dia tidak cocok dengan yang namanya masakan dari laron. Jadi buat apa mencoba soto sulung? Tahun berlalu begitu cepat. Kayak tulisan di novel saja. Pada suatu hari Pak Johar makan bersama kawan satu kantor di sebuah warung soto.

 

Di sana ada beberapa macam soto, salah satunya soto sulung. Soto sulung ini ternyata khas atau gaya Jawa Timur (Madura?) dengan ‘isi utama’ berupa daging sapi atau jerohannya. Sama sekali tak ada yang namanya sulung (laron kecil). Ya jelas enak, bahannya daging sapi. Soto Sulung berbahan baku daging sapi kok dikira soto berbahan laron kecil; KBY. Kok bisa ya ? (Widarto KS)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version