Teknologi selalu selangkah lebih maju dibanding perkembangan zaman. Masih hangat dalam ingatan tahun ini aplikasi ojek online hadir dan mengubah pola transportasi. Aplikasi ojek online jadi angin segar bagi warga perkotaan (baca: Jabodetabek) yang tidak menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas namun enggan menggunakan transportasi umum.
Sekian lama beroperasi, pro-kontra muncul. Menhub I-Jonan sempat melarang aplikasi ini karena tidak sesuai UU (17/12). UU menyebut, transportasi umum minimal beroda tiga, berbadan hukum, dan memiliki izin angkutan umum. Kabar pelarangan operasional ojek online itu heboh dalam semalam. Tagar #saveGojek jadi trending topic di jagad twitter malam itu yang masih disambung esok harinya.
Di hari yang sama (18/12) pengendara dan penggemar ojek online bernafas lega. Tak berselang 24 jam dari pelarangan ojek online, Menhub ‘memberi kelonggaran’ penggunaan kendaraan roda dua untuk transportasi hingga tersedianya transportasi publik layak. Hal ini diamini Presiden. Jokowi menilai larangan ojek online sama seperti mengekang kreativitas anak muda.
Jokowi menyebut produk aplikasi ojek sebagai inovasi. Tidak ada yang mengatur ojek sebagai transportasi umum tak bisa jadi alasan melarang mereka beroperasi. Bak autokritik, Jokowi mengatakan pemerintah seharusnya menyiapkan aturan baru sehingga ojek menjadi sarana transportasi yang legal.
Ini cerita mengenai aplikasi yang dimanfaatkan untuk transportasi. Jika menengok perkembangan teknologi setahun terakhir, aplikasi2 yang muncul dibuat menjawab kebutuhan masyarakat untuk hidup lebih praktis. Sebut saja aplikasi situs2 belanja online yang makin marak. Semua hal mulai dari tiket kereta hingga kamar hotel bisa dibeli dengan sekali klik melalui smartphone.
Perkembangan perangkat pintar begitu pesat. Perangkat pintar yang ada kini bukan hanya ponsel pintar atau smartphone, smart TV atau smartwatch saja. Di belahan bumi lain, raksasa perusahaan teknologi membuat prototype pengembangan gelang pintar, cincin pintar, dan beragam perangkat pintar lain. Perusahaan2 otomotif mulai uji coba rancangan kendaraan mobil pintar yang bisa dikendalikan dari jarak jauh atau mobil self driving.
Era mobil pintar masih jauh. Perusahaan seperti Google, Tesla, BMW yang berencana membuat mobil pintar saat ini masih terus memperbaruinya. Teknologi ini diperkirakan siap digunakan 2020. Namun, otoritas di Eropa mulai membahas UU secara legal mengatur keamanannya. Teknologi selalu berkembang tapi negara siap dengan pakem-pakem tertentu untuk mengaturnya.
Otoritas Eropa mulai merancang regulasi bagaimana mobil kemudi otomatis tidak berbahaya atau merugikan kepentingan umum. Ide mula teknologi ini memang didasarkan pada jumlah kecelakaan yang lebih banyak disebabkan oleh kesalahan manusia atau human error. Para ahli berpendapat penggunaan robot atau mesin untuk mobil otomatis bisa mengurangi angka kecelakaan.
Di tahun depan, penggunaan drone diprediksi makin jadi tren. Pada tahun 2020, penggunaan drone diprediksi mencapai 16 juta unit. Otoritas penerbangan sipil Amerika (FAA) kini sudah mulai membuat aturan bagaimana penggunaan drone untuk penggunaan skala komersil dan pribadi.
Aturan yang dibuat mencakup ketinggian yang diizinkan dan perizinan serta penggunaan yang legal. Hal ini mencegah penggunaan drone untuk memata-matai privacy orang lain atau penggunaan untuk kepentingan yang membahayakan keselamatan publik, termasuk untuk tindakan terorisme.
Yang tidak kalah penting di era yang makin maju adalah kejahatan siber. Tren kejahatan siber, peretasan dan pencurian informasi data pribadi perlu diperhatikan. Di Prancis, pascainsiden Paris (13/11), pemerintah Prancis membuat rancangan peraturan yang melarang menggunakan wifi dari jaringan tidak dikenali. Ini menghindari peretasan data atau informasi yang mungkin bisa mengarahkan kepada tindakan terorisme.
Soal privacy jadi hal yang banyak diperdebatkan. Sebut saja Inggris yang ingin menerapkan UU anti enkripsi (Investigatory Powers Bill) di negaranya. UU ini memberi mandat kepada perusahaan internet dan teknologi menyerahkan data komunikasi berdasar perintah dari negara. Beberapa perusahaan termasuk Apple keberatan atas usulan ini. Mereka berkeras untuk bisa menjaga privacy penggunanya.
Pada Juli lalu, perdana menteri Inggris David Cameron mengatakan seharusnya tidak ada komunikasi dari warganya yang tidak bisa dibaca oleh negara. Menengok contoh di Inggris, bukan tidak mungkin hal serupa juga akan terjadi di Indonesia.
Kejahatan siber memaksa pengguna ponsel menggunakan aplikasi atau bahkan perangkat enkripsi. Namun, di sisi lain penggunaan aplikasi antisadap juga bisa menghambat kepentingan penyelidikan yang dilakukan negara berkenaan dengan kasus hukum. Mungkin, sebelum menjadi polemik, saatnya bagi Indonesia untuk mulai memikirkan hal ini.
Di negara lain, regulasi bisa dibilang hampir selalu datang lebih dulu atau setidaknya berbarengan dengan teknologi yang ada. Dari negara luar, barangkali Indonesia bisa belajar sigap dalam menyambut teknologi yang akan berkembang.
Pun regulasi di Indonesia perlu mengatur bagaimana teknologi bisa dimanfaatkan dengan baik dan tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan seperti dalam kasus aplikasi ojek online untuk kebutuhan transportasi.
Teknologi adalah pisau bermata dua yang selalu ada celah yang bisa digunakan kepentingan negatif. Dan negara memiliki otoritas untuk mengatur semua itu. (Akung Pras; Oleh: Dwi MurdaningsihRedaktur Trentek Republika.co.id; http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/12/25/nzv0tz257-belajar-kompromi-dari-gojek)-FR