Buncis tidak banyak orang suka. Dimasak apapun langunya gak hilang, kecuali ongseng2. Masak ongseng2 adalah masakan standard. Semua bisa, kebangetan kalau tidak bisa. Gampang, ditumis, garam, kecap beres. Jadi tidak ada yang istimewa dengan buncis. Tidak banyak yang bisa diceritakan.
Tapi buncis seolah jadi barang yang berharga di mata ibu saya. Pertama turun dari mobil masuk pasar Tempel lama, beliau mengamati buncis. Hanya lihat, belum beli. Ketika berjalan pulang, setelah belanja cem-macem, melewati penjual buncis. Dibelinya sekantung plastik dan didekapnya. Tugas saya sopir dan jasa angkut, belanjaan yang lumayan berat saya ambil dari istri saya dan saya bawa ke mobil.
Kemarin malam, kami ber-3, saya, istri dan ibu ngobrol nostalgia di meja marmer bundar di ruang makan. Bertiga kita meng-upakara (apa ya terjemahannya) buncis. Pertama satu demi satu dua untai serat yang ada di kedua sisi harus dihilangkan, dengan cara memutus ujung2nya dan ditarik kebawah. Jadi sekaligus menghilangkan kedua bagian ujung buncis yang lebih padat dan keras.
Kemudian ibu dengan pisau me-motong2 buncis jadi 2 cm. satu persatu buncis dipotong, bukan dengan talenan (alas kayu), melainkan satu persatu buncis di tempelkan di punggung jari-jarinya dan pisau kemudian memotong melalui telunjuk dan jari tengahnya.
Mirip petani memotong padi dengan ani2nya. Potongan buncis jadi jauh lebih banyak, karena satu batang buncis terpotong jadi 3-4 potongan kecil. Kemudian semua potongan satu persatu dibelah salah satu ujungnya. Satu persatu dengan pisau. Itu semua dilakukan sembari ngobrol bertiga.
Buncis itu tak langsung dimasak. Baru esoknya buncis itu ditumis dengan bumbu standard seperti biasa kita lakukan. Bawang putih dan bawang merah dirajang dan ditumis dengan sedikit minyak. Dengan di ongseng sampai layu, baru irisan cabe merah, potongan lengkuas dan daun salam.
Daun salam ini optional, tidak wajib. Biasanya beliau tidak pakai, mungkin agak sulit mendapatkannya. Lha saya punya pohonnya, jadi setiap saat bisa memetik.
Terakhir, buncis dimasukan setelah betul2 cabenya layu. Garam dimasukkan. Di ongseng terus dengan sabar baru di guyur sedikit air dan diungkep (ditutup) ungkepan tembikar buatan Muntilan. Tumis buncis baru diangkat setelah buncisnya matang. Begitu saja.
Pelajaran yang bisa dipetik dari cara kuno masak ongseng2 ini adalah perlakuan yang baik kalau tidak bisa disebut istimewa kepada objek yang dimasak. Buncis yang satu plastik harganya seribu rupiah ini seolah menjadi bahan sayuran yang mahal dan diperlakukan dengan hati-hati.
Kemudian memasaknya harus ekstra sabar, api sedang dan tidak terburu-buru, semua tahapan diselesaikan dengan tuntas sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Mungkin karena itu, masakan sederhana itu menjadi lezat. Wallahu a’lam. (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR