Tadinya saya tidak tertarik membicarakan masalah hukum merokok, tapi setelah mengamati pendapat dari banyak rekan, akhirnya saya coba ikut meramaikan. Buat p.Eko Rahmad Sudjito, apa yang tadi saya posting itu cuma guyon lho pak, jangan dibikin serius. Untuk pak Muhammad Sufron Chaffas, keingintahuan saya terhadap hukum merokok menjadi muncul (dua nama yang disebut itu adalah anggota grup FB ILP).
Dari pengalaman, debat halal haram masalah rokok dengan beberapa “kyai” pecandu rokok yang pernah saya lakukan, itu serunya sama jika kita berdebat dengan “non muslim” yang senang mengonsumsi babi. (cara ngotot dalam mempertahankan argumentasinya). Dari obrolan, akhirnya saya bisa memahami mengapa mereka gemar merokok, dan mengapa mereka gemar mengonsumsi babi.
Begitu juga saya memahami mengapa banyak orang senang berpoligami. Kalau kita pelajari, masalah hukum halal-haram adalah masalah yang tertua menyertai manusia sebagai pelajaran pertama yang diterima Allah Swt sebelum Adam dan Hawa turun ke bumi. Masalah halal-haram ini akhirnya harus dijadikan dasar sebagai pertimbangan dari setiap langkah kehidupan.
Karena banyak manusia yang tidak bisa mengekang hawa nafsunya, Allah Ta’ala membuat undang2 demi kesejahteraan makhluk-Nya. Hanya Allah al-Aziis yang berwenang menentukan pedoman hidup manusia, petunjuk mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, dengan sanksi memperoleh pahala bagi orang yang mematuhinya dan berdosa bagi pelanggarnya.
Allah Swt. menentukan yang diharamkan. Yang halal dibiarkan-Nya tanpa batasan, karena banyaknya. Islam tidak mengharamkan hal yang halal tapi juga menghalalkan hal yang haram, dan kita sependapat Allah Swt. dan Rasul-Nya adalah sumber utama penghalalan atau pengharaman atas sesuatu. Dalam hukum Islam, kedudukan sumber hukum tertinggi yaitu berupa Al Qur‘an dan As Sunnah.
Dalil2 yang qath’iy (pasti) tidak dapat digugurkan oleh dalil yang bersifat dzaniy (belum dapat dipastikan mana yang benar). Bahkan, tidak dapat digugurkan sama sekali oleh pendapat ulama / seluruh ulama. Keputusan hakim, negara, lembaga apalagi perorangan tidak serta merta dapat mengubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya mengubah yang haram menjadi halal.
Tak seorang pun berhak mengharamkan / menghalalkan sesuatu termasuk Nabi, karena hal itu mutlak hak prerogatif Allah Swt. Nabi Muhammad Saw. pernah dapat teguran dari Allah dalam pengharaman sesuatu yang mestinya halal. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Nabi Muhammad mengharamkan atas dirinya minum madu untuk menyenangkan hati istri2nya, maka turunlah ayat teguran ini :
”Wahai Nabi, mengapa kau haramkan yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Tahriim [66]: 1)
Masalah riba yang diharamkan Allah misalnya, tetap tidak dapat dihalalkan dengan apa pun meski yang mengeluarkan fatwa mayoritas ulama. Hukum pembagian waris dan poligami, yang proporsinya diatur Allah tidak dapat diubah siapapun meski oleh menteri agama. Yang halal dan yang haram, keduanya adalah perintah yang ditetapkan Allah.
Tidak ada hak seorangpun dari makhluk-Nya yang boleh mencampuri atau mengeluarkan sebuah hukum yang bertentangan, kecuali merujuk kepada norma-norma yang dibuat Allah ketika di sana tidak ada ketentuan yang tegas dari Al Qu‘ran atau As Sunnah yang suci.
Dalam buku Diraasaatun fil Fikril Islami (hal 42) karya M. Hussein Abdullah disebutkan, terhadap dalil2 yang penunjukannya tidak pasti (dzaniy), maka diperlukan penggalian hukum (ijtihad) oleh orang2 yang memenuhi kriteria sebagai mujtahid, yaitu orang2 yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh2 dan sekeras mungkin dalam menggali hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil yang rinci.
Berdasar ini setiap hasil ijtihad tetap merujuk pada sumber2 syara’ yaitu nash Al Qu‘ran dan As Sunnah. Umumnya mujtahid menggali hukum melalui prosedur dan standar yang dikenal luas di kalangan mujtahidiin sehingga hasil ijtihad nya dapat dianggap sebagai hukum syara’ bagi dirinya dan orang lain dapat mengikutinya.
Fatwa menurut Mafahim Islamiyyah, An Nabhani, (hal. 43) adalah upaya menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan. Fatwa tidak dapat dikategorikan sebagai ijtihad dalam suatu perkara karena fatwa itu sendiri tidak tergolong dalam ijtihad. Bahkan tingkatannya paling rendah di antara jenis karya fiqih.
Dalam buku Hikmah Dibalik Yang Halal Dan Haram (hal.52) karya Syaikh Mutawalli Asy Sya’rawi yang diterjemahkan M. Bukhari Burhanuddin, terbitan CV Pustaka Mantiq Solo, dijelaskan : Ketika kita memperhatikan berbagai peristiwa, seluruh gerak kehidupan yang tidak menimbulkan kerusakan, dimasukkan oleh Allah ke dalam „hukum yang halal“. Seluruh gerak kehidupan yang menyebabkan kerusakan termasuk merusak dirinya, masuk ke dalam „hukum yang haram“. Ini dalam hal yang tidak ada dalilnya secara tegas.
Sampai kini belum ditemukan/tidak ada satupun dalil yang mengupas larangan merokok karena zaman Nabi belum ada rokok. Namun itu tak jadi masalah, karena yang penting „bukan zatnya“ tetapi „sifat dan dampak dari zat itu: yang dikategorikan „sifat khamar yang sangat adiktif“, membuat para perokok „menjadi ketagihan“, dan „menjadi sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan buruknya merokok“.
“Setiap zat, bahan, atau minuman yang dapat memabukkan dan melemahkan (mengganggu akal sehat) adalah khamar dan setiap khamar adalah haram “. (HR.Abdullah bin Umar). Ada kaidah hukum fiqih yang berbunyi: ”Tidak boleh menimpakan madharat pada diri sendiri dan tidak boleh menimpakan madharat pada orang lain”. Setiap perilaku yang di dalamnya ada keburukan pasti harus dicegah.
Ada beberapa persoalan yang tidak dilarang dengan nash khusus dan ada pula yang tidak diperintahkan dengan nash khusus. Karena persoalan2 tadi belum ada pada masa turunnya Al Qu‘ran dan munculnya hadist Nabi yang ma’shum. Bila ada persoalan yang belum jelas dilarang atau diperintahkan dalil syar’i, tapi bila persoalan ini mengandung bahaya, mengganggu kesehatan untuk dirinya dan orang lain dan penghamburan harta maka persoalan2 tadi tetap dilarang.
Sedikit atau banyak tampak bahayanya dan tidak, maka apa yang dilarang oleh syariat dengan nash (ayat atau hadist) hukumnya haram, sedangkan apa yang dilarang karena sebab-sebab (bukan oleh dalil yang jelas), tetapi karena adanya bahaya dan keburukan, pelarangannya dilakukan secara bertingkat.
Jika itu bukan perbuatan baik dan banyak keburukan, ia lebih mendekati haram. Jika mengandung bahaya besar, haram hukumnya. Kalau ada yang menyatakan merokok hukumnya makruh. Alasan karena tidak ada nash dalam Al Qur‘an dan hadist yang mengharamkannya secara eksplisit, juga rokok dimakruhkan karena dianalogikan dengan bawang, jengkol, petai, dan makanan2 berbau, alasan ini lemah.
Menganalogikan rokok dengan bawang adalah analogi yang tidak tepat atau qiyas ma’al fariq. Bawang dimakruhkan karena ia mengandung bau, namun dari sisi lain ternyata bawang tidak membahayakan sama sekali, bahkan sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Sedangkan rokok di samping bau, tetapi sama sekali tidak memberikan manfaat kecuali mendatangkan kerugian bagi si perokok dan orang lain yang menghirup asapnya sebagai perokok pasif. Rasanya semua sepakat bahwa racun tikus atau racun serangga haram hukumnya untuk diminum, padahal secara eksplisit tidak ada satupun nash yang mengharamkannya.
Kalau persoalan rokok juga tidak ditemukan nash dalilnya karena dulu persoalan ini belum dikenal namun sekarang kondisinya berbeda. Kita sebagai manusia yang telah diberikan akal oleh Allah Swt, harus mampu memikirkannya, apakah rokok sebagai sumber penyakit dan pemborosan itu lebih besar manfaatnya atau lebih besar mudaratnya.
Menurut DR. Yusuf al-Qardhawi, karena tidak ada ketentuan hukum dari fukaha-fukaha mujtahidin, tidak pula dari ulama2 setelah mereka yang ahli takhrij dan tarjih dalam mazahib, serta tidak adanya pengenalan yang sempurna terhadap esensi dan konsekuensi yang ditimbulkan berdasar kajian ilmiah yang orisinal dalam hal merokok, maka para fukaha menjadi berbeda dalam pandangannya.
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, sosial, etika, kesopanan dan ketakziman, maka mayoritas ahli fiqih menyatakan bahwa rokok itu haram. Dalam buku terjemahan yang berjudul: „Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat.“
Karangan Syekh Muhammad bin Jamil Zainu, dosen Daarul Hadist al-Khairiyyah Makkah al-Mukarramah Arab Saudi, disebutkan sebagian besar ahli fiqih menyatakan rokok itu haram, sedangkan yang belum menyatakan haram disebabkan oleh pengetahuan mereka masih dangkal tentang bahayanya merokok.
Ketika Rasulullah Saw menyampaikan risalah Islam memang belum ada rokok, karena tembakau baru dikenal di dunia Islam dan mulai dikonsumsi oleh sebagian kaum muslimin sejak akhir abad ke sepuluh hijriah, yaitu pada masa setelah wafatnya Syeikh Zakariya al-Anshari dan Ibnu Hajar al-Haitami.
Karenanya ketetapan hukumnya baru ditemukan oleh ulama fukaha setelah beliau, seperti al-Zayyadi.
Islam datang membawa kaidah-kaidah umum yang melarang segala sesuatu yang mendatangkan bahaya bagi dirinya maupun bagi orang lain. Kini secara umum, baik ia seorang muslim maupun ia seorang non muslim sebenarnya telah mengetahui bahwa merokok itu sangat berbahaya.
Mereka sebenarnya sudah mendapatkan ilmu, mengetahui bagaimana bahayanya merokok, namun belum mendapatkan hidayah dari Allah Swt. untuk segera bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. Mereka masih dalam kondisi lalai akibat ketagihan nikotin.
Sebagaimana yang tertulis dalam setiap bungkus rokok selalu tercantum sebuah peringatan dari pemerintah bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.
Atas dasar hal-hal tersebut maka dilihat dari sisi manapun yang namanya merokok adalah perbuatan buruk dan membahayakan. Kalaupun ada kebaikannya, rasanya sangat sedikit dan dipastikan jauh lebih banyak keburukannya. Oleh karena itu, persoalan merokok termasuk dalam kategori prinsip pelarangan.
Secara global, Islam selalu menganjurkan kebersihan dan kesucian lahir dan batin bagi pemeluknya. Kebersihan batin jadi penting karena ia jadi sentral pandangan Allah ke seseorang. Kebersihan lahir jadi penting karena ia jadi miniatur kebersihan batin seseorang. Islam sangat bersih dan mulia: ”Tidak boleh memberi bahaya kepada diri sendiri dan tidak boleh memberi bahaya kepada orang lain.” (HR Ahmad dan ibnu Majah dari ibnu Abbas dan Ubadah)
Kita menyadari mengharamkan sesuatu mutlak hak prerogatif Allah Swt. Adapun menyampaikan informasi tentang haramnya sesuatu, siapapun asal dia Muslim, sudah dewasa, sehat jasmani dan ruhani, memiliki ilmu dan hujjah atau argumentasi yang kuat berdasarkan Al Qur’an dan Hadist, justru sangat dianjurkan. Abdullah ibnu Mas’ud, Al Fawaid, Ibnul Qayyim mengingatkan kepada kita:
“Barangsiapa yang datang dengan membawa kebenaran maka terimalah, meskipun datangnya dari orang yang jauh dan kau benci. Barangsiapa datang membawa kebatilan, maka tolaklah meskipun dia merupakan orang dekat yang sangat kau cintai.”
Rasulullah Saw bersabda: „ Barangsiapa yang mengajak orang kepada suatu kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun..” (H.R.Muslim).
Terlepas dari hukum merokok, makruh ataupun haram, wallahu a’lam, sebaiknya cepat kita tinggalkan. Pak M. Sufron Chaffas, pak Eko Rahmad Sudjito, dan semua sahabat saya di sini, dengan segala kerendahan hati, kalau yang saya sampaikan ini ada kesalahan mohon dikoreksi. (Muchtar AF)-FR