DI sebelah kanan jalan lintas utara Pulau Flores arah Maumere-Ende, di Pantai Rerorodja, KM 29, tertera tulisan, ”Laboratorium Mangrove untuk Kehidupan yang Lebih Nyaman”. Di situ ada jalan ke kawasan hutan mangrove atau bakau seluas 80 HA yang dikembangkan pasca tsunami Maumere, Flores, 1992. Kini, bakau itu berubah jadi kawasan wisata yang diminati wisatawan.
Sebelum memasuki kawasan hutan bakau, pengunjung melewati rumah Viktor Imanuel Ray alias Akong (63), pengelola hutan itu. Di situ terpampang papan bertuliskan, ”Pengunjung Hutan Bakau bayar Rp 5.000 per orang”. Seorang anggota keluarga Viktor di dekat papan itu menerima pembayaran ”tiket masuk”. ”Uang ini untuk perawatan dan pengelolaan bakau,” jelas Akong.
Setelah transaksi, pengunjung pun diizinkan masuk kawasan hutan bakau, menikmati suasana alamnya melalui sebuah jalan yang dibangun dari bambu. Jalan yang menyerupai jembatan itu memiliki lebar 1,5 meter dan tinggi 3 meter menyelinap masuk di tengah kepadatan hutan bakau hingga sejauh 350 meter.
Ada 500an jenis bakau. Bakau2 itu masing2 fungsinya sendiri2. ”Bakau kepiting, misal, jadi bahan tepung terigu, jadi makanan kepiting, di beberapa tempat masyarakat mengonsumsi buah bakau jenis ini, daunnya sebagai obat menghentikan darah untuk luka baru. Bakau akar tongkat, daunnya digunakan sebagai bahan baku pencetakan uang,” papar Akong.
Terinspirasi dari tsunami
Akong mengembangkan hutan bakau itu 1993. Dia belajar dari fakta tsunami. Ketika itu, lokasi2 yang ditumbuhi bakau tak mengalami kerusakan parah karena terlindungi. Fakta ini memotivasi Akong menanam dan mengembangkan bakau besar2an di kawasan itu yang kini mencapai 80 HA. Sebagian besar pohon bakau itu berusia belasan hingga 22 tahun dan terus dilakukan regenerasi.
Kini, hutan itu bukan hanya sebagai benteng abrasi, melainkan juga tempat hidup sekaligus pengembangbiakan ikan dan burung2 laut. Di ujung dari jalan bambu itu, Akong sengaja membangun lagi kolam seluas 1.500 M2. Dalam kolam tersebut dilakukan tempat pembiakan ikan.
Tak jauh dari kolam, dibangun pula 2 pondok tempat beristirahat. Wisatawan bisa duduk santai dan menikmati makanan. Dibangun pula menara dari bambu setinggi 40 meter untuk memantau dan memotret seluruh kawasan hutan bakau.
Embusan angin laut menyelinap masuk sela2 hutan bakau, membuat tubuh terasa seperti berada di dalam ruangan pendingin. Kicauan aneka jenis suara burung di tengah hutan bakau itu mendorong pengunjung merekam suara itu untuk dijadikan nada dering telepon genggam.
Tampak pula beberapa sarang burung bergantung di dahan (ranting) bakau. Sore dan pagi hari, burung-burung berkicau, bersahutan memecah kesunyian alam sekitar. Tampak pula belasan ekor kera ekor panjang bergelantungan di dahan bakau.
Mahasiswa dan dosen dari perguruan2 tinggi di NTT dan di luar NTT sering studi banding di situ. Selama 2015, 500 mahasiswa dan 25 dosen dari beberapa PT meeneliti. Akong menuturkan, tiap hari 10-200 orang datang ke lokasi itu. Pengunjung terbanyak hari Sabtu, Minggu, atau hari libur. Ratusan anak sekolah datang dari Maumere (29 km) atau dari Ende (80 km) ke lokasi wisata itu.
”Anak sekolah saya wajibkan menanam bakau di kawasan yang disiapkan,” ujar Akong. Dia menyediakan anakan bakau dan mengajarkan cara menanam. Bakau tidak hanya ditanam di tempat berlumpur, tetapi juga ditanami di pasir kering. Romy Imanuel Ray, putra Akong, berencana membangun penginapan dan restoran persis di bibir Pantai Rerorodja. Pantai ini berpasir hitam, panjangnya 3 km dan air laut jernih.
Raimundus Notan (23), mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang yang meneliti, mengatakan, Akong berpengetahuan tentang bakau yang luas. Meski kelas II SD, ia paham semua jenis, sifat, dan keunggulan masing2 bakau. Sarannya disiapkan fasilitas umum seperti kamar kecil. (KORNELIS KEWA AMA; I Made Asdhiana; Harian Kompas; http://travel.kompas.com/read/2016/01/18/162300027/Memberdayakan.Mangrove.Jadi.Pusat.Wisata)-FatchurR