SIANG itu, suasana Toko Batik Tingal di Desa Wanurejo, Kec-Borobudur, Kab-Magelang, terlihat semarak. Sejumlah anak perempuan duduk di beranda sambil membatik. Dengan kikuk, mereka torehkan cairan malam di kain yang sudah digambari pola. Sesudah itu, mereka mencelupkan canting ke wadah cairan malam, lalu menorehkannya kembali ke kain.
Anak-anak itu bukanlah perajin batik sungguhan. Senin, 28/12/2015, mereka datang ke Batik Tingal untuk belajar membatik. ”Mereka ini rombongan wisatawan dari Semarang, Jawa Tengah. Selain melihat batik buatan kami, rombongan itu ingin belajar membatik,” kata pemilik usaha Batik Tingal, Lusiana (32).
Batik Tingal berlokasi tidak jauh dari Candi Borobudur yang termasyhur hingga ke mancanegara. Letak strategis itu membuat Batik Tingal kerap didatangi wisatawan yang ke Candi Borobudur. ”Yang mampir ke sini kebanyakan wisatawan keluarga yang habis berkunjung ke Borobudur. Kadang mereka tak hanya membeli batik, tetapi juga belajar membatik,” ujar Lusiana.
Dia menambahkan, mereka yang mampir ke Batik Tingal tidak hanya wisatawan lokal, tetapi juga turis asing. Untuk menarik minat wisatawan, Lusiana sengaja membuka praktik belajar membatik. Kadang-kadang apabila ada tamu dalam jumlah besar, ia juga menyajikan kesenian tradisional setempat.
”Omzet saya Rp 30an juta/bulan. Kehadiran wisatawan sangat membantu penjualan batik saya. Apalagi, saya menjalin kerja sama dengan hotel2 di sekitar Borobudur untuk mendatangkan wisatawan,” tutur Lusiana. Batik Tingal merupakan salah satu usaha yang didirikan warga Desa Wanurejo. Di desa itu kini ada berbagai jenis usaha yang berkaitan dengan pariwisata.
Konsumen target dari usaha ini, wisatawan yang ke Candi Borobudur. Hingga sekarang, Borobudur menjadi ”magnet” yang mendatangkan jutaan wisatawan tiap tahun. Tahun 2014, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Borobudur 3,24 juta orang. Tiga 3 jutanya wisatawan domestik. Dengan jumlah turis itu, tak heran desa di sekitar Borobudur pun berupaya agar mereka ikut dapat berkah dari pariwisat itu.
Perintis
Aktivitas pariwisata di Desa Wanurejo dirintis Nuryanto (42). Mulanya, Nuryanto mendirikan usaha kerajinan yang dinamai Lidiah Art pada tahun 1999. ”Awalnya, saya membuat aneka miniatur candi untuk dijual sebagai suvenir kepada wisatawan yang datang ke Borobudur,” kata pria yang juga memiliki keterampilan melukis tersebut.
Lama2, Lidiah Art berkembang pesat dan jenis kerajinan yang dibuat makin banyak. Nuryanto punya ide membuat paket wisata edukasi, dengan mengajak turis belajar membuat kerajinan. Paket wisata itu pun disambut baik. Banyak rombongan wisatawan, termasuk para pelajar, datang ke desa ini untuk belajar.
”Suatu saat, ada wisatawan yang tanya, apa bisa menginap di desa ini untuk belajar membuat kerajinan. Akhirnya warga mulai menyiapkan rumahnya jadi penginapan bagi wisatawan. Inilah cikal bakal homestay di Desa Wanurejo,” tutur Nuryanto. Sesudah usaha homestay tumbuh, muncullah usaha lain, seperti katering, kelompok kesenian, penyewaan sepeda, dan jasa transportasi andong.
Tahun 2008, Nuryanto bersama sejumlah warga Desa Wanurejo mendirikan Koperasi Pariwisata Daerah (Koparda) Wonorojo mewadahi kegiatan pariwisata yang dijalankan. Menurutnya, awalnya, koperasi itu mengalami hambatan. ”Kami awalnya berkantor di kompleks Candi Borobudur. Namun, kami diminta pindah sehingga tahun 2010-2011 koperasi itu tidak memiliki kantor”.
Selain sempat tak punya kantor, jumlah wisatawan yang memakai jasa Koparda Wonorojo awalnya juga tak banyak. Kebanyakan wisatawan hanya datang ke Lidiah Art sehingga pendapatan masyarakat tak mengalami peningkatan signifikan. Pada 2012, Nuryanto mengundang biro-biro perjalanan di Jawa dan Bali untuk berwisata ke Wanurejo.
”Mereka di sini satu hari satu malam dan biayanya saya gratiskan. Pertemuan dengan biro travel ini cara kami mempromosikan wisata di Wanurejo”. Karena cara promosi dengan mengundang biro perjalanan itu dinilai efektif, Nuryanto menggelar kegiatan serupa beberapa kali. Sejak itu, Wanurejo mulai dilirik sebagian wisatawan yang datang ke Candi Borobudur sebagai obyek wisata pelengkap.
Kini, Koparda Wonorojo menawarkan aneka paket wisata, misal belajar membuat kerajinan, keliling desa naik andong, menonton kesenian tradisional, dan wisata rafting atau arung jeram. ”Jumlah homestay di sini 85 rumah dan tiap homestay biasanya memiliki 5 kamar. Kalau akhir pekan, homestay di sini selalu penuh,” kata Nuryanto.
Dia menambahkan, pada tahun 2015, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Desa Wanurejo 6.500 orang. Namun, saat ditanya berapa jumlah pendapatan yang dihasilkan dari kunjungan wisatawan itu, Nuryanto mengaku kurang tahu pasti.
Kredit
Pada tahun 2013, Koparda Wonorojo menjalin kerja sama dengan BNI. Secara bertahap, BNI mengucurkan kredit ke sejumlah warga Desa Wanurejo dan desa itu ditetapkan sebagai Kampoeng Wisata BNI Borobudur. Kampoeng BNI Wisata merupakan program tanggung jawab sosial BNI yang bertujuan membantu pengembangan pariwisata di suatu wilayah.
Menurut Wapim Sentra Kredit Kecil BNI Magelang Daniek Widyaningrum, sejak 2014 hingga November 2015, kredit yang disalurkan BNI kepada warga Desa Wanurejo Rp 5 miliar. Kredit yang disalurkan itu antara lain : Kredit Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) senilai Rp 1,6 miliar, Kredit Usaha Rakyat Rp 1,5 miliar, kredit komersial Rp 1,3 miliar, dan Kredit BNI Wirausaha Rp 600 juta.
Nuryanto menuturkan, kredit yang disalurkan BNI sangat membantu warga Wanurejo mendapatkan modal usaha dengan bunga ringan. ”Sebelum kehadiran BNI, warga berutang pada lembaga keuangan dengan bunga yang tinggi, bisa sampai 20 persen.
Sementara sekarang, penerima kredit PKBL hanya perlu membayar cicilan dengan bunga 6 persen,” katanya. (Haris Firdaus; I Made Asdhiana; Harian Kompas; dan http://travel.kompas.com/read/2016/02/17/101800027/Membangun.Kampoeng.Wisata.Meraup.Berkah.dari.Karisma.Candi.Borobudur)-FatchurR