Ada seorang tua yg beruntung. Dia menemukan sebutir mutiara besar & indah, namun kebahagiaannya berganti kekecewaan begitu dia mengetahui ada sebuah titik noda hitam kecil di atas mutiara tsb. Hatinya terus bergumam, kalau lah tidak ada titik noda hitam, mutiara ini akan menjadi yang tercantik dan paling sempurna di dunia
Makin dia pikirkan makin kecewa hatinya. Akhirnya, dia putuskan menghilangkan titik noda dgn menguliti lapisan permukaan mutiara. Tapi setelah dia menguliti lapisan pertama, noda tsb msh ada. Dia menguliti lapisan kedua dgn keyakinan titik noda itu akan hilang. Tapi kenyataannya noda tsb msh tetap ada. Lalu dgn tidak sabar, dia mengkuliti selapis demi selapis, sampai lapisan terakhir.
Benar juga noda hilang, tapi mutiara tsb ikut hilang. Begitulah dg kehidupan nyata, kita selalu suka mempermasalahkan hal yg kecil, yg tidak penting shg akhirnya merusak nilai yang besar. Persahabatan yg indah puluhan tahun berubah menjadi permusuhan yg hebat hanya krn sepatah kata pedas yg tidak disengaja. Keluarga yg rukun & harmonispun jadi hancur hanya krn perdebatan2 kecil yg tak penting .
Yang remeh kerap di permasalahkan, Yg lebih penting dan berharga lupa dan terabaikan. Seribu kebaikan sering tak berarti, Tapi setitik kekurangan diingat seumur hidup. Mari belajar menerima kekurangan apapun yg ada dlm kehidupan kita. Bukankah tak ada yg sempurna di dunia ini
SEHATI bukan krn Memberi, tapi sehati krn saling Memahami
CINTA bukan krn Terpesona, tapi cinta krn saling Terbuka. BETAH bukan krn Mewah, tapi betah krn saling Mengalah. BERSAMA bukan karena Dunia, tapi bersama karena SALING MENGISI. INDAH bukan krn selalu Mudah, tetapi indah krn dihadapi kbersama setiap. (Adi Djoko; http://mntaklim.blogspot.co.id/2015/12/mutiara-yang-ternoda.html)-FR
———–
Sajian lainnya :
- Semena-mena ke orang lain
- Kita yg mengupayakan
- JELITA (Jelang lewat Limapuluh Taun)
- Ringan dan sederhana
- Tidak patut ditiru
- Gus Dur & mata Allah
———
Semena-mena ke orang lain
(true story); Sebagai istri saya ingin disayang suami. Belajar masak, rajin bersih2 rumah, berlaku lembut penuh cinta kepada suami, dan berusaha hemat dalam penggunaan uang belanja biar disebut istri cerdas & yang tersayang. Tiap belanja kemanapun, saya ngotot menawar dagangan semurah mungkin. Diskon seribu dua ribu saya kejar, padahal energi yang dikeluarkan tawar-menawar panjang bisa lebih dari itu.
Tapi demi disayang suami, saya tetep ngotot. Tak jarang suami yang mengantar mulai tidak sabar & geleng-geleng kepala. Saya sih cuek saja, istri pelitnya ini selalu beralasan sama, kan biar hemat. Suatu sore setelah lelah keliling pasar, di perjalanan menuju parkiran mobil seorang pedagang tanaman bunga yang berusia sepuh menawarkan dagangannya:
Pedagang: “Neng, beli neng dagangan bapak, bibit bunga mawar 5 pot cuma 25.000 per pot”
Tadinya saya cuek, tapi tiba2 teringat pekarangan mungil di rumah yang kosong, wah murah nih pikir saya, cuma 25.000/pot, tapi ah pasti bisa ditawar.
Saya: “Mahal banget pak 25.000, udah 10.000/pot,” dengan gaya cuek saya menawar sadis.
Pedagang: “Jangan, ini bibit bagus. Bapak jual murah, 15.000 aja neng bapak udah sore mau pulang.”
Saya ragu, memang murah. Di toko, bibit bunga mawar paling tidak 45.000/1 pot nya. Tapi bukan saya dong kalau tidak berjuang.
Saya: “Halah udah pak, 10.000 ribu aja 1 kalau gak dikasih ya gak apa-apa,” saya berlagak hendak pergi.
Pedagang: “Eh neng…,” dia ragu sejenak dan menghela nafas. “Ya sudah neng gak apa-apa 10.000, tapi neng ambil semuanya ya, bapak mau pulang udah sore.”
Saya: (Saya bersorak dalam hati. Yeee…menang) “Oke pak, jadi 50.000 ribu ya utk 5 pot. Bawain sekalian ya pak ke mobil saya, tuh yang di ujung parkiran.”
Saya pun melenggang pergi menyusul suami yang sudah duluan. Si bapak pedagang mengikuti di belakang. Sesampainya di parkiran, si bapak membantu menaruh pot-pot tadi ke dalam mobil, saya membayar 50.000 lalu si bapak tadi segera pergi. Terjadilah percakapan dengan suami,
Saya: “Bagus kan yang, aku dapet 5 pot bibit bunga mawar harga murah.”
Suami: “Oh..berapa kamu bayar ?”
Saya: “50 ribu.”
Suami: “Hah, Itu semua 5 pot ?” dia kaget
Saya: “Iya dong… hebat kan aku nawarnya ?
Tadi Dia nawarinnya 25.000 1 pot,” saya tersenyum lebar dan bangga.
Suami: “Gila kamu, sadis amat. Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu susul itu si bapak sekarang, kamu bayar dia 125.000 tambah upah bawain ke mobil 25.000 lagi. Nih, kamu kejar kamu kasi dia 150.000 !” Suami membentak keras dan marah, saya kaget dan bingung.
Saya: “Tapi…kenapa..?”
Suami: Makin kencang ngomongnya, “Cepetan susul sana, tunggu apa lagi.”
Tidak ingin dibentak lagi, saya langsung turun dari mobil dan berlari mengejar si bapak tua. Saya lihat dia hendak naik angkot di pinggir jalan.
Saya: “Pak……tunggu pak…”
Pedagang: “Eh, neng kenapa ?”
Saya: “Pak, ini uang 150.000 pak dari suami saya katanya buat bapak, bapak terima ya, saya gak mau dibentak suami, saya takut.”
Pedagang: “Lho, neng kan tadi udah bayar 50.000, bener kok uangnya,” si bapak keheranan.
Saya: “udah bapak terima aja. Ini dari suami saya. Katanya harga bunga bapak pantesnya dihargain segini,” sambil saya serahkan uang 150.000 ke tangannya.
Pedagang: Tiba-tiba menangis dan berkata, “Ya Allah neng…makasih banyak neng…ini jawaban do’a bapak sedari pagi, seharian dagangan bapak gak ada yang beli, yang noleh pun gak ada. Anak istri bapak lagi sakit di rumah gak ada uang buat berobat. Pas neng nawar bapak pikir gak apa-apa harga segitu asal ada uang buat beli beras aja buat makan. Ini bapak mau buru-buru pulang kasian mereka nunggu. Makasih ya neng…suami neng orang baik. Neng juga baik jadi istri nurut sama suami, Alhamdulillah ya Allah. Bapak pamit neng mau pulang…,” dan si bapak pun berlalu.
Saya: (speechless dan kembali ke mobil). Sepanjang perjalanan saya diam dan menangis, benar kata suami, tidak pantas menghargai jerih payah orang dengan harga semurah mungkin hanya karena kita pelit. Berapa banyak usaha si bapak sampai bibit itu siap dijual, tidak terpikirkan oleh saya. Sejak itu, saya berubah dan tak pernah lagi menawar sadis kepada pedagang kecil manapun. Percaya saja bahwa rejeki sudah diatur oleh Tuhan. (Sapuwan; dari grup WA 78/79)-FR
———–
Kita yg mengupayakan
Sabtu sore saya nonton RCTI yg menayangkan film yg mengangkat kisah Iwan Setyawan seorang pemuda anak sopir angkot di Batu Malang Jatim, Iwan pernah diundang menjadi tamu di Kick Andy. Dengan keinginan keras dan pengorbanan ayahnya yg menjual angkotnya utk biaya perjalanan ke Bogor agar bisa memenuhi undangan masuk IPB.
Juga do’a ibu serta saudara2nya, akhirnya bisa selesai dan menjadi lulusan terbaik fak matematika, dg keuletannya diapun bisa mendapatkan pekerjaan bahkan posisi yg baik pd sebuah perusahaan di New York. Namun krn kecintaan kpd keluarga dan tanah kelahirannya, akhirnya kembali ke Malang.
Di akhir cerita ketika dia bersama ortu dan 3 saudaranya pulang dari suatu acara yg diselenggarakan Pemda Malang, sambil nyetir mobil berkata “Kita tdk bisa memilih masa lalu, tapi masa depan adalah kita yg melukisnya”. Ada pelajaran yg dpt diambil dari perjuangan Iwan tsb :
1. Dia ingin merubah nasib yg mentakdirkan menjadi anak dari keluarga kekurangan, dan ini sesuai dg firman Alloh dlm QS Ar Ro’d ayat 11 ” : Alloh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”.
2. Pengorbanan seorang ayah yg mensupport keinginan anaknya, stlh membaca tulisan anaknya yg antara lain “saya tdk ingin dan tdk akan sanggup berpanas-panasan di jalan seperti ayah, langsung mengorbankan dg menjual angkot miliknya.
3. Kata2 dlm akhir cerita, kalo ditarik lebih lanjut tdk hanya berlaku utk kehidupan dunia saja tapi juga utk kehidupan di kelak kemudian hari. Firmankan Alloh dlm QS Al Hasyr ayat 18 “Orang2 yang beriman! Bertakwalah Alloh dan hendaklah tiap orang memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari akhirat, dan bertakwalah kepada Alloh. Sungguh Alloh Mahateliti terhadap apa yang kamun kerjakan”…….. (Nanang Hidayat; dari grup FB-ILP)-FR
———-
JELITA (Jelang lewat Limapuluh Taun)
1. Pada saat usia telah 50 th, hendaklah belajar mengasihi diri sendiri. Berusaha menikmati hidup.
Saat masih bisa menikmatinya jangan pelit terhadap diri sendiri.
2. Anak2 telah dewasa, harus yakin mereka akan sukses, masing2 mempunyai rejekinya sendiri. Berhentilah mengkhawatirkan mereka.
3. Kita harus hidup berbahagia di dunia ini. Meski pun setiap rumah tangga memiliki masalahnya sendiri.
Dan tidak perlu membandingkan jabatan dan kekuasaan dgn orang lain. Sampai usia 50 th kita harus hidup lebih bahagia, lebih sehat, dan panjang umur daripada orang lain.
4. Kemampuan setiap orang ada batasnya, meskipun kita bisa seperti superman. Terhadap hal2 yg di luar kemampuan kita janganlah terlalu risau. Risau pun tdk ada gunanya, yg hanya akan mempengaruhi emosional, fisik dan kesehatan.
5. Saat pensiun masih mengandalkan diri sendiri, jangan terlalu mengharapkan anak. Harta warisan kita kasih sewajarnya saja untuk anak. Karena penghasilan anak juga bukanlah milik kita.
6. Berusaha sendiri cari teman di hari tua, Berusaha cari sahabat di hari tua, anak yg soleh punya bakti, namun mrk akan disibukkan oleh pekerjaan. Tidak dapat setiap saat mendampingi kita.
7. Saat usia 50 thn janganlah menukarkan kesehatan dgn Harta Duniawi. Uang yang dicari tak berujung, bahkan jika di dapat, hanyalah untuk membeli sejumlah obat, bukan untuk kesehatan kita.
8. Kebahagiaan hanya dapat diupayakan oleh diri sendiri. Asalkan memiliki nurani yg baik maka setiap hari akan terjadi hal2 yang baik, maka setiap hari akan bahagia.
9. Semangat yg baik tidak mudah sakit. Semangat yg baik dapat menyembuhkan dan mempercepat penyembuhan penyakit. Maka pertahankan semangat itu.
10. Suasana hati yg baik, OR yg tepat, jiwa yg sehat. Makan makanan yang berparadigma sehat dan hidup teratur. Maka dapat hidup sehat & panjang umur.
11. Makna kehidupan dimulai dari usia 50 thn. (Ngreni; dari grup WA 78/79)-FR
———–
Ringan dan sederhana
Sebanyak apapun uang disumbangkan, sebanyak apapun pekerjaan dikerjakan, sehebat apapun keramahtamahan dilakukan, semua itu adalah Percuma dan Sia-sia apabila dilakukan tidak berdasarkan KASIH…
Menghina, Mengejek, Mengutuk, Melaknat dan sejenisnya. Bertentangan dengan : KASIH. (Tardinus Pandjaitan; dari grup FB ILP)-FR
———
Tidak patut ditiru
Sebuah kasus layak untuk kita renungkan. M, Tahir jadi karyawan tetap PT Telkom NTB sejak 1981, pensiun 29/5/2000. Pada hari Selasa, 24/2/2015, ditemani ibu Marsiah, istrinya, ia datang ke kantor menuntut hak pensiunnya agar dipenuhi, dan Telkom diminta bersikap adil terhadap dirinya.
Karena usahanya tidak ditanggapi, Tahir nekad coba bunuh diri dengan cara meloncat dari atas tower setinggi 72 meter. Pihak Telkom meminta bantuan polisi. Satu peleton anggota Sabhara Polres Mataram maupun Babinsa TNI AD turut membantu mengevakuasi Tahir dari menara.
Setelah dua jam berada di atas menara, Tahir berhasil dijemput paksa anggota Sabhara yang menyusul ke atas menara. Tahir yang terlihat sudah terkujur lemas saat dibawa turun dari atas tower, langsung dibawa ke rumah sakit untuk dirawat.
Ternyata, orang yang takut dan tidak siap perubahan, karena mereka menyukai masa lalunya. Sebenarnya, ia tengah menutup pintu masa depannya. Semoga cara menuntut keadilan ala Tahir dari P2Tel Mataram ini peristiwa pertama dan terakhir kalinya, serta tidak ditiru oleh anggota P2Tel lain. Muchtar AF; http://sindikasi.co/news/tuntut-hak-pensiunan-pt-telkom-coba-bunuh-diri-dari-menara)-FR
————
Gus Dur & mata Allah
TANPA didampingi siapa pun, Gus Dur dan aku bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik dan sarung membungkus tubuhnya, peci miring dan kacamata tebalnya melengkapi kediriannya. Dialog yang bagiku aneh pun terjadi. Aneh karena perbincangan kami kesana kemari, tak jelas arahnya.
Gus Dur : “Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.!”
Mughni : “Iya, Gus. Tapi..”
Gus Dur : “Bagaimana tidak repot, hidupmu terlalu banyak ‘tapi’.!”
Mughni : “Hehehehe..”
Gus Dur : “Apa kamu kenal Wa Totoh? Maksud saya KH. Totoh Ghozali.”
Mughni : “Disebut kenal ya tidak, tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio.”
Gus Dur : “Belajarlah kamu kepadanya, bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa lokal sebagai senjatanya, memakai humor cerdas tanpa hina dan caci.”
Mughni : “Baik, Gus, kalau itu perintah Panjenengan.”
Gus Dur : “Ini bukan perintah, ini memang sesuatu yang seharusnya kamu lakukan sebagai Da’i.”
Mughni : “Laksanakan.”
Gus Dur : “Kamu suka menulis?”
Mughni : “Tidak, Gus, tulisan saya buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek, tapi benar-benar buruk hasilnya.”
Gus Dur : “Rupanya kamu belum pernah dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus.”
Mughni : “Lha, Panjenengan tau darimana kalau saya belum pernah dilukai wanita?”
Gus Dur : “Ya itu tadi, karya sastramu buruk sekali.”
Mughni : “Hmmmmm..”
Gus Dur : “Kamu pernah mesantren?”
Mughni : “Pernah, Gus.”
Gus Dur : “Dimana?”
Mughni : “Di Al-Falah sama di Al-Musaddadiyah.”
Gus Dur : “Rupanya kamu Santri Kyai Syahid sama Kyai Musaddad.”
Mughni : “Iya.”
Gus Dur : “Saya juga sering bersilaturahmi ke beliau-beliau itu. Mereka salah satu penjaga Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.”
Mughni : “Ketika jadi Santri, saya nakal sekali. Saya merasa malu kepada beliau-beliau itu, Gus.”
Gus Dur : “Saya beritahu kamu, kebaikan seorang Santri tidak dilihat ketika dia di Pondok, melainkan setelah dia menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini, bahwa kamu adalah santri yang baik.”
Mughni : “Terima kasih, Gus.”
Gus Dur : “Dunia tanpa pesantren, bagi saya adalah siksa. Bersyukurlah karena kamu pernah menjadi bagian di dalamnya.”
Mughni : “Iya, Gus.”
Gus Dur : “Kamu mau tau rahasia hidup saya dalam memandang segala sesuatunya?”
Mughni : “Tentu, Gus, saya ingin tau rahasia panjenengan.”
Gus Dur : “Dalam memandang segala sesuatu, gunakanlah ‘mata’ Allah.”
Mughni : “Waduh. Bagaimana contohnya?”
Gus Dur : “Contohnya begini. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima semuanya dengan lapang dada. Karena apa? Saya selalu yakin, Allah lah yang menggerakan hati mereka untuk datang kepada saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi kemanusiaannya.”
Mughni : “Duh..”
Gus Dur : “Lebih jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca al-Qur’an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi al-Qur’an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”
Mughni : “Ya Allah..”–Haul Gus Dur yang ke-6; (Sapuwan; dari grup WA78)-FR