KOMPAS.com-Menhub baru menerbitkan surat izin pembangunan sarana dan prasarana bagi PT kereta cepat Indonesia China (KCIC). Lalu, bagaimana rasanya naik KA yang katanya bisa mempersingkat waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya jadi 30 menit itu?
Baru-baru ini Kompas.com sejumlah jurnalis dari Indonesia berkunjung ke Liuzhou, atas undangan perusahaan otomotif China, SAIC General Motor Wuling (SGMW). Untuk mencapai kota ini, perlu menempuh perjalanan darat 550 kilometer dari Guangzhou dengan KA cepat Jarak itut ± sama dengan Jakarta-Solo.
Perjalanan dari stasiun Guangzhou Selatan (Guangzhou nan Train Station). Beda dengan stasiun KA di Indonesia, stasiun KA ini bagai bandara. Bangunannya luas dengan atap yang menjulang. Sebelum masuk, seluruh calon penumpang harus melalui pemeriksaan bagasi dan tiket. Bagi warga asing, mereka wajib menunjukkan paspor.
Sebelum masuk naik ke kereta, penumpang harus menunggu di hall yang luas. Gate menuju peron kereta baru dibuka 15 menit sebelum kereta berangkat. Tak ayal, seluruh penumpang harus berjejal.
Tak Beda dengan shinkansen
Kereta di China dibagi menjadi delapan jenis, yakni G (jarak jauh 350 km/jam), D (jarak jauh 250 km/jam), Z (antar-kota nonstop 160 km/jam), C (jarak dekat antarkota, 120 km/jam), T (antarkota dengan gerbong sleeper 140 km/jam), K (120 km/jam), L (kereta tambahan), PuKai (kereta lambat).
Menuju Liuzhou dari Guangzhou, kami menaiki kereta D dengan harga tiket 180,5 yuan atau sekitar Rp 361.000. Langkah pemerintah China yang mendepresiasi yuan membuat harga tiket makin murah jika dihitung dalam rupiah. Sebelum depresiasi, harga tiket kereta tersebut berada di kisaran Rp 400.000.
Kereta yang kami naiki ini jenis kereta cepat yang ingin dibangun pemerintah Indonesia. Secara desain, kereta China ini tak beda dengan shinkansen Jepang. Eksterior dan interiornya. Bentuk aerodinamis menjadi ciri yang melekat dari kereta ini. Di dalam kereta, tempat duduk disusun dua-tiga, persis seperti bus kelas ekonomi. Seluruh kursi menghadap ke depan.
Gerbong paling depan diperuntukkan bagi kelas bisnis dengan formasi tempat duduk dua-dua. Model kursi reclining seat memungkinkan penumpang bisa merebahkan badan sepanjang perjalanan. Namun formasi kursi dua-tiga membuat penumpang harus berhimpitan dengan penumpang lainnya.
Kereta melaju perlahan. Layar display yang dipasang di ujung gerbong menunjukkan kecepatan kereta telah menembus 130 km per jam dalam waktu sekitar 2 menit. Akselerasi cukup halus dan tidak ada hentakan yang dirasakan penumpang.
Suara sambungan rel juga tak terdengar dari dalam gerbong, karena seluruh pintu tertutup rapat. Lagi2 seperti kereta shinkansen di Jepang, kereta berjalan cukup stabil dalam kecepatan tinggi. Namun beberapa kali masih terasa goyangan di dalam gerbong, meskipun tidak sekencang kereta di Indonesia.
Kereta telah tembus kecepatan 200 km per jam dan kereta tetap stabil. Meski di atas kertas kereta D ini bisa berlari hingga 250 km per jam, namun dalam praktiknya kecepatan hanya sampai 210 km per jam. Beberapa kali petugas berkeliling menjajakan makanan. Meski membawa nampan, mereka berjalan tanpa ter-huyun2. Penumpang terkantuk-kantuk.
Kereta juga menyediakan dispenser air panas yang diperuntukkan bagi penumpang yang ingin menyeduh makanan instan dan membuat minuman panas. Toilet yang ada pada kereta cepat menyerupai pesawat terbang. Penumpang tidak perlu menyiram setelah buang air, namun cukup menyentuh tombol flush.
Menjelang tengah malam, kami akhirnya sampai di Liuzhou. Dalam perjalanan ini, kereta berhenti di tujuh stasiun. Jarak yang ditempuh kereta ini 550 km selama 4 jam. Di Indonesia, untuk menempuh jarak ini, yakni Jakarta-Solo, perlu 8-9 jam dengan kereta eksekutif tercepat yakni Argo Dwipangga. Jika menggunakan kereta lebih murah, waktu lebih lama.
Secara keseluruhan, kereta cepat di China tak banyak beda dengan shinkansen di Jepang. Kereta berjalan tenang, akselerasi halus dan datang tepat waktu. Yang membedakan adalah kru kereta kurang begitu ramah dan kurang memperhatikan aspek hospitality. Selain itu, kereta penuh. Di beberapa stasiun, penumpang harus berdiri karena mereka mendapat tiket tanpa tempat duduk.
Iini bisa dimaklumi karena kereta cepat di China benar-benar fungsional untuk menunjang mobilitas penduduk. Bukan untuk keperluan wisata. (Bambang Priyo Jatmiko; http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/20/121700326/Kereta.Cepat.China.Rute.Jakarta-Solo.Dilahap.4.Jam?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=kpoprd)-FatchurR