Tahun 2010 lalu Gunung Merapi meletus, menghasilkan lahar yang ‘buanyak’ dan dibawa air hujan ke bagian bawah, menjadi batu dan pasir yang sangat berguna bagi pembangunan. Alkisah, Pak Johar punya kemenakan yang bernama Melati dan tinggal di kota yang tidak jauh dari Gunung Merapi.
Dia tinggal di tanah kavling yang kemudian dibangun sendiri-sendiri oleh pemiliknya. Melati ini termasuk orang pertama dan nekat tinggal di tanah kavling yang saat itu terletak di tengah sawah, tanpa listrik. Sekarang sih sudah ramai dan penuh dengan rumah.
Pada suatu malam, Melati mendengar tetangganya yang bernama Bu Mawar seperti sedang mengerjakan sesuatu di rumahnya. Dak dok dak dok suaranya. Mungkin sedang membangun atau memperbaiki rumah.
Melati heran, kok Bu Mawar membangun rumah sampai malam begitu. Mengapa tidak siang hari saja? Ah mungkin suaminya hanya punya waktu di malam hari saja. Ya sudah, tidak mengapa. Malam berikutnya suara dak dok dak dok masih terdengar dari rumah Bu Mawar.
Beberapa hari kemudian ada arisan Ibu-ibu di perumahan itu. Di hadapan ibu-ibu itu Melati bilang, dia heran kok Bu Mawar membangun atau memperbaiki rumah malam-malam. Ternyata tanggapannya di luar dugaan.
Ibu A bilang yang malam-malam dak dok dak dok itu bukan dari rumah Bu Mawar, tapi dari rumah Bu Ranti. Ibu B bilang, bukan dari rumah Bu Ranti, suara itu dari rumah Bu Menik. Kemudian Ibu C, Ibu D lain lagi ceritanya.
Maka hebohlah Ibu2 arisan itu, sebab ternyata suara itu berasal dari rumah ber-beda2, menurut persepsi masing2. Tentu hal ini membuat Ibu-ibu pada takut. Ini jelas ada yang tidak beres. Ada hal berbau mistis. Maka kalau malam hari mereka pada takut keluar rumah. Di rumahpun ada rasa was-was.
Lanjutan cerita. Di kavling dekat jalan dibangun rumah baru. Batu, batu bata, pasir menggunung di sana. Pasirnya pasir kualitas nomor satu, yang asalnya dari Gunung Merapi. Sekian hari membangun, lama-lama pasirnya tinggal sedikit. Saat itu baru ketahuan, di sisa pasir itu ada sepotang tulang kaki manusia. Itu tentu tulang korban lahar letusan Gunung Merapi. Pikir para tukang yang menggarap rumah baru itu.
Oleh para tukang kemudian tulang itu dikembalikan ke asalnya, kampung asal pasir itu dibeli. Di sana tulang itu kemudian dikubur dengan tata cara penguburan manusia selayaknya. Setelah itu kampung Melati jadi aman, suara-suara dak dok dak dok sudah tidak terdengar lagi. Ibu-ibu jadi tidak takut lagi.
Suatu hari Melati bilang ke suaminya, Dadap, tentang kejadian itu.
” Kalau suara dak dok dak dok, saya sudah lama tahu sebelum ibu-ibu ribut tempo hari”, kata Dadap.
” Lho, kenapa tidak bilang-bilang?”, kata Melati.
” Kalau saya bilang khawatirnya kamu jadi takut . . . .”, kata Dadap.
Ternyata suara dak dok dak dok itu berasal dari tamu dari Merapi. KBY. Kok bisa ya ? (Widartoks 2016)-FR