JAKARTA, KOMPAS.com-Ahli gempa Jepang, Profesor Suzuki, mengatakan perlu mengenali kerusakan bangunan yang terkena gempa agar perbaikan dapat dilakukan tepat. Cara itu bisa dilakukan dengan sebuah alat sensor.
“Lewat alat sensor yang ditempatkan dalam bangunan dapat diketahui kerusakan yang terjadi apakah berat, ringan, atau sama sekali tidak mengalami kerusakan,” kata guru besar Toyo University Jepang tersebut dalam paparan ilmiahnya, Jumat (11/3/2016).
Sensor itu dapat mengetahui kondisi bangunan yang terkena gempa, akibat besarnya getaran dan frekuensi getaran yang berulang. Setelah itu, dibuatlah model bangunan dengan spesifikasi sesuai aslinya untuk dilakukan uji gempa seperti yang terjadi baik kekuatan maupun frekuensinya. Dari situlah akan ketahuan besar atau kecilnya kerusakan bangunan.
Konstruksi Laba-laba
Jepang merupakan salah satu negara yang sangat peduli terhadap gempa yang terjadi di Padang dan Aceh. Sumbangan berupa alat uji dan masukan mengenai bangunan tahan gempa telah menginsipirasi pemangku kebijakan di kedua kota itu.
Belum lama ini dua ahli gempa asal Jepang yakni Profesor Suzuki dan Profesor Yusuke Ono hadir dalam seminar internasional yang diselenggarakan Universitas Negeri Padang untuk memberikan pendapatnya mengenai gempa di Padang dan Aceh.
Sementara itu, ahli di bidang struktur Profesor Herman Wahyudi mengatakan keberhasilan bangunan anti gempa terletak pada pondasi bangunan, terutama untuk bangunan bertingkat tiga sampai lima harus menggunakan pondasi yang dilengkapi dengan sejumlah rusuk.
Penggunaan rusuk ini diadopsi dari konstruksi sarang laba-laba yang menggunakan rusuk-rusuk berbentuk segitiga. Dengan begitu, lanjut Herman, meskipun termasuk pondasi dangkal namun sangat kaku rigid sehingga kuat menahan gempa.
“Di bidang teknik sipil rusuk berbentuk segitiga dikenal stabil meski menerima tekanan (stressing) baik itu gempa atau beban berat,” kata Herman. Hal itulah yang ternyata membuat banyak bangunan di Aceh dan Padang tetap kokoh berdiri sampai sekarang ini, meskipun kedua daerah tersebut beberapa kali terkena gempat besar.
Guru Besar ITS itu berharap kalangan Universitas Negeri Padang dapat terus melakukan riset dan mempelajari kekuatan dari konstruksi sarang laba-laba terhadap gempa. Saat ini di komplek Universitas Negeri Padang sendiri terdapat sembilan bangunan bertingkat tiga dan empat yang menggunakan konstruksi laba-laba.
Herman mengatakan meskipun konstruksi sarang laba-laba termasuk dalam golongan pondasi dangkal. Tetapi, lanjut dia, berkat adanya rusuk (ribs) segitiga di dalamnya yang diisi dengan campuran tanah dan pasir padat membuat konstruksi ini kaku (rigid).
Herman mengatakan agar konstruksi ini semakin kuat sebelum dipasang, harus ada perbaikan tanah terlebih dahulu (soil improvment) terutama pada lahan-lahan dengan kondisi tanah ekstrim.
Herman hasil penelitian dengan menumbukkan beban 80 ton di atas konstruksi laba-laba ternyata tidak ada kerusakan sama sekali. (Latief; Antara; dan http://properti.kompas.com/read/2016/03/13/171300421/Mengapa.Konstruksi.Laba-laba.Tahan.Terhadap.Gempa.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp)-FatchurR