VDua bulan lalu – saat ktr saya msh di Wisma Mulia/ blm pindah ke TSO Building, sy kangen #Rawon.
Karena gak jauh dari ktr ada Warteg – yg seingat saya – di depannya ada tulisan “Sedia Rawon”, maka dgn langkah tegap/jln kaki – saya ke sana.
“Mbak, sy pesan rawon. Pilihkan rawonnya hanya daging. Nasinya sepertiga saja”.
“Sepertiga..?”
“Iya. Krn kalau sy bilang separo – biasanya masih kebanyakan. Eman2..”.
“Pak, tapi rawonnya bukan rawon Surabaya lho pak”
“Lha rawon mana?”.
“Rawon Tegal pak..”.
“Nggak pa2, yang penting rawon”.
“Coba Bapak liat dulu – rawonnya kayak gini..”.
“Lho – kok jeroan semua”.
“Ya memang begini Rawon Tegal”.
“O.. Kalau gitu gak jadi. Maaf ya..”.
@ternyata sama2 bernama rawon – tapi sebenarnya beda2:
1. Rawon Surabaya. Warna coklat – pakai kluwak/tanpa santan. Dagingnya daging “sehat” dan ada lemaknya sedikit. Uenak.. Kalau makan biasanya ditemani telur asin.
2. Rawon Tegal. Warna cenderung kekuningan. Kayaknya tanpa kluwak. Dagingnya 99% jeroan. #Mungkin enak. Tapi sy blm pernah makan
3. Rawon khusus #Resep_Mertua. Persis Rawon Surabaya. Bedanya:
a. Warnanya cenderung bening
b. Ini karena waktu memasukkan kluwak ke kuah, kluwak dibungkus daun.
4. “Rawon Santan”. Yang sy maksud dg Rawon Santan adalah brongkos Jogja. Sama2 pakai kluwak, dan ditambah santan. Resep (almarhumah) ibu saya sendiri. Kalau ibu saya masak brongkos, dagingnya hanya sedikit – tapi dicampur dg a.l. “kulit buah melinjo”..
Dari ke 4 “rawon” di atas yg paling saya sukai adalah:
Pertama – no urut 3. Rawon Mertua. Ini bukan karena KKN atau cari muka lho ya. Ini murni penilaian lidah. He he.. Bener. Kan anaknya mertua sdh milih saya. Jadi saya milih rawonnya atau tidak – sudah gak ngaruh. He he..
Kedua – no urut 4. Brongkos. Dg catatan terakhir saya makan brongkos adalah th 2010. Saya selalu membayangkan makan kuah kulit melinjo – sangat gurih – karena saat di mulut, digit, maka keluarlah santan dari dalam kulit melinjo – di dalam mulut.
Jadi ingat Ibu. (Agus Suryono; dari grup FB-ILP)-FR