Jurnal_Indonesia – #Tentang_Seorang_Anggota_P2Tel..
Nama Endang Winarti di desa kecil di Kab-Bojonegoro, Jatim, dikenal sebagai penulis dan pegiat sastra yang cukup berpengaruh. Lewat Kedai Kreasi yang ia gagas bersama kolega2nya, Wina aktif menggelar berbagai kegiatan sastra. Pembacaan puisi, cerita pendek, bedah buku, dan masih banyak lagi.
Beberapa waktu terakhir, owner Padma Tour ini sibuk menyiapkan buku ke 9-nya, ‘Mozaik Kota Kenangan’, sebuah kumpulan cerita pendek. “Saya akan terus menulis sampai jompo dan pikun,” katanya. Berikut pembicaraan singkat Jurnal Indonesia dengan Wina.
Jika boleh memilih. Mana yang lebih Anda suka? Jadi pegiat sastra, pengusaha, atau yang lain?
Pilihan yang sulit. Karena keduanya memiliki tempat yang berbeda. Pengusaha itu tempatnya di otak. Sementara menulis itu di hati.
Kepentingannya juga beda. Pengusaha adalah alasan cari makan. Sementara sastra itu untuk kepentingan bergenit-genit. Katanya kalau macan mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan karya. Semacam itulah.
Sebagai penulis, seproduktif apa Anda? Ada target waktu dalam berkarya?
Saya selalu bilang menulis itu hasrat. Seperti kita kebelet pipis. Ketika sedang ‘ingin’ saat itu juga cari toilet. Nah hasrat menulis saat tiba, carilah komputer. Tapi, saya terbiasa disiplin, menulis saya jadikan habit sebelum tidur atau saat bangun tidur.
Minimal satu halaman sehari. Kalau pas lagi mood bisa sehari lima halaman. Apa saja saya tulis. Ya esai, ya cerpen, ya novel. Tahun ini kalau tidak ada halangan akan melahirkan dua buku personal, plus satu buku ramai ramai. Insya Allah.
Dari mana Anda menggali sumber inspirasi?
Dari mana saja. Dari warung kopi, bus antar kota, kereta api, pasar, bahkan di gedung bioskop. Makanya hati-hati curhat sama saya. Hahaha…
Anda lahir dari desa kecil di Bojonegoro, lalu tinggal di Surabaya. Tidak tertarik sekalian ke Jakarta?
Jakarta itu polutannya tinggi, enggak sehat buat paru-paru. Sesekali saja kesana buat cari duit. Atau buat kenalan sama orang-orang top.
Bagaimana Anda melihat perkembangan sastra Indonesia kini? Setidaknya dibanding 10 tahun lalu?
Bangga saya sama dunia sastra tanah air. Banyak buku bagus lahir dalam kurun waktu sepuluh tahun, banyak diantaranya perempuan. Apalagi dengan adanya Franfurt Book Fair. Karya Indonesia banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Pembelian hak cipta meningkat.
Siapa tokoh yang paling memberi pengaruh pada Wina Bojonegoro?
Saya rasa Ayah saya. Berkat beliau saya paham wayang, gamelan, ketoprak, membaca dan menari. Pengalaman masa kanak-kanak ini saya tuangkan nyaris sepenuhnya dalam novel The Souls: Moonlight Sonata.
Bangga sekali sebagai orang Jawa saya masih tahu bagaimana menabuh gamelan, menamainya, menarikannya, dan masih mampu bercerita kembali tentang kisah-kisah legenda yang dahulu kala diceritakan Ayah saya, bahkan didongengkan nenek saya. Sampai sekarang, jika mendengar gamelan ditabuh, rasanya saya ingin menari.
Bagaimana Anda melihat sosok perempuan Indonesia, khususnya di dunia sastra?
Perkembangan sastra perempuan saya anggap diawali oleh Ayu Utami dengan novel SAMAN. Pondasi yang menguatkan kebebasan berekspresi yang kemudian diikuti oleh banyak penulis perempuan lainnya, meskipun ada juga yang menurut saya agak lepas batas.
Saya termasuk penulis bebas, artinya dalam tulisan saya ada juga kata2 tidak senonoh. Tetapi sebagai orang timur, menurut saya kita tahu batas mana yang pantas mana yang tidak. Kalau dituruti, menulis erotis itu menyenangkan, tapi kan kita ada saringan dalam diri sendiri, soal pantas tidak pantas tadi.
Tiga mega best seller Indonesia, dua diantaranya adalah perempuan. Ika Natassa dan Ilana Tan. Artinya, perempuan jauh lebih produktif dan kaya rasa. Oh ya kemarin yang berangkat ke FBF juga banyakan perempuan loh, Oka Rusmini, Leila S. Chudori, Laksmi Pamuncak.
Penulis Perempuan Indonesia sudah mengalami peningkatan baik kualitas maupun kuantitas. Masalahnya adalah, ternyata, buku-buku best seller kebanyakan buku-buku sastra yang ringan, yang kadang membacanya hanya perlu sambil naik angkot atau makan popcorn.
Pekerjaan kita bersama saat ini adalah bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas baca masyarakat indonesia. Dee Lestari adalah salah satu penulis yang saya kagumi. Selain produktif dia selalu melakukan riset mendalam terhadap tulisannya.
Menawarkan kebaruan-kebaruan dan menulis tidak asal menambah jumlah halaman. Selain itu, Dee tak pernah menampilkan adegan pornografi dalam tulisannya. Indonesia masih perlu Dee Dee lain lebih banyak.
Lalu bagaimana peluang perempuan di masa-masa mendatang, di dunia bisnis, politik, budaya?
Saya rasa perempuan punya peluang dan tanggung jawab yang super besar di tanah air ini.
1. Perempuan mampu bekerja multi tasking, hal mana laki-laki tidak. 2. Perempuan lebih luwes menangani bidang-bidang tertentu, misalnya hospitality service.
3. Perempuan memiliki ‘hati’ dalam setiap hal yang dikerjakan, sehingga memungkinkan perempuan memenangkan pertempuran dunia usaha dibanding laki-laki. Waspadalah wahai kaum lelaki, jumlah perempuan makin banyak, pinter-pinter dan kami adalah makluk yang indah dipandang.
Tentang Kedai Kreasi. Anda terus aktif menggelar berbagai kegiatan budaya di sana. Khususnya sastra. Ada ambisi khusus?
Percaya nggak bahwa keinginan yang kuat menemukan jalan suksesnya sendiri? Ini quote dirut Telkom Arif Yahya yang sampai sekarang saya jadikan pegangan. Sejak dulu, saya ingin punya sebuah bangunan, ngayal, yang bisa jadi perpustkaan, bedah buku, unjuk kesenian, dan sebagainya.
Tetapi karena sumber daya terbatas, maka saya menelan saja cita-cita itu. Nah suatu hari, kawan saya, Sol Amrida, menawarkan tempat, maka saya pengembangnya. Visi kami sama. Merangkul berbagai komunitas yang selama ini butuh tempat.
Bukan sekedar ngariyung, tapi unjuk kebolehan. Jika misi ini berhasil, harapan saya banyak pelaku sini yang terasah, lahir dan bekembang disini. Sering ada yang bertanya, profit nggak? Okelah, siapa yang tidak ingin profit dalam usaha.
Tetapi karena Tuhan memberi saya rejeki di bidang usaha non kesenian, maka anggap saja CSR saya di sini. Selain KK saya bikin lomba cerpen Travel n Love untuk seluruh penulis Indonesia bahkan mereka yang tinggal di luar negeri pun ikut serta.
Bayangkan, pesertanya 821 penulis. Lomba ini termasuk spektakuler karena hadiahnya jalan-jalan ke Lombok. Hadiah yang belum pernah ada di dunia sastra. CSR lain, saya bikin buku ramai-ramai: Hidup ini Indah Beib, Cerita Kita di Kota Kata, Kamus Kecil tentang Cinta.
Itu semua non profit, yang penting menggali kreatifitas para penulis. Kemudian menjadi paradoks, mengapa menggali penulis baru? Bukankah sastra tidak ada duitnya? Jawab saya sederhana: tidak semua hidup ini terpuaskan oleh uang. Tetapi bahwa kita harus cari uang, yes.
Tetapi menulis itu membutuhkan kerja otak dan hati secara simultan. Pekerjaan berat penulis adalah harus mau Membaca, bergaul, menyusun kalimat, mengkhayal. Benar-benar kerja komprehensif. Setidaknya, kita enggak malu sama macan kan? Macan aja mati meninggalkan belang, masa manusia mati gak meninggalkan karya?
Sampai kapan Anda akan terus berkarya?
Sampai saya jompo dan pikun. (Agus Suryono; (hdl, foto : dok pribadi); http://www.jurnalindonesia.net/wina-bojonegoro-dalam-sastra-perempuan-lebih-produktif-dan-kaya-rasa/)-FR