Cerita ‘Waktoe Itoe’ ini tentang Indonesia di waktu lalu. Kita batasi paling tidak 40 tahun yang lalu ya. Anda juga sangat ditunggu cerita pengalamannya. Cerita bisa apa saja, pokoknya menarik. Bisa juga mengambil cerita sendiri, orang tua, kakek-nenek, guru, dsb.
Ini yang menceritakan ayah teman saya. Entah benar entah tidak, mungkin benar. Tapi anda jangan mencontohnya. Seseorang, sebut saja Pak Kenthos pengin punya popok wewe. Dia tanya kesana-kemari caranya dapat popok wewe itu. Akhirnya dapatlah informasi cara mendapat pokok wewe itu. Tinggal berani atau tidak. Tapi dia sudah meulatkan tekad untuk mendapat.
Waktu itu tahun 1960-an ketika saya mendapat cerita itu, jadi kejadiannya ya di era 1960-an atau malah jauh sebelumnya, tahun 1950-an atau malah 1940-an. Apa artinya? Artinya saat itu suasana desa masih sangat sepi, belum ada listrik, jalan antar desa masih berupa tanah, paling bagus berupa batu-batu, sisa jalan aspal bikinan Belanda sebelum dikalahkan oleh Jepang.
Jadi kalau kita berjalan dari suatu desa ke desa lain, ya jelas gelap gulita, kecuali banyak bintang bertaburan di angit atau pas ada cahaya bulan. Yang jelas, setelah hari gelap jarang orang yang keluar rumah dan berjalan ke kampung lain. Sangat sedikit, apalagi kalau malam kian kelam.
Sesuai petunjuk. Di suatu siang Pak Kenthos menangkap dua ekor burung gagak. Waktu itu tidak sulit menangkapnya, tinggal memberi umpan yang disuka di pancing ikan plus senar saja. Ketika gagak memakannya, maka dia akan terkena pancingnya. Gagak saat itu masih banyak, bahkan kadang mengganggu orang, misalnya pedagang di pasar yang menjual daging ayau makanan lainnya, terkadang barang dagangannya dicuri oleh gagak.
Setelah mendapat dua ekor gagak, kemudain dia simpan di sangkar. Nah, ketika hari kamis, gagak dia potong, dicabuti bulunya, kemudian ditusuk dengan bilah bambu, menjadi bekakak (satu ekor utuh) gagak.
Malam Jum’at Pak Kenthos berjalan sendiri menyusuri jalan antar desa lewat persawahan, perkebunan yang di kiri kanan jalan banyak pohon besar. Pohon yang di malam hari bisa seperti hantu hitam besar siap memeluk atau menjegal orang yang lewat di bawahnya (bahasa Jawanya : ngeregemeng). Dia berjalan tanpa senter atau obor. Penerangan hanya mengandalkan cuaca alam yang kebetulan tidak mendung saja.
Pokok-pokok pohon yang putih kadang dari jauh nampak seperti orang berdiri. Apalagi ditimpali dengan suara binatang malam seperti walang keret, burung pungguk, angkup, peprek, jangkrik mbering, jangkrik clekithet dan binatang malam lainnya, membuat suasana malam menjadi semakin mencekam. Pak Kenthos sendiri sebenarnya “keder” (takut) juga, namun diberani-beranikan, Ini sudah tekadnya.
Menjelang tengah malam dia sudah berada di hutan kecil (bahasa Jawanya : tegal), kemudian langkahnya menuju ke pohon besar yang berada di tengah. Di siang haripun orang akan berpikir kalau mau mendatangi pohon itu. Anak-anak memandang pohon besar nan rindang itu saja sudah ciut hati dibuatnya. Dia seperti raksasa perkasa. Tapi Pak Kenthos tetap pada pendiriannya.
Dia lalu mencari daun dan ranting-ranting kering di sekitar situ. Apa membawa senter? Tidak, saat itu senter masih merupakan barang langka dan mewah. Obor? Juga tidak. Mengapa bisa melihat daun kering di malam gelap? Begini: Sejak dari rumah dia berjalan tanpa penerangan, maka matanya menjadi terlatih, sehingga dalam gelappun tetap bisa melihat dengan baik. Anda boleh mencobanya.
Setelah daun kering dan ranting terkumpul, mulailah dia memanggang gagak yang dia bawa dari rumah. Beberapa saat kemudian, burung mulai masak, bau panggang burung mulai tercium harum. Pada saat itu Pak Kethos mulai menawarkan dagangannya :
” Panggang gagak, panggang gagak. Siapa mau beli?’, teriaknya.
Dia meng-ulang2 kata itu seperti tukang sate yang lewat di depan rumah, pada malam hari. Berkali-kali.
Sekitar tengah malam yang ditunggu datang. Ternyata ada seorang wanita datang menghampiri.
” Mas, aku beli panggang gagaknya”, kata wanita yang ternyata tinggi besar.
” Ya silahkan. Tapi begini, tidak usah beli, cukup aku dikasih popok bayinya satu biji”, kata Pak Kenthos.
” Oh, tidak bisa ini popok warisan turun temurun. Tidak boleh diberikan ke orang lain. Selain itu, aku takut nanti disalah gunakan”, kata wanita tinggi besar itu yang memang termasuk bangsa wewe.
Setelah bernegosiasi, dicapai kata sepakat. Pak Kenthos dipinjami popok wewe 3 bulan dan tentunya panggang gagak diserahkan. Pak Kenthos lalu pulang. Hari berikutnya, dia coba menggunakan popok wewe itu. Ternyata benar, kalau popok dipakai sebagai kerudung, orang lain tidak melihat Pak Kenthos, alias Pak Kenthos bisa menghilang.
Mula-mula Pak Kenthos menggunakan popok wewe itu untuk main-main, menggoda teman dan tetangganya. Namun lama-lama mencoba yang sebelumnya tidak terpikir sama sekali. Mencuri ! Dia mulai mencuri barang di pasar.
Tapi namanya pasar di kampung, yang dicuri yang hanya sekitar tahu, tempe, atau beras, begitu. Yang jelas dia lama-lama keenakan bisa makan tanpa kerja. Mau beras, gula, sayuran dan kebutuhan sehari-hari tinggal mengambil di pasar.
Namanya juga orang desa yang pengetahuannya sangat terbatas, Pak Kenthos tidak terpikir untuk misalnya mencuri di toko emas, atau di bank atau di toko atau rumah orang kaya. Beraninya ya hanya di pasar dekat kampungnya. Namun itupun mulai membuat pedagang di pasar resah, sebab hampir setiap hari ada barang dagangan yang hilang.
Begitulah, waktu berjalan, sampai 3 bulan berlalu dan . . popok wewe hilang. Sudah diambil oleh pemiliknya.
Catatan : Anda tahu popok? Popok bukan pampers. (Widartoks 2016; https://www.facebook.com/groups/131403206919613/permalink/1047771648616093/)-FR