P2Tel

5G : Riset Mengejar TKDN dan Penguasaan Teknologi Masa Depan

(http://www.comsoc.org/ctn/5g-down-rabbit-hole)-Setelah mencermati ulasan Alan Gatherer, Editor in Chief, IEEE ComSoc Technology News dengan tautan di atas, maka makin jelas bahwa yang paling penting adalah penguasaan teknologinya daripada kecepatan dan berbagai model perangkatnya.
Bahkan dikatakan bahwa teknologi mulai dari 3G yang diluncurk tgl 3/3/03 dalam waktu singkat sudah diperbaharui dengan 3,5G, 4G dan akhirnya 5G sebelum tahun 2020. Bagi Indonesia lebih banyak lagi tantangannya (runyamnya) karena teknologi yang dibanggakan ini hanya beredar di kota2 besar saja.

 

Bagaimana tidak, apabila jaringan nasional pitalebar belum memenuhi untuk kecepatan teknologi2 baru tersebut. Lihat saja Komminfo saat ini masih berjuang keras agar 57 Kabupaten/Kota terpencil bisa dijangkau Ring Palapa dengan kecepatan 10 Gbps. Dan ini sudah benar, karena cukup untuk meneruskan akses pitalebar dari Kabupaten hingga ke Desa-desa.

 

Ini diharapkan cukup untuk kebutuhan seluruh Kabupaten/Kota terpencil untuk akses pelanggan/ terminal misalnya 2 Mbps, untuk 3G. Jangan bicara 4G dahulu yang kecepatannya 100 Mbps. Di Metropolitan Jakarta saja kecepatan ini hanya teoritis karena disambung dengan SO (serat optik). Apa ya? Ya, sampai sentral operator.

 

Lalu dari sentral satu kota ke kota lain berapa kapasitas sambungannya untuk ratusan ribu atau jutaan pelanggan. Lalau karena situs-situs (web) yahoo, google, dll ada di AS, pakai apa menjangkaunya. Hahaha, para operator mana mau membayar mahal untuk kecepatan orde ratusan Gigabit/detik, Jadi di sini kecepatannya dicekik, dan itu berarti mencekik kecepatan akses ke pelanggan, bukan?

Singkat kata, bagi Indonesia lebih penting memeratakan jangkauan TIK ke seluruh pelosok terlebih dahulu, pelanggan di seluruh Indonesia dibiasakan dahulu untuk menggunakan dan memanfaatkan potensi Internet pitalebar bagi kepentingan pribadi maupun usaha mereka.

 

Setelah itu, tahap demi tahap mereka bisa menikmati teknologi lebih tinggi. Dengan demikian juga para operator tidak usah buru2 mengusangkan (depresiasi) perangkat teknologi yang ada, sehingga memperoleh pengembalian invetasinya dengan lebih longgar dan baik.

 

Baru setelah itu melangkah ke teknologi sasaran berikutnya. Saat ini yang kami anjurkan adalah memeratakan akses 3G secara nasional dahulu. Lalu kemudian setelah merata bagaimana?

Saya masih ingat petuah pak Soekarno Abdulrachman alm. saat menjadi Dirjen Postel.

 

Bagi Negara Berkembang tidak mungkin mengikuti setiap tahap teknologi telekomunikasi. Ada saatnya kita harus membekukan (freeze) suatu teknologi, dan kemudian meloncati (melewatkan) tahap teknologi berikutnya langsung ke tahap di atasnya.

 

Saat ini kita dihadapkan pada keputusan yang menentukan seperti nasihat pak Abdulrachman di atas.
Memeratakan akses 3G dengan kondisi kesenjangan jaringan nasional begitu besar, akan memakan waktu.

 

Mungkin 3-4 tahun lagi. Pada saat itu teknologi 5G sudah diperkenalkan (introduced) atau ditawarkan. Oleh karena itu, daripada menunggu, sebaiknya dikembangkan penelitian dan pengembangan (R&D) untuk 5G sehingga pada saat diperkenalkan, Indonesia tidak hanya menjadi pasar penjualan, melainkan sudah ikut menguasai.

 

Sudah jelas menjadi kepentingan Kominfo dan Perindustrian persyaratan adanya TKDN. Dan makin masuk kita masuk ke pembuatan rancangan (desgin) makin tinggi nilai TKDNnya. Dan apabila seluruh rancangan dikuasai maka nilai konten lokal bisa mencapai dengan mudah 70-90%. Tinggal chipnya dibuat di Tiongkok atau tempat lain.

 

[Ini sudah dibuktikan di masa lalu bahkan oleh UKM dalam pembuatan sentral dan terminal NGN. Sayangnya dijegal oleh operator sendiri yang mengadakan lelang. Gigit jarilah dia untuk menjadi perusahaan skala besar]

 

Jadi kita memiliki kemampuan asal mau. Untuk itu diperlukan koordinasi kerjasama antara pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan teknologi, akademisi yang memeliki tenaga penelitian, industri manufaktur untuk pengembangan dan produksi, dan operator yang memakainya di lapangan.
Bahwa kita mengundang periset asing asing sekalipun, tidak masalah.

 

[Dalam ulasan Kompas pagi itu saya mencermati bahwa Universitas dapat mempertimbangkan Rektor asing untuk meningkatkan Universitas masuk 500 besar dunia. Perusahaan2 satelit, minyak, dan hotel, di negara-negara Arab sudah lama menggunakan tenaga pimpinan atau ahli asing sehingga dengan dana yang ada mereka bisa melejitkan usaha mereka].

 

Pertanyaannya, bagaimana teknologi 4G yang sudah dikembangkan saat ini?
Tidak masalah, sebagai batu loncatan dan bukan sebagai sasaran akhir. Dapat dianggap sebagai pembelajaran dan sasaran antara untuk tingkat berikutnya. Belum jelas konten lokalnya berapa. Apabila membeli paten hak penggunaan rancangan atau bagian piranti lunaknya, maka konten lokalnya rendah.

Untuk menguasi Riset 5G ini memang kita harus memiliki kemampuan untuk berfikir dan bertindak di luar kotak (out of the box), termasuk berani memutuskan, dan tidak hanya berputar-putar di sekitar zone nyaman.

 

Andaikatapun kita tidak sampai menguasai 100%, minimal apabila sebagian besar kita kuasai, sudah merupakan suatu daya dan modal besar dalam negosiasi pembuatan perangkat untuk memperoleh nilai konten lokal setinggi mungkin. Di sisi lain kita bisa menyiasati sedemikian sehingga tetap dapat berhasil 100% dalam Riset rancangan dan piranti lunaknya.

Akses kita lewat IEEE dan atau Diaspora orang Indonesia baik yang masih WNI atau tidak (walaupun sudah WNA tetap hatinya tak bisa lepas dengan negeri asalnya), termasuk yang setelah selesai studi lanjutnya ditawari bekerja di Silicon Valley dll, atau yang mempunyai akses ke pusat2 riset negara maju, sebaiknya  dimanfaatkan secara optimal. (Salam, APhD)-FR

 

Koment dari salah seorang pensiunan :

Terima kasih Pak APhD Share Infonya. Saya sependapat Pak APhD, sebaiknya memeratakan akses 3G secara Nasional terlebih dahulu.
Ada juga yang berpandangan sbb:

Semangatnya setuju pak. Tapi masalah nyata yang terjadi selama ini ada kayanya ada 2 :

 

  1. Kendala terbesar penyediaan layanan mobile sekarang bukan di teknologinya, tapi di propertinya. Semakin kecil ukuran sel butuh semakin banyak antena. Buat tower sekarang susah sekali nyaris impossible. Naro antena dalam ruang juga susah dan mahal sewa site-nya kayak di mall sama hotel itu gila2an harganya dan nggak ada aturan yang melindungi operator kayak right of way tiang listrik PLN.

 

  1. Di sisi teknologi memang kita ketinggalan untuk R&D, cuma kalo mengandalkan proteksi regulasi dalam negeri aja nggak cukup. Harus ada orang lokal yang commit dan punya keinginan kuat. Yang mewacanakan sih banyak, tapi geliat nyatanya kok belum keliatan. (+Slm Tjt+)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version