Ketika mudik di musim lebaran ini, Pak Sabar bertemu seorang ibu yang sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri. Maklumlah ibu Pak Sabar sudah meninggal ketika dia baru berusia enam tahun. Ibu ini, sebutlah “Ibunya” kini sudah berusia 80 tahun lebih.
Lebih 40 tahun yang lalu, ketika Pak Sabar masih sekolah di SMA, dia ingat “Ibunya” ini sering sakit dan menginap di rumah sakit. Kini di usia tua justru beliau sehat dan tidak pernah masuk rumah sakit. “Ibunya” lalu membeberkan rahasia kesehatannya.
Ketika masih muda, beliau ini kalau istilah sekarang “perfeksionis”, segala sesuatu harus “perfek” harus sempurna, harus terbaik dan semacamnya. Rumah/ tempat kerja : ruangan, dapur, kamar, halaman, harus bersih, indah, rapi. Anak-anak harus disiplin dan seterusnya.
Tak heran putra-putranya yang berjumlah 10 orang, “jadi orang” semua. Itu semua berkat gemblengan. Anak didiknya, jelas dididik dengan baik. Anak didik di bidang non formal diajarin ketrampilan sesuai yang beliau kuasai sudah pada bekerja mandiri dan sukses.
Nah, ketika muda itulah, segala sesuatu selalu ingin sempurna, terbaik, nomor satu, maka jika ada hal2 yang membuat tidak sempurna, menjadikan hatinya kecewa, prihatin, kadang marah dan seterusnya. Selain itu beliau juga tergoda untuk sombong. Hal2 ini berakibat kesehatannya terganggu dan akhirnya sering masuk rumah sakit.
Pada suatu masa, beliau mendapat tamparan yang keras, pada suatu ketika beliau dikalahkan oleh orang-orang yang menurut perhitungannya masih jauh di bawah kemampuan beliau. Pada saat itulah beliau sadar, bahwa orang tidak boleh sombong.
Beliau juga sadar, bahwa kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa tidak bisa dilawan. Beliau tanpa malu-malu sering menceritakan kekalahannya itu kepada anak buah, keluarga dan teman, supaya jangan meniru dirinya yang sombong itu.
Orang harus berusaha mencapai yang terbaik, namun ada kala yang di luar kemampuan untuk menggapainya. Beliau juga menyadari bahwa tidak semua hal bisa dilaksanakan, tidak semua urusan bisa ikut campur, tidak semua orang sama dengan yang ada di pikiran dan perasaanya.
Tidak semua hal sesuai harapannya. Kemudian menyadari dan memaklumi. Untuk hal-hal yang di luar jangkauannya, di luar kemampuannya, serahkan urusannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, lepaskan dan pikiran dan perasaan.
Sebagai contoh, jika putra-putrinya di hari lebaran tidak semua pulang, beliau memaklumi, karena setiap orang pasti mempunyai urusan, kegiatan, kesibukan masing-masing sesuai tanggung jawabnya. Dengan demikian tidak ada ganjalan di dalam hati dan justru berdoa untuk kebaikan mereka.
Di dalam agama sudah ada penjelasan yang rinci bagaimana berbuat, kapan harus berusaha keras, kapan harus bersabar (menghadapi orang, menghdapi persoalan, menghadapi musibah, dst), kapan harus berdoa dan kapan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tinggal melaksanakan saja.
Dengan landasan pemikiran seperti itu, hati dan pikiran jadi enak, tidak ada beban berat, sebab jika ada hal-hal berat dan di luar kemampuannya, di luar jangkauannya, di luar kekuasaannya, dia pasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sejak itu, tidak terasa, beliau baru menyadari, ternyata badan jadi sehat dan tidak pernah masuk rumah sakit lagi. Semoga kita bisa memetik pelajaran dan mendapat . (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR