Sulit lho melepas gadget dari kehidupan anak. Apalagi, jika ia kecanduan. Dia akan mengamuk begitu gadgetnya diambil, dan menunjukkan perilaku lain yang sangat mengganggu. Namun Rieska Wulandari, mama dari Carlo (4 tahun), berhasil menjauhkan putra pertamanya itu dari gadget sama sekali.
“Sudah setahun terakhir ini tak pernah sekali pun dia minta gadget-nya. Dia tidak menyentuh seluler milik saya n ayahnya,” kata Rieska, yang kini tinggal di Milan, Italia. Padahal, tulis Rieska dalam catatan yang dia unggah di FB-nya, waktu masih umur 2,5 tahun, Carlo bisa dibilang kecanduan gadget.
Begitu bangun tidur, anak itu berteriak, “Babet… babet,” minta tablet-nya, sambil pasang mimik hendak menangis. Wanita yang mengandung anak ke-2 nya itu cepat2 menyerahkan gadget itu ke Carlo, yang segera asyik menonton channel musik anak2 di YouTube. “Lumayan, jadi bisa sambil menyiapkan sarapan,” pikir Rieska saat itu.
Saat sarapan, Carlo masih pegang gadget. Makanannya habis seketika, karena saat dia makan, matanya terfokus pada layar tablet. “Sepertinya dia tak sadar kalau dia sedang makan. Jangan harap anak saya akan berkomentar, ‘Wah, makanannya enak,’ pikirannya seolah tersedot layar gadget,” cerita Rieska.
Masalah mulai muncul, menurut Rieska, saat Carlo harus bersiap-siap ke day care. Mengganti baju atau mandi jadi sulit luar biasa karena dia tidak mau melepas gadget-nya. “Pagi-pagi pasti diwarnai tangisan dan mewek yang panjang-pendek. Melelahkan!” keluh Rieska.
Memasuki usia tiga tahun, temperamen Carlo pun mulai berubah. Kalau gadget tidak ada, dia akan mengamuk. Jika channel yang dia mau terhambat karena problem koneksi atau website down, dia pun ngambek. “Bagaimana menjelaskan tentang internet, website kepada anak tiga tahun?
Dia hanya tahu, kalau ada gadget, maka tayangan yang dia mau harus ada,” kata Rieska. “Begitu channel-nya bermasalah, itu tablet bisa dia lempar begitu saja!” Setiap hari Carlo hanya berkutat dengan gadget.
Saat mengigau tengah malam, dia minta diberi gadget, yang akan dia mainkan sampai pagi, sehingga dia mengantuk ketika waktunya beraktivitas. “Persis kayak orang dewasa kecanduan game online, padahal yang ditonton anak saya itu cuma kartun-kartun dan lagu yang tampaknya tak berbahaya,” keluh Rieska.
RIeska mengakui, gadget sempat membantu, apalagi saat musim dingin, dan kebetulan di luar rumah bersalju, atau Carlo tertular flu. “Kalau sudah begitu, hiburan yang paling asyik, cuma gadget, tapi lama2 saya melihat gadget memenjarakan dia, sepertinya hidup tak menyenangkan, kalau tidak ada gadget,” kata Rieska.
“Saya sendiri waktu itu sibuk bekerja, dan kalau dia sakit, maka saya tinggal dengan pengasuh, yang begitu Carlo rewel karena tidak ada gadget, akan memberikan gadget untuk menenangkan dia.”
Dan kalau Carlo dititipkan di day care, menurut Rieska, dia tidak begitu suka bersosialisasi dengan anak2 lain, cenderung main sendiri, dan agak egois. Meski menurut gurunya normal, tapi Rieska merasa kurang nyaman dengan situasi itu. Dia memutuskan berhenti kerja sebelum musim dingin 2014, karena tidak ingin Carlo keterusan sibuk dengan gadget.
Rieska mulai membuat kegiatan dan aktivitas yang lebih bervariasi untuk Carlo lakukan di dalam rumah selama musim dingin, mulai dari menyanyi, bermain bola, bermain kertas, menggambar, mewarnai, bercerita, main petak umpet, menyusun Lego, sampai membangun stasiun kereta.
“Kalau bosan di rumah, kami mampir ke rumah Nonna (nenek dalam bahasa Italia – Red.), atau berkeliling kota dengan bus dan trem seusai day care. Toh, saya punya membership transportasi publik tahunan, jadi naik kendaraan umum ribuan kali pun sudah tidak perlu bayar lagi,” cerita Rieska.
“Ternyata asyik sekali naik-turun kendaraan umum keliling kota. Dan tampaknya wawasan anak saya pun mulai terbuka, sehingga saya jadi semangat membawa dia kunjungan ke museum dan sebagainya.”
Pelan-pelan, Carlo mulai meninggalkan gadget, meski kadang masih minta kepada Rieska. Sesekali, dia membolehkan Carlo menggunakan gadget, dengan berbagai batasan, seperti tidak boleh emosi atau marah kalau ada masalah dengan gadget itu.
Dan ketika musim semi tiba, Rieska mulai mengajak Carlo ke luar rumah dan berjalan-jalan, mampir ke taman, dan melihat hal-hal baru. Dia mulai menikmati juga hari-harinya di sekolah, mulai bisa bersosialisasi dengan teman temannya.
Puncaknya musim panas 2015, ketika Rieska dan suami berlibur sekeluarga selama 3 minggu penuh. Meski Rieska tetap membawa gadget di dalam koper, tetapi saat Carlo menanyakan gadget, dia selalu mengatakan bahwa benda itu tertinggal di Milan, lantas mengarahkan dia bermain di pantai.
“Rupanya pantai benar benar ‘membiusnya’. Kami memastikan dia hanya melakukan aktivitas yang sifatnya ber-senang2, sibuk bermain pasir, main perosotan dan ayunan, main air, berkenalan dengan sesama anak-anak yang sedang liburan, naik kereta kecil dan kincir raksasa, nonton pertunjukan lumba-lumba, melihat akuarium besar, naik kapal dan sebagainya,” cerita Rieska.
“Kami membawa dia ke kota2 lain, melihat kastil, menyewa penginapan di lingkungan kebun zaitun yang juga memiliki peternakan kuda, melihat pertandingan pacuan kuda zaman abad pertengahan di Siena, nonton pertunjukan musik di Perugia, mengunjungi lukisan2 karya pelukis ternama Giotto dan ziarah gereja di Asisi, berjalan di ladang2 tak bertuan dan sebagainya.”
Saking sibuknya Carlo beraktivitas dan bermain selama liburan itu, dia lupa sama sekali dengan gadget-nya. Kembali ke Milan, ingat pun tidak bahwa dia punya gadget, sampai saat ini. Rieska mengakui, proses memisahkan anak dari gadget memang luar biasa susah.
“Kita harus mencurahkan 100% perhatian kepada anak. Apalagi, anak zaman sekarang demanding sekali, sehingga orang tua harus kreatif dan siap berkorban waktu maupun tenaga, kalau mau menggantikan peran gadget, yang mungkin sudah terlanjur mengikat anak,” katanya.
“Tetapi sejak melepaskan pergaulannya dengan gadget, Carlo mulai tahu bahwa ada kehidupan yang lebih nyata dan indah di luar sana.” (Imelda; http://www.parenting.co.id/balita/mama-ini-berhasil-melepaskan-anaknya-dari-kecanduan-gadget?platform=hootsuite)-FatchurR