Batara Brama masih membiarkan Dewi Dresanala menangis sedih ditinggal Arjuna, suaminya, untuk selamanya. Apalagi dia sedang hamil muda, bahkan baru saja bersama Arjuna mencari nama untuk calon anaknya.
” Duh Dewa, Dewa. Apa kesalahan hamba dan Kanda Arjuna sehingga harus menerima kenyataan ini. Sungguh kejam nasib yang menimpaku”, air matanya kembali membanjir, membasahi pipinya.
Semua pelayan yang sedari tadi juga memperhatikan, ikut terhanyut dalam kesedihan nan dalam. Mendung di lingkungan Kayangan Argadahana manambah harunya suasana perpisahan dan kepedihan itu.
Ketika Dewi Dresanala sudah habis air matanya, Batara Brama berkata.
” Anakku Dresanala yang aku cintai. Tadi Arjuna sendiri yang mengatakan, dalam hidup ini sedih dan gembira silih berganti. Baru saja engkau sedih berpisah dengan Arjuna. Tapi kini berganti senang kembali”.
” Maksud Ramanda Pikulun bagaimana?”, tanya Dewi Dresanala.
” Kalau kemarin kamu menikah dengan manusia biasa, kini kamu akan menikah dengan dewa, bahkan bukan sembarang dewa, sebab dia adalah putra Sang Batara Guru sendiri, Dewa Srani. Ya benar, Dewa Srani telah melamarmu melalui Batara Guru, rajanya para dewa”.
” Pikulun, kok malah memperlakukan saya seperti barang dagangan saja”.
” Cinta saya kepada Kanda Arjuna tidak bisa dipisahkan lagi. Apalagi ini sudah ada bibit yang ada di dalam perut hamba”.
” Tidak peduli”, kata Batara Brama, nadanya meninggi, pertanda mulai marah.
” Pokoknya kamu harus nikah dengan Dewa Srani”.
Berkata demikian seraya meninggalkan Dewi Dresanala yang kembali menangis menumpahkan kesedihan dan kekesalannya. Bagaimana tidak, menjadi pengantin belum lama, dengan orang yang sangat dicintainya, kemudian sudah mulai mengandung. Dipisahkan saja hatinya sudah sangat terluka, ini malah disuruh nikah dengan orang yang tidak dicintainya.
Dewi Dresanala tahu, Dewa Srani itu anak Batara Guru dengan Dewi Uma. Dewi Uma yang kini menjelma menjadi Batari Durga, dewanya kejahatan. Maka tak heran Dewa Srani juga menuruni sifat ibunya yang jahat itu. Apalagi sejak kecil hidupnya selalu dimanja dan dikelilingi oleh bangsa hantu dan siluman penggoda manusia, pembuat kerusakan di muka bumi. Maka bagaimana Dewi Dresanala bisa menerima kemauan ayahnya mau dinikahkan dengan Dewa Srani? Sementara Arjuna berhasil menikahi Dewi Dresanala justru karena dia berjasa dalam memberantas kejahatan. Arjunalah yang dimintai tolong para dewa untuk menghadapi musuh, raja raksasa yang menyerang kayangan, sementara para dewa tidak sanggup menghadapinya. Maka menikah dengan Arjuna adalah suatu kerhormatan. Apalagi Arjuna memang sangat tampan. Kalau mau dibuat perumpamaan bagaimana ketampanan Arjuna, ibarat “kurang candra turah rupa”, yang berarti kurang kata-kata untuk menggambarkan ketampanannya.
Batara Brama sendiri semula tidak ingin memisahkan Dewi Dresanala dengan Arjuna, namun karena yang meminta Batara Guru sebagai rajanya para dewa yang sekaligus juga ayahnya, dia tidak bisa menolaknya. Nah, Batara Guru sendiri juga demikian, sebenarnya tidak ingin memisahkan Dewi Dresanala dengan Arjuna, namun bujukan dan hasutan dari Batari Durga yang adalah istrinya itu, sulit ditolaknya. Namun apa yang dirasakan baik oleh Batara Guru maupun Batara Brama tidak diutarakan kepada yang lain, cukup masing-masing dipendam sendiri, di pojok hati kecilnya.
Ketika ada pertemuan di kadewatan, pertemuan para dewa dibawah pimpinan Batara Guru, di saat itu Batara Guru menyampaikan lamaran kepada Batara Brama, yaitu agar Dewi Dresanala dinikahkan dengan Dewa Srani, putranya.
Sekalipun semua dewa terperangah dengan hal itu, namun semua tidak ada yang berani bertanya, sebab apa yang disampaikan Batara Guru sebagai rajanya para dewa itu sama saja dengan perintah yang tidak bisa dilawan. Hanya Batara Narada yang berani, itupun hanya bertanya.
” Adinda Batara Guru, apa tidak salah dengan lamaran ini? Bukankan Dresanala sudah punya suami, yaitu Arjuna? Selain itu, Dresanala diserahkan kepada Arjuna juga atas kebijakan Batara Guru sendiri, sebagai ucapan terima kasih karena Arjuna telah berhasil mengusir musuh yang hendak merongrong kewibawaan kayangan dan sudah berani menyerang kayangan. Cobalah dipikirkan kembali”, kata Batara Narada.
” Kakang Narada, apa yang sudah menjadi keputusan saya, tidak bisa dicabut kembali. Selain itu, Arjuna juga sudah dengan lapang dada menerimanya dan saat ini Arjuna juga sudah kembali ke Arcapada tempat tinggalnya para manusia”, jawab Batara Guru.
” Oh, ya sudah kalau begitu”, kata Batara Narada yang masukannya ditolak mentah-mentah.
” Kalau kelak ada apa-apanya saya tidak ikut campur”.
Sebagaimana diketahui di kerajaan para dewa, atau lebih tepatnya pemerintahan para dewa, kabinet para dewa, Batara Guru merupakan rajanya. Batara Brama, Wisnu, Kamajaya dan seterusnya sebagai pembantunya.
Kalau diibaratkan di pemerintahan di bumi, para dewa yang tersebut itu sebagai menterinya, begitulah. Kemudian ada sekretaris dewa yang namanya Batara Panyarikan. Lalu ada Patih atau Perdana Mentri para dewa, yaitu Batara Narada.
Di dalam sistem pemerintahan para dewa di jagat pewayangan, posisi Perdana Mentri bukan sebagai kepala pemerintahan, namun sesuai namanya, perdana yang artinya pertama atau utama, maka perdana mentri hanya sebagai mentri utama, mentri pertama saja, bukan kepala pemerintahan para dewa.
Maka perdana mentri, yaitu Batara Narada tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan raja para dewa, yaitu oleh Batara Guru. Dia lebih banyak berperan sebagai penasehat dan pelaksana kebijakan Batara Guru. Oleh karena itu, dalam hal Dewi Dresanala ini dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dewi Dresanala sendiri akhirnya menyerah. Dengan terpaksa menerima perintah ayahnya untuk menikah dengan Dewa Srani. Kalau dia tetap bersikukuh tidak mau, dia khawatir ayahnya akan murka dan bisa berbuat apa saja yang bisa membahayakan bayi yang ada di kandungannya. Dewi Dresanala sekarang hanya memikirkan nasib bayinya.
Betapapun sebagai seorang ibu, anak dalam kandungan adalah segala-galanya. Seorang ibu akan berbuat apa saja untuk melindungi bayi yang ada di kandungannya maupun anaknya jika sudah lahir. Tentu ini ibu pada umumnya, kalau toh ada ibu yang tega mentelantarkan, apalagi menyiksa bayinya itu kekecualian, hanya satu dari sekian juta ibu.
Singkat cerita Dewi Dresanala akhirnya dinikahkan dengan Dewa Sarani dengan acara sederhana, sebab Dewi Dresanala menolak jika ada pesta besar-besaran. Kini Dewi Dresanala diboyong ke kayangan milik Dew Srani.
Sebagai pengantin baru, tentunya Dewa Srani ingin segera selalu berama dengan Dewi Dresanala. Namun Dewi Dresanala selalu menolak jika didekati. Diajak bicara saja malas menjawab, kalau ditanya dijawab sekenanya saja.
Kalau dipegang segera menghindar, dari duduk menjadi berdiri, kalau berdiri kemudian pergi. Saat itu Dewa Srani masih tetap bersabar, karena dia sadar Dewi Dresanala memang masih mencintai Arjuna dan telah mulai mengandung anaknya pula. Sehari, dua hari tiga hari Dewa Srani masih sabar. Namun mulai hari ke empat kesabarannya mulai menipis.
” Dresanala, kamu ini kan istriku, mosok didekati saja tidak mau”, katanya di suatu siang.
” Kalau aku di dekatmu, ini anakku tidak mengizinkan”, jawab Dresanala sekenanya. Asal menjawab saja. Dresanala menjawab sekenanya, namun bagi Dewa Srani, kata2 ” ini anakku tidak mengizinkan” itu jawaban serius.
Maklumlah dia sudah lama tergila-gila kepada Dresanala, namun ketika hasratnya belum sempat diutarakan secara resmi ke orang tuanya, Dresanala malah sudah dinikahkan dengan orang lain, Arjuna.
Kini Dewa Srani mulai berfikir, ternyata bayi yang ada di dalam kandungan itulah penghalang cintanya kepada Dewi Dresanala. Dia menjadi jengkel dan benci kepada isi kandungan Dewi Dresanala itu. Jengkel jadi benci, benci dan muak. Rasa benci dan muak yang semakin hari semakin menggelegak.
Bersambung mimggu depan/ ……. (Widartoks 2016; dari grup FB-FKP Telkom )-FR