P2Tel

Kokoh sampai akhir (TA 118)

Setelah kekalahan kaum muslimin di perang Uhud, terjadi pergolakan di negeri baru Islam, Madinah. Para munafik serta kaum Yahudi sudah tak lagi takut menunjukan kemauan hati kecilnya yang menolak Islam. Pembangkangan dan penghianatan mulai terjadi pada kabilah-kabilah di sekitar Madinah.

 

Rasul tekun mematahkan perlawanan2 itu satu persatu dan mempersiapkan diri, karena kaum Quraisy sudah menantang satu tahun lagi mereka akan bertemu di Badar. Sekalipun demikian, Rasul juga tidak menghentikan usaha-usaha syiar Islam, agama baru, agama Tauhid ke jazirah Arab dan sekitarnya.

Kaum Hudhail yang pernah membangkang dan pemimpinnya di singkirkan oleh pasukan Islam, memasang jerat dengan meminta Rasul untuk mengirimkan pengajar-pengajar agama Islam. Rasul kemudian mengirimkan sahabat-sahabat setia yang sudah bepengalaman saat dulu melakukan da’wah di Madinah sebelum Hijrah.

Namun, 6 pengajar pilihan disertai rombongannya ketika tiba di pangkalan air milik kaum Hudhail di daerah yang disebut Ar-Raji dikhianati. Mereka dikepung. Bukannya mereka menyerah, pahlawan Islam itu mencabut pedang mereka dan bersiap membela diri. Namun kaum Hudhail berkata, “Kami berjanji tidak akan membunuh kalian. Kami hanya mengambil keuntungan dan menyerahkan kalian ke Mekah”.

Namun para pengajar besar itu pantang menurut dan tetap mengadakan perlawanan. Dalam penyergapan yang tidak seimbang itu, darah mengalir di Ar-Raji, tiga orang pahlawan Islam gugur sebagai syuhada. Tiga orang penting Madinah itu tertawan dan diseret ke Mekah. Abdullah b.Tariq, berhasil lolos namun segera dikepung oleh rombongan Hudhail dibelakangnya dan kembali gugur.

Tinggal dua orang tawanan. Shahwan bin Umayya sengaja membeli Zaid bin Dathina untuk membalas kematian ayahnya Umayya bin Khalaf. Sebelum Zaid dibunuh, Abu Sufyan menawarkan kebebasan.
“Zaid sesungguhnya Muhammad yang ingin kupenggal, kau boleh kembali ke keluargamu”. Namun Zaid dengan gagah berani menolak, “Sekalipun Rasul di tempatnya kini hanya tertusuk duri dan aku disini bebas menghianatinya, aku tidak sudi!”, Zaid pun gugur sebagai syahid memegang teguh Islam.
Tawanan yang satu lagi pun bernasib serupa. Ia menolak murtad untuk kebebasannya. Khubaib sebelum diseret untuk disalib, meminta untuk melakukan sholat. Permintaannya dikabulkan. Selesai sholat dua rakaat, Khubaib berkata,
“Kalau tidak karena kamu akan menyangka aku memperlambat karena takut mati, aku akan shalat lebih lama lagi”. Sebuah ibadah yang teramat indah, sholat sebelum gugur mempertahankan iman. Khubaibpun kehilangan nyawanya di tiang penyaliban.

Kejadian ini sekalipun sangat memilukan, namun pengaruhnya sangat besar dikalangan kaum Quraisy dan para pemimpin mereka. Selain dipenuhi rasa kagum, relung hati mereka bergetar oleh rasa jeri dan takut, bagaimana mungkin seorang yang mencintai Nabi Muhammad itu begitu setia tanpa takut menghadapi maut. Wallahu a’lam bishawab. (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version