Setelah beberapa lama berjalan, Wisanggeni bertemu dengan dewa lainnya. ” Hei Kakek, aku Bambang Wisanggeni. Siapa nama ibu dan bapakku?” tanyanya.
” Kamu ini siapa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya”, kata dewa itu.
” Aku Bambang Wisanggeni. Justru aku tidak tahu siapa ibu dan bapakku. Makanya aku tanya padamu”.
Dewa itu memandang kepada Wisanggeni, dia merasa aneh, sebab dia hafal semua penghuni kayangan dan memang belum pernah tahu anak ini. Kalau ditanya siapa ibu dan bapaknya, jelas dia tidak tahu.
” Aku tidak tahu siapa orang tuamu, kalau kakekmu siapa?”, tanya dewa itu.
” Aku juga tidak tahu”, jawab Wisanggeni.
” Wah, kalau begitu ya sulit”, kata dewa itu.
” Pokoknya kamu mau memberi tahu enggak?”, kata Wisanggeni.
” Bagaimana memberitahumu kalau aku tidak tahu?”, kata dewa itu.
” Wah, kamu bicara mutar2 tapi tidak mau menjawab pertanyaanku. Kamu pasti tahu!”.
Karena yakin dewa itu tahu dan tidak mau menjawab, maka hal itu membuat Wisanggeni menjadi emosi, lalu dipukullah dewa itu dengan keras sampai terjengkang ke belakang. Dewa itu mengaduh karena sakit, dia sadar ini bukan anak sembarangan. Maka daripada babak belur, lebih baik dia melarikan diri, lalu kaburlah dia secepatnya.
Wisanggeni lalu berjalan kembali mencari ibu dan bapaknya. Ketika bertemu dewa lagi, dia bertanya dan tidak mendapat jawaban memuaskan, lalu dipukullah dewa itu yang kemudian lari menjauh.
Demikianlah maka banyak dewa terkena pukulan Wisanggeni. Kemudian para dewa berusaha menangkap Wisanggeni beramai-ramai, mau diikat dan diserahkan kepada Batara Guru. Namun yang terjadi, usaha mereka tidak berhasil. Semakin banyak yang mengeroyok Wisanggeni, namun juga mereka tetap kalah semuanya.
Kejadian ini membuat kayangan menjadi gempar dan kemudian dilaporkan kepada Batara Guru sebagai rajanya para dewa. Batara Guru terpaksa turun tangan menemui anak remaja itu. Batara Guru adalah rajanya para dewa, bahkan dia sudah tahu apa yang belum terjadi.
Maka demi melihat Wisanggeni, dia tidak kesamaran, ini adalah anak Dewi Dresanala, cucu Batara Brama dan juga merupakan cicitnya sendiri. Di dalam dirinya ada tanda atau ciri dari Sang Hyang Wenang, dewa yang disegani dan ditakutnya. Dewa yang juga merupakan kakeknya.
” Siapa namamu Ngger?”, tanya Batara Guru.
” Namaku Bambang Wisanggeni. Kakek ini siapa?”
” Aku Batara Guru”
” Oh ya, Batara Guru, rajanya para dewa. Tentu kamu tahu ibu dan bapakku. Ayo tunjukkan Kek, siapa ibu dan bapakku”, kata Wisanggeni.
Untuk diketahui Wisanggeni ini tidak pernah berbahasa halus (bahasa Jawanya “krama”) kepada siapapun, dia berbahasa “ngoko” alias bahasa lugas dan sering disebut bahasa kasar.
” Ibumu adalah Dewi Dresanala dan bapakmu bernama Arjuna”.
“Terima kasih Kakek Batara Guru yang telah menjelaskan siapa ibu dan bapakku”, kata Wisanggeni.
” Sekarang ibuku di mana?”, lanjut pertanyaannya.
” Ibumu telah menikah dengan Dewa Srani”, jawab Batara Guru.
” Oh begitu? Kalau bapakku di mana?”, tanya Wisanggeni lagi.
” Bapakmu, Arjuna itu manusia biasa, sekarang ini dia sudah kembali ke Arcapada, ke Kasatrian Madukara di wilayah kerajaan Amarta”, jawab Batara Guru.
” Terima kasih Kakek Batara Guru, kalau begitu, sekarang saya akan menemui Bapakku, Arjuna di Kasatria Madukra di wilayah Amarta sesui petunjukmu”.
Wisanggeni kemudian pamit kepada Batara Guru untuk segera turun ke bumi mencari ayahnya. Batara Guru bernafas lega, sebab Wisanggeni telah meninggalkan kayangan dan tidak membuat keonaran lagi.
Syahdan kata yang empunya cerita, sebagai kisah babak selanjutnya, inilah kerajaan Amartapura di Arcapada alias bumi manusia. Kerajaan yang “apanjang-apunjung, pasir wukir, gemah ripah loh jinawi karta lan raharja”.
Apanjang artinya panjang ceritanya, tidak ada habisnya untuk diceritakan keindahan dan kehebatannya. Apunjung berarti kerajaan ini besar kewibawaannya di mata negara lainnya. Pasir wukir artinya negara, tepatnya ibukota negara ini terletak di antara gunung dan laut, ke sana memandang gunung, ke sini memandang laut.
Gemah ripah mengandung arti murah apa yang serba dibeli, tidak selalu karena harganya murah, namun tingkat ekonomi yang tinggi dari rakyatnyalah penyebabnya, alias negara yang makmur. Loh jinawi artinya tanahnya sangat subur, tumbuh apa yang serba ditanam.
Karta raharja, negaranya ramai, banyak dikunjungi orang, turis, baik lokal maupun manca negara, setiap hari orang berlalu lalang, bekerja, berjalan-jalan, berolah rohani, berolah raga, berwisata , berkesenian dan berkuliner ria.
Selain itu di kerajaan ini keadilan benar-bener ditegakkan. Maka tidak ada kejahatan di negara ini. Polisi, jaksa dan hakim yang mengurusi bidang terkait kejahatan banyak mengganggur, penjara menjadi lowong dan sepi.
Siapakah yang menjadi raja Amartapura? Tidak lain dia adalah Puntadewa, ya Dwijakangka karena pernah menajdi guru ketika dalam masa pembuangan 14 tahun (dwija = guru), Darmaputra karena merupakan putra dari Batara Darma.
Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, atau Sami Aji. Demikianlah nama-nama raja nan bijaksana ini.
Pada saat itu sang raja sedang mengadakan rapat paripurna di balai pertemua agung negara Amarta dengan saudara-saudaranya, para Pandawa.
Selain para Pandawa, juga hadir para istri Pandawa, termasuk istri-istri Arjuna, seperti Dewi Wara Sembadra dan Dewi Wara Srikandi. Tak lama kemudian datang pula Prabu Kresna, raja Dwarawati yang juga menjadi penasehat Pandawa dan kerajaan Amarta.
Pokok bahasan rapat adalah membicarakan kepergian Arjuna, sang panengah Pandawa lima yang sudah beberapa bulan belum pulang. Kepergian Arjuna adalah memenuhi permintaan dewa untuk mengusir perusuh, raja raksasa yang akan mendongkel kewibawaan kayangan, kerajaan para dewa.
Menurut kabar terakhir, Arjuna telah berhasil mengalahkan musuh tersebut, bahkan telah memperoleh hadiah seorang bidadari bernama Dewi Dresanala yang putri dari Batara Brama. Perkembangan selanjutnya belum mereka ketahui.
Kepergian Arjuna beberapa bulan itu menimbulkan rasa rindu bagi para Pandawa, Prabu Kresna dan tentunya istri-istri Arjuna.
Setelah saling menanyakan keadaan masing-masing, Puntadewa bertanya kepada Kresna.
” Duhai Kanda Kresna, apakah sudah ada kabar tentang Arjuna?”.
” Aduh Dinda Judistira, kedatangan saya ke sini ini justru untuk menanyakan perihal Arjuna, apa sudah pulang atau belum”, jawab Kresna.
” Paduka adalah titisan Batara Wisnu, tentu tahu apa yang sudah dan belum terjadi”, kata Puntadewa.
” Dinda Yuidistira, kurang elok kalau teka-teki dijawab sendiri. Sebaiknya kita tunggu saja, siapa tahu dia segera pulang kembali”, jawab Kresna.
” Iya tuh, Kanda Arjuna kalau pergi lama-lama pasti mendapat istri baru dan melupakan kami ini para istri tua”, kata Srikandi tidak bisa menyembunyikan kekesalan atau lebih tepatnya keiriannya karena Arjuna telah mempunyai istri baru, apalagi bidadari dari kayangan lagi.
” Srikandi dan adikku Sembadra”, kata Kresna kepada Srikandi dan Sembadra yang merupakan adik kandungnya itu.
” Bersabarlah. Ya itu resikonya kalau punya suami tampan, banyak yang mau menjadi istrinya”, kata Kresna sambil tersenyum.
” Kanda Kresna ini malah membela Kanda Arjuna”, kata Srikandi bersungut-sungut. Di satu sisi Srikandi bangga punya suami yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya, namun di sisi lain dia juga menjadi sangat cemburu dengan Arjuna. Sembadra sendiri lebih banyak diam karena memang dia kurang banyak berbicara.
Yang hadir semua tertawa mendengar ucapan Srikandi, kecuali istri-istri Arjuna. Suasana yang tegang kini menjadi cair.
” Kanda, hamba yang datang”.
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan Arjuna yang sedang mereka tunggu-tunggu. Mereka sangat senang karena yang ditunggu sudah datang. Namun rasa senang itu seketika berubah seratus delapan pulu derajat, demi melihat wajah Arjuna yang kuyu, loyo dan kelihatan sangat sedih . . . . .
(bersambung Jum’at depan) – (Widartoks 2016; dari grup FB-MKPB Telkom)FR
———
Gambar : Pandawa – Kresna
Duduk dari kiri ke kanan : Arjuna, Sadewa dan Nakula.
Berdiri dari kiri ke kanan : Bima, Kresna dan Puntadewa/ Yudistira