Sore itu Dewi Dresanala duduk sendirian. Datanglah Dewa Srani menghampiri. ” Dresanala, coba aku mau lihat kandunganmu seberapa besar”, kata Dewa Srani bermaksud ingin tahu berapa lama lagi dia harus menunggu si bayi lahir. Kalau bayinya sudah lahir, tentu Dewi Dresanala bisa menerima cintanya dengan lebih mudah.
” Tidak boleh”, kata Dewi Dresanala, sambil memegangi perutnya yang buncit.
” Aku hanya ingin mengelus perutmu saja”.
” Tidak boleh”.
” Sebentar saja”, kata Dewa Srani sambil tangannya mau meraih perut Dewe Dresanala.
” Sebentar juga tidak boleh”, kata Dewi Dresanala seraya membalikkan badannya, menjauhkan perutnya dari jangkaun Dewa Srani.
Dewa Srani penasaran. Maka dia lalu berusaha memegang perut Dewi Dresanala yang berkelit menghindari sergapan Dewa Srani. Maka terjadi kericuhan. Dewa Srani berusaha pegang perut Dewi Dresanala yang makin lama dengan kemarahan, Dewi Dresanala berusaha menghidarkan perutnya dipegang Dewa Srani.
Dewa Srani memeluk dengan kuat Dewi Dresanala yang berusaha berkelit menghindari. Maka lama-lama terjadi pergumulan di antara keduanya. Dewa Srani sendiri makin lama semakin panas, geram dan semakin memuncak kemarahannya.
Ketika suatu ketika perut Dewi Dresanala terpegang, dengan penasaran, kemarahan, emosi yang menyala, Dewa Srani meremas perut itu dengan sekuat tenaga seraya giginya gemeretak. Seketika itu juga Dewi Dresanala menjerit, mengerang kesakitan dengan sangat keras.
Karena terjadi pergumulan antara Dewa Srani dan Dewi Dresanala dan diakhiri dengan peremasan perut dengan sangat keras, maka pada saat itu sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Dewi Dresanala melahirkan bayi yang masih kecil karena memang belum waktunya.
Para pelayan kemudia membantu mengurus bayi itu dan Dewi Dresanala yang sesaat kemudian menjadi pingsan. Bayi mungil yang lahir belum waktunya itu terkulai lemas, entah hidup entah sudah mati. Betari Durga yang datang kemudian melihat bayi mungil itu justru malah tertawa.
” Dewa Srani anakku. Kini bayi itu telah lahir, jadi sekarang sudah tidak ada pengganjal Dresanala menerimamu sebagai suami. Bayi ini sebaiknya kita buang saja ke kawah Candradimuka agar lebur dan justru sebagai tumbal perkawinanmu dengan Dresanala. Ayo tidak perlu menunggu lagi, kita bawa bayi ini ke kawah Candradimuka”,
kata Batari Durga yang kemudian memegang bayi kecil itu di kakinya, seperti memegang anak kelinci. Dewa Srani hanya mengangguk dan segera mengikuti ibunya ke kawah Candradimuka.
Sesampai di pinggir kawah Candradimuka, pada saat itu kawah candradimuka bergejolak, seperti binatang buas yang kelaparan belum makan. Suasana di seputar kawah sepi, tidak ada sesosok dewapun nampak. Betari Durga kemudian berkata.
” Kawah candradimuka, terimalah ini makanan, tumbal perkawinan anakku Dewa Srani dengan Dresanala”. Dia melemparkan bayi mungil itu ke dalam kawah yang disambut dengan suara menggelegar ketika air kawah candra dimuka tiba2 menggelegak dan menangkap bayi itu. Bayi itupun sirna dari pandangan mereka berdua. Lega. Betari Durga kemudian mengajak Dewa Srani pulang.
Ada hal yang mereka tidak sadari. Sejak awal, sejak Batara Guru melamar Dewi Dresanala kepada Batara Brama, Batara Narada tidak setuju. Namun dia tidak mungkin melawan Batara Guru. Maka yang bisa dilakukan adalah mengamat-amati dari jauh apa yang terjadi dengan Dewi Dresanala dan sedapat mungkin membantunya.
Ketika bayi Dewi Dresanala dibawa Batari Durga ke kawah Candradimuka, Batara Narada mengikuti dari kejauhan. Betapa sedihnya ketika bayi mungil yang entah hidup entah mati itu dibawa dengan dipegang kakinya, apalagi kemudian dilempar ke kawah Candradimuka.
Batara Narada tak bisa menolong. Kalau dia halangi Batari Durga, dia tidak berani, sebab ujungnya akan berhadapan dengan Batara Guru yang tidak bisa dilawan. Kini Batara Narada di sisi kawah Candradimuka hanya tercenung, berdiri diam seperti patung. Menyesali ketidak mampuannya menolong Dewi Dresanala dan bayi mungil itu. Kalau bayi itu sudah mati, tidak selayaknya diperlakukan se-mena2
Beberapa saat kemudian Batara Narada kaget, karena tiba-tiba di tengah kawah air kawah kembali bergejolak dan menimbulkan suara yang gemuruh. Batara Narada memperhatikan ke arah itu. Tiba-tiba dari dalam kawah muncul seorang pemuda remaja. Pemuda itu melayang terbang seperti burung keluar dari kawah candradimuka.
Dia berdiam diri, tubuhnya memutar perlahan, seperti sedang mengamati suasana seputar kawah Candradimuka. Ketika terlihat olehnya Batara Narada, maka dia segera mendatangi Batara Narada. Batara Narada senyum gembira, pastilah ini si jabang bayi tadi, pasti ada yang telah menyelamatkan. Tiba-tiba remaja itu menyerang Batara Narada. Maka Batara Narada segera menghindar.
” Sabar Ngger, sabar Ngger”, kata Batara Narada menenangkan. Dia memanggil anak itu dengan sebutan Ngger, yang artinya nak. Panggilan kepada yang lebih muda, terutama yang masih bujangan.
” Kamu jahat, kamu jahat”, kata remaja itu dengan tetap terus menyerang Batara Narada.
” Sabar Ngger, dengar saya tidak jahat. Justru aku membantumu”, kata Batara Narada tetap menghindari serangan remaja itu.
Remaja itu terus menyerang Batara Narada yang terus menghindar. Sekali kali serangannya berupa gumpalan api yang sangat panas yang membakar dan menghancurkan batu sebesar kerbau di seputar kawah. Api itu bisa keluar dari tangannya ketika diayunkan, dari mulutnya seperti otang meludah dan bisa dari sorot matanya seperti sinar laser jaman modern.
Batara Narada perdana mentri dewa, jadi dia sakti juga, hanya tidak pernah menggunakan kesaktiannya dalam menangani masalah. Sekian lama remaja itu menyerang dan yang diserang selalu bisa menghindar. Kemudian dia menghentikan serangannya dan berdiri di depan Batara Narada.
” Jadi kamu ini siapa?”, tanya remaja itu.
” Aku ini Batara Narada, patih kerajaan para dewa”, jawab Batara Narada.
” Dewa itu apa sih?”, tanya remaja itu.
Walau dia sudah remaja dan berpakaian, tapi sesungguhnya dia beberapa saat sebelumnya adalah bayi mungil yang diceburkan ke kawah Candradimuka, makanya sekalipun dia sudah bisa bicara, dia belum tahu banyak tentang dewa, tentang manusia, tentang kehidupan ini.
Batara Narada membatin, anak ini diceburkan ke kawah Candradimuka dan tidak mati, bahkan jadi besar dan bisa bicara, tentu ada yang menolongnya. Batara Narada lalu mengamati remaja itu dengan seksama, bukan hanya fisiknya saja, namun sisi batinnya yang tidak kasat mata.
Maka tidak kesamaran, anak ini telah ditolong oleh Sang Hyang Wenang, ada unsur Sang Hyang Wenang di anak ini, ada tanda, ada kode, ada sandi, ada simbol dari Sang Hyang Wenang yang hanya bisa diketahui oleh dewa sekaliber Batara Narada saja, dewa biasa saja tidak akan tahu.
Sang Hyang Wenang adalah dewa paling sakti di dunia wayang. Dewa yang paling ditakuti, disegani dan kadang muncul dalam cerita wayang. Dialah dewa yang bijaksana dan menjadi tempat mengadu para dewa, terutama dewa senior jika merasa diperlakukan tidak adil oleh Batara Guru.
Sang Hyang Wenang ikut campur dalam urusan Dewi Dresanala ini karena dia memandang Batara Guru telah berbuat kesalahan dengan mencabut keputusannya sendiri menghadiahkan Dewi Dresanala. Hal ini bisa menurunkan wibawa para dewa terutama dihadapan manusia biasa.
Batara Narada lalu memberi kursus singkat kepada remaja itu tentang kehidupan. Sekalipun anak remaja itu telah bisa berbicara, karena sudah diajari secara batin oleh Sang Hyang Wenang, namun masih belum tahu apa-apa tentang kehidupan ini.
Setelah dirasa cukup, lalu anak itu bertanya.
” Kakek Narada”, katanya. Dia menyebut kakek setelah diajari oleh Batara Narada.
” Kalau begitu aku ini namanya siapa?”
Batara Narada kaget juga, memang anak ini baru lahir dan belum mempunyai nama. Anak ini muncul dari dalam kawah Candradimuka, dia mempunyai senjata yang sangat berbahaya yang bisa muncul dari mulutnya, senjata seperti bisa, namun bisa dari api.
Rupanya dia menuruni kesaktian Batara Brama, kakeknya. Bahkan ada kesaktian lain yang ditanamkan di dalam dirinya oleh Sang Hyang Wenang, sehingga anak ini menjadi sakti pilih tanding.
Setelah berfikir sejenak, Batara Narada berkata : ” Kalau begitu nama yang cocok untuk kamu adalah Wisa AnggenI, yang artinya bisa yang berujud api”, kata Batara Narada.
” Wah, nama yang bagus”, kata anak itu.
” Atau begini saja supaya singkat, namamu jadi Wisanggeni”, kata Batara Narada. Kemudian dia seperti berfikir kembali dan lalu katanya.
” Oh ya, karena kamu ini anak manusia juga, maka nama lengkapmu Bambang Wisanggeni”.
” Wah, nama yang sangat bagus ya kakek”, kata Wisanggeni dengan sangat gembira.
” Oh ya, tadi kakek berkata aku ini anak manusia. Kenapa aku ada di sini? Lalu siapa ibu dan bapakku?”
” Hm, siapa ya?”, kata Batara Narada seperti bertanya pada diri sendiri.
” Begini saja, kalau kamu mau tahu siapa ibu dan bapakmu, kamu menujulah ke sana, keluar kawasan kawah ini. Kemudian tanya kepada siapa saja yang kamu temui, tanyakan siapa ibu dan bapakmu”.
” Kalau tidak tahu?”, tanya Wisanggeni.
” Pasti tahu, kalau tidak menjawab paksa saja, nanti pasti kejawab”, kata Batara Narada.
Wiasnggeni lalu pamit kepada Batara Narada dan keluar dari kawasan kawah Candradimuka untuk mencari tahu siapa ibu dan bapaknya.
Tidak berapa lama kemudian dia bertemu dengan sesosok dewa. Wisanggeni berhenti dan bertanya.
” Hei Kakek, aku Bambang Wisanggeni. Siapa nama ibu dan bapakku?” tanyanya.
” Ya mana kutahu”, kata dewa itu, bahkan mentertawakan Wisanggeni. Hal ini membuat Wisanggeni tersinggung, maka dewa itu dipukulnya. Sang dewa melawan anak remaja ini, namun ternyata tidak mampu menghadapi kesaktiannya, dia lari terbirit-birit.
Wisanggeni lalu berjalan kembali mencari siapa saja untuk ditanyai ibu dan bapaknya. (bersambung Jum’at depan/ …………………… Gambar : Narada – Wisanggeni; (Widartoks 2016; dari grup FB)FR