Pak Sabar mempunyai teman, namanya Pak Sukur. Selain teman kerja, dia ini teman sekolah dan juga tetangga satu RW. Jadi mereka dekat satu sama lain.
Beberapa waktu lalu teman Pak Sukur mau mantu putranya yang bernama Dadap. Karena putra Pak Sukur laki-laki, acara perkawinan diselenggarkan di pihak wanita dengan sederhana dan di kota lain pula, maka Pak Sukur dan istri berencana tidak mengundang teman dan tetangganya, yang satu RT sekalipun. Hanya saudara dekat saja.
Ketika rencana ini disampaikan Bu Sukur kepada Dadap, ternyata Dadap berpendapat lain.
” Jangan dong Mah”, kata Dadap kepada mamanya, ibunya.
” Tolong Bu Sabar diundang”, sambungnya.
Pak Sukur dan Bu Sukur kaget, mengapa Bu Sabar yang justru diminta diundang oleh si Dadap. Akhirnya Pak Sukur dan Bu Sukur mengundang Pak Sabar dan Bu Sabar ke acara perkawainan putranya itu. Tetangga dan teman dekat satu RT juga diundang.
Pak Sabar dan Bu Sabar kaget dan sangat terharu mendapat undangan yang katanya atas permintaan si Dadap ini. Mereka juga menyesal tidak bisa menghadiri, karena sudah ada acara lain yang sudah terprogram lebih dulu.
Pak Sabar dan Bu Sabar lalu menganalisa, mengapa Dadap ingin perkawinannya dihadiri Bu Sabar. Setelah diingat-ingat, ada cerita sekitar 20 tahun yang lalu. Waktu itu Pak Sabar dan Pak Sukur mengeleskan renang putra-putrinya yang masih kecil.
Waktu itu anak Pak Sabar dan Bu Sabar bernama Waru dan Melati masih kelas 3 SD dan TK, sedangkan anak Pak Sukur dan Bu Sukur bernama Dadap dan Mawar kelas 1 SD dan TK. Mawar dan Melati satu sekolah TK. Kelak mereka berempat sekolah di SD yang sama.
Jadwal latihan renang adalah hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Nah, setiap hari Rabu, karena Pak Sabar, Pak Sukur dan Bu Sukur bekerja, maka tiap hari Rabu itu yang mengantar renang adalah Bu Sabar saja. Namanya juga anak masih kecil, maka Bu Sabar banyak membantu putra – putri Pak Sukur ini.
Selain anaknya sendiri tentunya. Seperti menyiapkan dan membereskan pakaian saat di kolam renang, membantu saat mereka mandi, membantu membeli makanan, selain mengantar jemput dengan kendaraan. Kegiatan ini berlangsung lebih dari dua tahun.
Apa yang dilakukan Bu Sabar itu sebenarnya biasa saja, toh dia juga mengurusi anaknya sendiri, terutama Si Melati yang pada saat mulai renang masih sekolah di TK dan dimandikan bersama dengan Si Mawar.
Mungkin bagi Dadap, Bu Sabar dianggap sangat membantu, justru ketika itu dia merasa “tidak berdaya”, belum bisa mandiri dalam hal mandi, memberesi pakaian dan alat renang, menggunakan uang (untuk jajan makanan), apalagi mungkin melihat adiknya yang lebih “tidak berdaya”. Mungkin hal-hal itu yang membuat Dadap selalu ingat dan ketika mau menikah, dia ingin dihadiri oleh Bu Sabar.
Begitulah, orang yang ditolong saat “tidak berdaya”, saat sangat memerlukan bantuan orang lain, saat belum bisa mandiri, akan diingat sepanjang masa dan mungkin yang menolong sudah lupa kejadiannya, karena dianggap perbuatan biasa saja. Apalagi hanya modal sedikit tenaga saja.
Saya sendiri merasa banyak sekali ditolong orang di saat “tidak berdaya”, di saat kesulitan berat dan tentu saja saya tidak akan melupakan pertolongan mereka.
Maka, seyogyanyalah kalau ada kesempatan, tolonglah orang yang “tidak berdaya”, yang kesusahan, karena bagi dia pertolongan kita sangat besar artinya dan akan dikenang sepanjang masa. Tentu dari Tuhan YME-lah balasannya . . . . . (Widartoks 2016; dari grup FB- MKPB Telkom)- FR