Syahdan, kerajaan Hastinapura resmi, sesuai aturan, diwariskan dari Prabu Kresna Dipayana ke anaknya, yaitu Pandu Dewanata. Karena Pandu mati muda (di tulisan sebelumnya berjudul “Gendari – Kunti – Madrim, Lahirnya Bara Dalam Sekam) dan anak2nya belum dewasa, maka kerajaan dititipkan ke kakaknya, yaitu Destarastra.
Destarastra ini punya anak 100 yang disebut Kurawa atau Korawa. Pandu mempunyai anak lima yang disebut Pandawa. Pada saat kekuasaan Hastinapura dipegang Destarasta, anak2nya ketika beranjak dewasa, ingin agar kekuasaan itu tidak diserahkan ke anak2 Pandu sebagai pihak sah. Maka mereka, atas dukungan paman (adik ibunya) bernama Harya Suman dengan segala cara berusaha menyingkirkan Pandawa.
Salah satu cara yang sukses menyengsarakan Pandawa adalah mengajak mereka main dadu dengan taruhan kalau Pandawa kalah mereka harus dibuang di hutan selama 12 tahun dan menyamar tanpa boleh ketahuan selama 2 tahun. Dengan curangnya Pandawa dikerjai dan kalah. Maka dibuanglah Pandawa selama 12 tahun plus menyamar selama 2 tahun.
Ketika Pandawa sudah kembali, kerajaan Hastina Pura tidak diserahkan kepada Pandawa. Pandawa dengan terpaksa membangun negara baru yang bernama Amarta Pura atau Indra Prasta.
Kemudian kerajaan Hastina yang memang menjadi hak Pandawa diminta kembali, namun tetap dikukuhi pihak Kurawa. Berbagai diplomasi sudah dilakukan. Bahkan terakhir, di peristiwa Kresna Duta, jika negara Hastina Pura diserahkan, Pandawa mengalah, separuhnya saja juga tidak mengapa. Namun pihak Kurawa tetap tidak mau menyerahkan. Terpaksalah Pandawa merebutnya dengan perang. Perang besar antara Pandawa dan Kurawa ini disebut Perang Barata Yuda.
Nah, ketika Perang Barata sudah pasti akan terjadi, yaitu ketika pihak Pandawa mengutus Kresna untuk meminta negara Hastiana Pura (peristiwa Kresna Duta) dan ditolak mentah-mentah oleh pihak Kurawa, putra-putra Pandawa semua gelisah. Tak terkecuali Wisanggeni.
Wisanggeni gelisah, sebab menilai bahwa Kurawa berani menolak menyerahkan negara Hastina Pura sekalipun hanya separuhnya saja tentu sudah dengan pertimbangan matang. Mereka mempunyai prajurit yang banyak dan terlatih di medan perang. Mereka juga didukung oleh negara-negara sekutunya. Mereka juga mempunyai jago, orang-orang sakti mandraguna, seperti Resi Bisma, Prabu Salya, Guru Drona, Patih Sengkuni alias Harya Suman dan masih banyak lagi.
Maka Wisanggeni sebagai putra Pandawa juga merasa berkewajiban membela Pandawa dalam perang besar itu. Cintanya pada negara dan orang tua, membulatkan tekadnya untuk ikut di Perang Barata Yuda. Dengan bekal kesaktiannya, semoga tidak mengecewakan harapan orang tua dan rakyatnya. Begitu yang ada di benak Wisanggeni.
Namun sebagai anak muda yang merasa tidak sempurna, dia perlu meminta restu dari ibunya, Dewi Dresanala dan kakeknya, Batara Brama. Oleh ibu dan kakeknya, Wisanggeni disarankan meminta restu dan pengarahan dari sang Hyang Wenang. Maka berangkatlah Wisanggeni ke Kayangan Alang-Alang Kumitir untuk meminta restu Sang Hyang Wenang.
Setelah menghadap dan menanyakan maksud kedatangannya, Sang Hyang Wenang berkata.
” Wisanggeni, apa sudah bulat niatmu untuk ikut dalam perang Barata Yuda?”
” Sudah Eyang, sudah mantap”, jawab Wisanggeni.
” Baguslah kalau begitu. Itu baru namanya generasi muda yang peduli akan nasib bangsa, negara dan orang tua, sekaligus ingin melenyapkan angkara murka di dunia”, kata Sang Hyang Wenang.
” Jadi Eyang Wenang mendukung niat saya?”, kata Wisanggeni sambi tersenyum.
” Benar, saya mendukung. Hanya ada masalah”, kata Sang Hyang Wenang.
” Masalahnya apa Kek?”.
” Begini Wisanggeni. Masalahnya pelik dan hanya kamu yang bisa memutuskan”.
” Lho, kok begitu. Apa sih masalahnya Kek?”
” Masalahnya begini. Kalau kamu ikut perang, maka Pandawa akan menang dalam Perang Barata Yuda, tapi semua orang tuamu, Pandawa yang lima akan mati semua. Kalau kamu tidak ikut perang, orang tuamu Pandawa yang lima akan utuh, semuanya selamat. Nah, silahkan dipikir, kamu pilih yang mana”, kata Sang Hyang Wenang.
” Wah, kok masalahnya seperti itu? Waduh, sulit saya memilihnya”, kata Wisanggeni. Sang Hyang Wenang hanya diam, menunggu.
Setelah berfikir sebentar, Wisanggeni berkata.
” Kalau begitu, lebih baik aku tidak usah ikut Perang Barata Yuda saja Kek”.
” Baiklah Wisanggeni, sebaiknya kamu menunggu mereka, orang tuamu di alam kaswargan saja”, kata Sang Hyang Wenang.
” Bersiaplah”, lanjut Sang Hyang Wenang.
Wisanggeni menggangguk mengerti. Wisanggeni kemudian berdiri diam, bersedekap, memandang Sang Hyang Wenang lalu meniup perlahan Wisanggeni dengan mulutnya. Angin semilir keluar dari mulut sang Hyang Wenang. Terkena tiupan itu, Wisanggeni merasa sangat sejuk, damai dan mulai mengantuk. Dia memejamkan matanya.
Sang Hyang Wenang tetap meniup perlahan. Tiba-tiba terkena tipuan itu tubuh Wisanggeni sedikit mengecil. Kemudian mengecil, mengecil dan terus mengecil. Akhinya tubuhnya menjadi hanya sebesar biji kedelai. Dengan sekali tiupan keras, tubuh Wisanggeni terlempar, melesat menuju alam kaswargan. Kaswargannya wayang . . . . .
( T a m a t )-(Widartoks 2016; dari grup FB- )-FR