Peristiwanya sudah lama. Ketika itu Pak Johar sedang naik sepeda motor di daerah Depok, Jabar, yang dekat Jakarta. Di pinggir jalan, Pak Johar melihat penjual cempedak (seperti nangka tapi kecil). Pak Johar lalu berhenti dan bermaksud membeli. Mengapa? Karena cempedaknya terlihat bagus-bagus.
Pak Johar bertanya harganya ke penjualnya. Dijawab satu buah Rp 2.000,-. Pak Johar menawar, siapa tahu boleh kurang harganya, dia menawar 3 buah cempedak seharga Rp 5.000,-. Ternyata tidak boleh, kata penjualnya. Di-coba2 menawar ternyata memang tidak bisa ditawar.
Ya sudah, karena tidak boleh ditawar, Pak Johar beli 2 buah, Rp 4.000,-. Pak Johar meminta dipilihkan yang sudah matang dan siap dimakan, sebab dia belum tahu memilih cempedak yang siap dimakan. Untuk diketahui memilih cempedak ini tidak mudah. Kalau mentah ya tidak bisa dimakan. Kalau terlalu matang, daging buahnya mudah hancur. Jadi kalau mau dimakan begitu saja, harus yang pas matangnya.
Penjualnya itu meyakinkan bahwa cempedaknya bagus, sudah matang dan pas siap dimakan. Dia lalu membuka sebuah cempedak yang bagus, baru dan utuh, lalu diperlihatkan isinya, bahkan Pak Johar disuruh mencoba. Memang cempedak ini pas sekali, tidak mentah dan tidak kematangan. Pak Johar jadi yakin dengan apa yang dibelinya.
Lalu cempedak yang baru saja dicoba itu diberikan ke Pak Johar sebagai tambahan dari dua yang sudah dibeli. Karena merasa tidak enak hati dan cempedaknya bagus, Pak Johar mau bayar cempedak yang masih utuh dan hanya dia saja yang mencicipi. Tapi penjual itu tidak mau.
Sesampai di rumah, semua cempedak ternyata pas matangnya. Ditawar Rp 5.000, – untuk tiga buah penjualnya tidak boleh, kini malah dapat tiga buah seharga Rp 4.000,- . KBY. Kok bisa ya ? (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR