Banyak orang beranggapan kekayaan adalah segalanya, materi menyelesaikan segalanya. Namun tidak dengan Houtman, meski sudah prestasi luar biasa dalam karir dan perjalanan hidupnya, akan tetapi hati kecilnya tidak bisa berdusta. Ada noktah kekosongan disana.
Hatinya galau-risau memikirkan untuk apa semua pencapaian, prestasi-kekayaan yang ia peroleh. Ia sering mengalami kekosongan hati. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, begitu seterusnya, Ia menjalani hari2 dengan hambar. Tidak ada yang dilakukannya selain bekerja dan bekerja.
Suatu ketika di Bulan Ramadhan rekannya mengajaknya ke suatu tempat. “Ikut sama gua, yuk ” seorang rekan mengajak, tampaknya dia sudah lama mengetahui kegalauan hatinya
“kemana? Emang mau ngapain” begitu jawabnya
“adalaah, ikut aja… ngga ada ruginya ikut ama gua” begitu sang rekan meyakinkan.
Eksekutif Bank itu bersedia di ajak, toh ia lowong, tak ada ruginya ikut ajakannya. Temannya itu mengajaknya ke Pengajian di Panti Asuhan Anak Yatim. Temannya tsb terbiasa ikut pengajian, dan lama jadi salah satu pengurus di Panti itu. Ia larut ikuti acara itu. Pengajian seperti itu sering ia ikuti kala di kampung dulu.
Ramai sekali suasana pengajian, namun Ia tak merasakan kehangatan suasana itu. Ia memperhatikan anak2 bershalawat, mereka anak2 yang tidak lagi punya Ortu. Suara takbir-tahlil-tasbih sahut menyahut. Ia beku di tengah keramaian. Hatinya hampa dan gelisah. Pengajian pun selesai tapi acara belum usai, ia berusaha meninggalkan ruangan. Ia berjalan keluar, masih diseputaran gedung panti Asuhan.
Di tengah temaram sinar bulan, ia lihat sinarnya tersembul sedikit diantara pintalan awan, Ia melangkah perlahan. Ia tendangi kerikil2 kecil, mencoba mengatasi kegundahan yang ada. Beberapa anak yatim berlarian di halaman panti, ia berusaha mengamati mereka. Tiba2 semungil panggilan menyeruak.
“Om, Om, kan yang tadi di dalam, tadi ikut pengajian kan?” Seorang anak perempuan memanggilnya.
“iya nak” “hmm siapa namamu sayang?” Ia balik bertanya
“Aku Nina om”
“cantik sekali, Nina sedang apa” Ia membungkukkan badan, berusaha menyamai tinggi anak itu.
“Nina sekolah dimana?”
“Sekolah Nina dekat kok disini”
“Pintar2 belajar ya nak”
“Sini nak, temanin om lihat2 panti” Ia pun berkeliling bersama Nina lihat2 panti, mereka mengobrol penuh canda, hingga mereka makin akrab .
Tiba-tiba Nina menyampaikan sesuatu yang tidak pernah diduga. “Om…om”, suara Nina tercekat.
“ada apa Nina, kok kamu terlihat gelisah? Apa om bisa bantu?”
“ini om… Nina boleh minta sesuatu gak, tapi om jangan marah ya”
“tentu Nina, om gak marah, Nina perlu apa?” Ia berjongkok mensejajarkan dengan Nina.
Lama Nina terdiam, wajahnya pucat menahan sekat ditenggorokan.
Houtman mengelus kepalanya. “ada apa Nina… bilang sama Om, pasti om bantu”
“Om bolehkah Nina panggil Ayah ke Om?” “Om nggak marah kan?”
“Om mau kan jadi ayah Nina?” Bercecaran Nina mengeluarkan isi hatinya.
Hotman kaget, terdiam dalam keheningan. Seketika ia peluk anak yatim itu, sebuah permintaan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ternyata bukan boneka yg diminta Nina, bukan juga uang, hanya sebutan ‘Ayah’. Tanpa terasa hatinya bergetar.
“tentu anakku, tentu” “Nina boleh panggil Ayah” Dipeluknya erat2 Nina, tak terasa airmatanya mengalir, mengisi setiap relung kekosongan hatinya.
Inikah petunjuk-Mu ya Rabb, ucapnya syukur dalam hati.
Eksekutif Bank ini berniat pamit “Nina, ini sudah malam, Ayah pulang dulu ya, besok ayah kembali lagi, Nina istirahat ya, kan besok harus sekolah”
“Makasih..Ayah. Kapan Ayah akan datang lagi ?”
“Boleh, sayang, Besok Nina mau dibawakan apa sama Ayah?” ia mencoba berpamitan
“Ngga usah ayah, Nina senaaang sekali, karena punya ayah. ”
“Ninaaa, kalau nina tidak minta, ayah tidak mau pulang” Eksekutif Bank tsb membuka dompetnya
“Lihat ini uang Ayah banyak, Nina tinggal minta , pasti Ayah belikan”
“tidak Ayah , Nina tidak ingin apa2”
“kalau Nina tidak mau , nanti Ayah tidak kesini besok” Ia sedikit mengancam.
Nina terdiam cukup lama, “tapi Ayah jangan marah ya”
“iya nak, pasti Ayah membawakan”
“Ayah, selama ini Nina ingin memiliki sesuatu”
“apa itu nak?”
“Nina ingin punya foto”
“foto apa nak, ayah bisa bawakan kamera buat Nina, Nina mau kamera?”
“bukan ayah, bukan itu, Nina ingin foto ayah dan ibu”
“loh untuk apa nak”
“buat diperlihatkan disekolah, Nina ingin memperlihatkan foto, bahwa Nina kini punya ayah dan ibu”
Sang Eksekutif Bank tersebut mengangguk, seketika ia berlinang air mata, menangis tersedu-sedu.
Sang Eksekutif Bank tsb memeluk Nina dan berkata, “Nina, besok Ayah akan datang lagi ke sini bersama ibumu dan kakak-kakak-mu dan akan Ayah bawa Foto Ayah dan Ibumu.”
Dia pulang, di mobilnya ia menangis tersedu, dadanya sesak, pintu langit seperti terbuka, Tuhan telah membukakan mata hatinya, mengisi setiap relung2 yang selama ini kosong. Uang banyak, materi bukan segalanya, sukses bukan akhir kehidupan. Selama ini Ia terlalu sibuk hingga melupakan satu hal yaitu berbagi dan mengasihi. (http://www.biografiku.com/2012/12/biografi-houtman-zainal-arifin-kisah.html)-FatchurR