Diinjaknya bayi itu oleh Prabu Nagabaginda ber-kali2. Anehnya, bukan tubuhnya hancur, namun setiap diinjak tubuhnya membesar sedikit, diijak lagi membesar lagi. Maka bayi Antareja makin lama makin besar saja. Lama2 menjadi remaja dan mulai bisa melawan Prabu Nagabaginda.
Terjadi pertarungan sengit antara Antareja dengan Nagabaginda. Sekalipun Antareja belum diajari berkelahi, namun namanya juga makhluk bernyawa, dia secara naluri bisa mempertahankan diri. Selain itu pukulan dan tendangan Nagabaginda tidak berakibat-apa apa terhadap tubuh Antareja, karena sudah dilambari dengan ilmu kesaktian oleh kakeknya, sang Hyang Antaboga.
Dari pertarungan itu, justru Antareja belajar bagaimana cara memukul, menangkis, menendang dari Nagabaginda, seperti mendapat kursus kilat olah kanuragan dan langsung praktek. Akhirnya Antareja bisa mengimbangi Nagabaginda, bahkan lama-lama bisa mengalahkan.
Pada kesempatan pertarungan jarak pendek, secara naluri tiba2 Antareja menjilat leher Nagabaginda. Akibatnya sungguh fatal, seketika tubuh Nagabaginda membiru keracunan. Ya keracunan. Antareja adalah cucu Sang Hyang Nagaraja yang aslinya berujud ular. Tentu dengan kesaktiannya, ludahnya merupakan bisa yang sangat kuat.
Demikian juga Antareja yang dilengkapi ajian Napakawaca, siapapun terkena ludahnya segera keracunan hebat, tubuhnya membiru sebab darah jadi beku seketika, yang berakibat jantung berhenti bekerja. Bisa Napakawaca mengalahkan racun ular raja kobra di jaman modern, apalagi kalau sekedar racun warangan yang biasa disebut arsenik, atau sianida atau malah pestisida.
Yang kemudian terjadi, Prabu Nagabaginda menggigil, matanya melotot dan lalu mati. Namun terjadi keanehan, sukma Prabu Nagabaginda menjelma, menyantu ke badan Antareja.
Antareja kemudian dinobatkan sebagai raja Kerajaan Jangkarbumi, menggantikan Prabu Nagabaginda. Namun karena masih remaja dan belum berpengalaman, untuk sementara pemerintahan di Jangkarbumi dijalankan oleh patih atau perdana mentri dan para punggawa lainnnya.
Rakyat hidup tenteram, sebab Sang Raja kini tidak bernafsu menaklukkan kerajaan lain, apalagi sampai menantang kayangan para dewa. Pemerintahan kini lebih fokus membenahi infrastuktur, seperi jalan dan jembatan, saluran irigasi dan seterusnya.
Untuk memajukan pertanian dan peternakan, memacu pertumbuhan ekonomi daerah, dan kuat dalam swasembada pangan. Tidak seperti jaman sebelumnya bahan pangan masih banyak didatangkan dari negri wayang lainnya.
Antareja lebih memilih tinggal di Saptapratala bersama kakek dan ibunya, Dewi Nagagini, karena pada dasarnya umur Antareja baru beberapa hari, sekalipun badannya seperti anak remaja. Ibarat singkong padi belum ada patinya, andaikan kelapa belum ada santannya, ibarat komputer belum ada program aplikasi dan datanya.
Antareja kemudian mulai belajar berbagai hal, seperti ilmu pemerintahan, ilmu keprajuritan, budi pekerti, dan segala ilmu sebagai bekal mengarungi kehidupan sebagai manusia, sebagai kesatria dan tentunya sebagai raja Jangkarbumi yang kelak harus dipimpinnya.
Setelah dewasa, Antareja menanyakan ke ibunya, siapa ayahnya. Pertanyaan ini dalam bahasa wayang atau sering dikatakan para dalang, siapa pengukir jiwa raganya. Ibunya, Dewi Nagagini, menceritakan bahwa ayahnya adalah kesatria panenggak atau penengah Pandawa, yaitu Bima.
Antareja kemudian meminta izin untuk mencari ayahnya tersebut ke negara Amarta. Dewi Nagagini, ibunya dan Sang Hyang Antaboga, kakeknya, mengizinkan. Namun sebelum berangkat, Antareja diberi nasehat yang diperlukan, baik untuk bekal di perjalanan maupun nasehat.
Bagaimana tata krama jika bertemu orang tuanya dan keluarga kerasaan lainnya. Dewi Nagagini juga memberikan cincin Mustikabumi, sebagai tanda bahwa dia adalah putranya. Antareja kemudian berangkat menuju Kerajaan Amarta.
Pada saat Antareja meninggalkan Saptapratala itu, Pandawa telah mendirikan negara Amarta atau Indraprasta. Sedang Negara Hastina pura yang merupakan haknya pandawa, saat itu dikukuhi kurawa. Putra kurawa teruta, Suyudana, Duryudana atau Kurupati, telah dinobatkan menjadi raja Hastina.
Dari Saptapratala yang berada di perut bumi, Antareja meluncur ke atas menembus bumi menuju permukaan tanah. Atareja meluncur ini seperti terbang di angkasa saja, artinya tanah yang ditembus tidak dirasakan sebagai penghalang badan untuk menembusnya. Antareja bisa bergerak di bawah tanah dengan leluasa, seperti burung terbang di angkasa atau ikan berenang di air.
Hal ini karena Antareja adalah cucu Sanga Hyang Antaboga, dia oleh kakeknya diberi ajian Ambles Bumi yang membuat bergerak di bawah tanah seperti burung terbang di angkasa atau ikan berenang di air tesebut. Kalau dia sedang berada di bawah tanah, dia bisa melihat apa-apa yang ada di atas tanah, seperti ikan melihat apa yang ada di luar air.
Karena Antareja belum pernah ke Amarta dan belum tahu letak ibukota Amarta, maka dari dalam perut bumi, dia meluncur ke atas dengan mengkira-kira, pokoknya sampai di wilayah negara Amarta. Kalau sudah sampai di atas tanah, dia bertanya ke orang yang ditemuinya, di mana letak ibukota Kerajaan Amarta. Begitu yang ada di pikirannya dan yang dilakukannya.
Setelah meluncur ke atas, tibalah Atareja di permukaan bumi. Dia kaget karena suasana berbeda. Dia memang belum pernah melihat permukaan bumi selama ini. Dia melihat gunung, sungai berbagai tanaman hewan dan sebagainya.
Dia sangat ter-kagum2 dengan pemandangan yang sama sekali baru itu. Manusianya jaga berbeda, kalau di Sapatpertala kebanyakan kulit putih pucat karena kurang sinar matahari, di muka bumi ini ternyata manusianya ada yang berkulit hitam, coklat, kuning sampai putih.
Antareja lalu berjalan kesana-kemari menikmati indahnya permukaan bumi. Berhari-hari dia berjalan menikmati hal-hal baru itu. Kalau lapar dia bisa membeli makanan di para penjual atau mengambil buah-buahan di hutan. Maklumlah saat itu hutan masih banyak dan orang menganggap hutan sebagai milik bersama, tidak ada yang mengukuhi, apalagi mengkapling-kapling untuk dimiliki.
Pada suatu hari dia berjalan ke berbagai tempat. Dia belum bertanya ke orang di mana letak ibukota Amarta, dia ingin memuaskan diri menimati berbagai hal di muka bumi. Dia khawatir kalau sudah sampai istana, malah terikat aturan protokoler kerajaan yang ketat dan membuatnya tidak bebas “keluyuran” atau “blusukan”.
Perjalanan Antareja akhirnya sampailah di pinggir sebuah sungai nan lebar. Karena capai, dia duduk di dalam gubug atau gazebo yang ada di di pinggir sungai itu dan kebetulan tidak ada yang mendudukinya. Dia mengamati perahu-perahu yang berlayar di sungai itu.
Karena masih jaman wayang, perahu-perahunya masih didayung oleh manusia, belum menggunakan mesin. Namun ada pula yang memakai layar dan berwarna warni, berbeda-beda untuk setiap perahu.
Banyak perahu hilir mudik di sungai itu. Ada yang besar, ada pula yang kecil. Ada yang membawa ibu-ibu yang mau ke pasar, ada pula yang mengangkut anak sekolah menuju ke sekolahannya. Ada pula perahu kecil yang isinya hanya seorang ibu dan membawa berbagai dagangan untuk dijual di pasar.
Rupanya dia merupakan pedagang. Banyak pula perahu yang fungsinya sebagai penyeberang orang-orang dari satu sisi ke sisi lain sungai nan sangat lebar itu. Tidak bosan-bosannya Antareja memperhatikan lalu lintas perahu di sungai itu.
Tiba-tiba mata Antareja tertuju pada sebuah perahu atau lebih tepatnya getek atau rakit yang terbuat dari batang-batang bambu yang dijajar dan diikat. Panjangnya sekitar enam langkah dan lebarnya empat langkah.
Getek ini ber-atap dari kain putih yang dibentangkan di atas bambu dan disangga juga dengan bambu2 sebagai tiang2nya, sekedar agar isi getek tidak terkena panas matahari. Getek ini berjalan lambat, karena dia hanyut mengikuit aliran sungai itu. Tidak ada yang mengemudikan getek. Antareja heran mengapa getek yang cukup besar itu tidak ada pengemudinya.
Antareja berdiri seraya memperhatikan di tengah getek. Di sana ada karpet tebal merah kembang-kembang. Di atas karpet tebal itu terbujur terlentang sesosok manusia yang berkain putih, bagian bawah dan atasnya. Kakinya tidak terlihat karena tertutup semacam selimut yang juga berwarna putih bersih.
Antareja memicingkan matanya, kini jelas terlihat wajah manusia itu yang ternyata seoang wanita berwajah cantik. Lama diperhatikan ternyata wanita itu diam saja, tidak pernah bergerak. Akhirnya Antareja berkesimpulan, wanita itu sudah mati, sedang koma atau paling tidak pingsan.
Yang membuatnya heran, mengapa mayat wanita itu sendirian berada di rakit. Tidak ada yang mengawal. Kalau keluarganya tidak mau mengurus mayatnya, mengapa tidak dikubur, atau dibuang begitu saja di sungai, tapi malah diperlakukan seperti orang masih hidup.
Mengapa pakaiannya serba putih? Bermacam-macam pertanyaan berkecamuk di benak Antareja. Makin lama makin banyak pertanyaan yang kesemuanya tidak ada jawaban dan memang tidak ada yang menjawab.
Ketika Antareja berfikir dan bertanya itu, rakit terus bergerak dan kini mulai menjauhi tempat Antareja berdiri. Kalau dibiarkan tentu rakit itu akan menjauh dan menjauh. Maka daripada menjadi beban pikirannya, mendingan rakit itu diambil saja. Begitu pikirnya.
Antareja turun ke air. Ujung rakit ditariknya dan dibawa ke tepian. Wanita itu yang entah sudah mati atau pingsan, kemudian dia pondong, dibawa dan diletakkan di atas bale-bale di gubug yang dia duduki sebelumnya itu. Antareja berdiri memandangi waita itu. Cantik, katanya dalam hati.
Antareja ada cucu Sang Hyang Antaboga. Sebelum pergi, dia dibekali dengan air Tirta Kamandanu yang bisa menghidupkan orang mati. Maka dia lalu menetesi wanita itu dengan air Tira Kamandanu. Wanita itu terbangun, seperti orang baru bangun tidur. Dia nanar menoleh ke kanan ke kiri dan dilihatnya pemuda berdiri di situ.
” Siapakah kamu dan mengapa saya berada di sini?”, kata wanita itu seraya memperbaiki pakaiannya dan bergegas mau pergi. Ya benar, wanita itu mau pergi, sebab dia menyangka pemuda itu sudah atau mau berbuat tidak baik kepadanya.
” Sabar Bu, bukankah tubuh anda masih lemah?”, kata Antareja sambil meng-halang2i wanita itu.
” Kamu mau berbuat kurang ajar ya?”, kata wanita itu.
” Sabar bu, bukankah tadi anda sudah meninggal dan berada di rakit itu?”, kata Antareja.
” Meninggal?”. Tiba2 keningnya berkernyit. Dia pandang berkeliling, kemudian ke pemuda itu.
” Ya benar, tadi saya temukan anda sudah meninggal di rakit itu”, jawab Antareja lagi.
Kata-kata meninggal seakan menghentakkan dirinya. Badannya lalu gemetaran dan dia segera duduk kembali ke bale-bale itu, lemas. Ingatannya lalu mulai tumbuh dan dia mulai ingat sesuatu. Kemudian air matanya mulai membasahi pipinya.
” Meninggal”, kata wanita itu seakan ke dirinya sambil menunduk.
Dia bingung mengapa berada di rakit dan tadi katanya meninggal. Wanita itu merasa pemuda itu bukan orang jahat dan sudah menolongnya.
” Kalau meninggal, mengapa sekarang saya hidup lagi?”, tanya wanita itu.
” Maaf Bu, tadi saya yang menolong anda”, jawab pemuda itu.
” Mengapa kamu menolong saya?”, tanya wanita itu.
” Saya menolong karena saya melihat anda meninggal. Ada luka tusuk di perut anda dan sudah saya obati. Tidak ada yang mengawal. Tidak ada seorangpun di rakit itu”, jawab Antareja.
” Siapa sebenarnya kamu ini?”, tanya wanita itu.
” Perkenalkan nama saya Antareja. Ibu saya Dewi Nagagini dan Saptapratala. Saya bermaksud cari Bapak saya : Bima di Negara Amarta”, sambung Antareja.
” Antareja”, kata wanita itu.
” Kalau begitu kamu bukan orang lain. Kamu ini kemenakanku sendiri. Kakanda Bima itu kakak dari suamiku, yaitu Pangeran Arjuna”. Kata wanita itu sudah tenang. Pemuda yang tadi dicurigai adalah kemenakannya. Antareja juga ingat cerita ibunya, Arjuna adalah adik dari ayahnya, Bima.
” Oh ya, saya Sembadra”, kata wanita itu yang ternyata adalah Sembadra, istri Arjuna.
” Kalau gitu sembah saya bi Sembadra”, kata Antareja membungkuk mau memegang kaki Sembadra.
Sembadra, memegang kedua tangan Antareja, mengangkat kedua tangan itu. Maksudnya Antareja tidak perlu menyembah seperti itu. Tidak usah formal.
Saat kedua tangan Sembadra pegang ke-2 tangan Antareja, tiba2 seseorang menendang keras Antareja dengan kedua kakinya, seperti ayam jantan menendang musuhnya. Antareja yang tak siap menghadapi serangan mendadak itu sampai terjengkang beberapa langkah. Dia jatuh ter-guling2. Antareja memandang orang yang telah menyerangnya, ternyata pemuda seumuran dirinya.
” Kurang ajar, ternyata kamu yang telah membunuh Bibi Wara Sembadra”, kata pemuda itu.
Antarerja bangkit melawan pemuda kurang ajar yang telah menyerangnya dengan tiba2. Hati mudanya panas, seperti mercon bersumbu pendek, meledaklah kemarahannya . Bersambung/ …………. (Widartoks 2016; dari grup FB-MKPB Telkom)-FR