P2Tel

Wayang-Antareja(4)-saudara

Pada saat Sembadra memegang tangan Antareja dan tiba2 Antareja ditendang pemuda itu, Sembadra kaget. Dia seketika menjerit. Namun badannya yang masih lemah membuatnya justru menjadi pingsan dan terkulai lemah, jatuh seperti robohnya benang basah. Untunglah jatuhnya ke bale-bale itu.

Antareja tidak sempat menolong Sembadra, bibinya itu, sebab sedang menghadapi serangan pemuda itu. Makanya dia segera meringkus sang penyerang. Dengan sekuat tenaga diserangnya pemuda itu, namun yang diserang tangguh. Ber-kali2 serangannya menemui ruang kosong, bahkan ketika terdesak pemuda itu malah terbang seperti burung yang balik kemudian menyerang Antareja.

Mendapat serangan dari orang yang bisa terbang seperti burung membuat Antareja kelabakan. Maka akhirnya dia menggunakan kesaktiannya yaitu dengan amblas bumi. Ketika pemuda itu menukik dari atas mau menendangnya, secepat kilat Antareja menghilang ke dalam bumi.

 

Antareja kemudian muncul di belakang pemuda itu dan segera menyerangnya. Serangannya tepat mengenai punggung pemuda itu yang membuatnya terhuyung-huyung ke depan. Namun kemudian dia kembali terbang menjauh.

” Beraninya kamu bersembunyi ke bawah tanah”, kata pemuda itu.
” Kamu beraninya juga terbang ke atas. Hayo kalau berani kita bertarung di atas tanah”, tantang Antareja.
” Baiklah, tantanganmu aku layani”, jawab pemuda itu.

Maka yang terjadi kemudian, kedua anak muda itu bertarung di atas tanah dengan serunya. Serangan demi serangan silih berganti. Tendang menendang, pukul memukul juga terjadi. Keduanya nampak sama-sama tidak mau mengalah dan keduanya sama-sama sakti.

 

Sekian lama bertarung, tidak ada tanda-tanda salah seorang mau kalah atau mengalah. Tempat perkelahian mereka sedikit demi sedikit bergeser dan lama-lama menjauhi bale-bale di mana Sembadra tertidur, pingsan. Akhirnya posisi mereka semakin jauh dari Sembadra.

” Berhenti!”, tiba-tiba seseorang berteriak.
Antareja dan pemuda itu seketika berhenti berkelahi. Mereka sama-sama mundur beberapa lamgkah. Orang yang baru datang itu berdiri di antara keduanya.
” Gatutkaca”, kata orang itu. Dia memandang ke arah pemuda itu yang ternyata bernama Gatutkaca.

” Uwa Batara Kresna”, kata Gatutkaca kepada orang itu yang ternyata bernama Kresna.
” Bagini ya kelakuanmu. Tadi kamu aku beri tugas apa?”, tanya Kresna.
” Menjaga Bibi Wara Sembadra”, jawab Gatutkaca.

” Mana bibimu itu sekarang?”, tanya Kresna. Gatutkaca memutar pandangannya mencari Dewi Wara Sembadra dan ternyata tidak kelihatan. Dia baru menyadari ternyata telah berkelahi dan jauh dari posisi Dewi Wara Sembadra.

” Eh, maaf hamba tidak sengaja meninggalkannya”, jawab Gatutkaca terbata-bata.
” Tapi Uwa Prabu, hamba telah menemukan orang yang membunuh Bibi Wara Sembadra, inilah orangnya”, kata Gatutkaca melanjutkan, sambi menunjuk Antareja. Yang ditunjuk melotot dan ingin segera menjawab. Namun Kresna lebih dulu berkata.

” Apa benar dia pembunuh Bibimu itu?”, tanya Kresna.
” Benar Uwa Prabu”, jawab Gatutkaca.
” Apa buktinya?”, tanya Kresna lagi.
” Tadi dia yang mengambil Bibi Wara Sembadra dari rakit dan menghidupkannya”, jawab Gatutkaca.

” Apa kalau dia mengambil Bibimu itu otomatis pembunuhnya? Apa sudah kamu tanyai dan dia mengaku?”, tanya Kresna lagi.
” Eh, maaf. Belum Uwa Prabu”, jawab Gatutkaca.
” Nah, kan? Kamu buru-buru mengambil kesimpulan tanpa bukti yang cukup. Coba siapa nama orang yang kamu tuduh itu?”, tanya Kresna kembali.

” Eh, maaf belum sempat hamba tanyakan”, jawab Gautkaca terbata-bata.
” Gatutkaca, Gatutkaca. Kamu ini masih muda, semangatmu tinggi, namun belum perhitungan.
Seharusnya kamu tanya dia dulu, apa benar sebagai pembunuhnya? Itupun kalau dia mengaku, kalau tidak kan berarti kamu menuduh orang yang salah”, kata Kresna seperti menasehati Gatutkaca. Dia kemudian berbalik menghadap ke Antareja.

” Anak muda”, kata Kresna kepada Antareja.
” Maafkanlah kemenakanku ini yang suka terburu nafsu. Oh ya, kamu ini siapa dan mengapa kamu mengambil mayat Sembadra di rakit?”, sambungnya.

” Hamba Antareja, dari Saptapratala, Bapak saya kesatria panengah pandawa, Bima, sedang ibu saya Dewi Nagagini dari Saptapratala. Tadi saya melihat mayat wanita, makanya saya tolong, ternyata dia itu Bibi saya karena katanya suami Bibi Sembadra ini adik Bapak saya, Bima”.

” O, jadi kamu anaknya Bima?”, tanya Kresna.
” Benar sinuwun”, jawab Antareja.
” E, ternyata kamu bukan orang lain. Ketahuilah aku ini Kresna, atau lengkapnya Prabu Sri Batara Kresna raja dari Kerajaan Dwarawati. Aku ini kakak kandung Sembadra. Jadi kamu masih kemekanmu juga. Panggil saja saya Uwa, begitu”, kata Kresna.

” Terima kasih Uwa Kresna”, jawab Antareja.
” Gatutkaca”, kata Kresna kepada Gatutkaca.
” Hamba Uwa”, jawab Gatutkaca.
” Nah, ternyata pemuda ini adalah Antareja yang juga anak Bima, berarti dia ini kakak kandungmu sendiri. Hayo minta maaf”, sambung Kresna.

” Kakang Antareja saya minta maaf”, kata Gatutkaca seraya mendekati Antareja.
” Baiklah, tak mengapa. Aku bangga punya adik gagah perkasa seperti kamu”, kata Antareja merangkul Gatutkaca, adiknya itu. Mereka berpelukan seperti dua saudara yang sangat lama tidak ketemu. Dan memang mereka belum pernah bertemu sama sekali.

Tak lama kemudian Kresna berkata : ” Nah, sekarang ayo kita lihat Bibimu Wara Senbadra”.
Mereka kemudian menuju tempat Sembadra berada. Ternyata Dewi Wara Sembadra masih terkulai lemas, namun sudah bangun dari pingsannya.

” Sembadra dan Antareja”, kata Kresna kemudian.
” Sembadra tadi sudah mati karena dibunuh seseorang. Oleh karena itu saya taruh di rakit dan dihanyutkan di sungai ini dengan harapan si pembunuh akan datang. Nah, Gatutkaca yang aku tugasi mengawasai dari kejauhan. Ternyata datang Antareja yang menghidupkan kembali Sembadra. Maka Gatutkaca malah menyerang Antareja dan siasatku untuk memancing pembunuh Sembadra jadi gagal total”.

” Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan Uwa Prabu?”, kata Gatutkaca.
” Kita ulang kembali rencana tadi. Sembadra, aku minta kamu tidur di atas rakit kembali dan ber-pura2 lah mati, lalu dihanyutkan kembali. Jangan kuatir Gatutkaca dan Antareja menjagamu”, kata Kresna.
” Tapi bukankah yang membunuhku orangnya sudah jelas?”, tanya Dewi Wara Sembadra.

” Benar, tapi kan hanya kamu yang tahu. Jadi kalau di bawa ke pengadilan, buktinya tidak ada. Apalagi tidak ada saksi. Kalau didatangkan ahli forensik juga percuma, sebab lukamu sudah diobati Antareja dan hilang sama sekali. Perlu bukti lain, misal pengakuan dari yang bersangkutan”, kata Kresna menjelaskan.

” Baiklah kalau begitu. Tapi aku jangan ditinggal sendirian di rakit ya, aku takut, ngeri”, kata Sembadra dengan wajah yang nampak ketakutan.
” Jangan khawatir Bibi, kami akan menjaga Bibi selalu”, kata Antareja dan Gatutkaca hampir berbarengan.

Maka kemudian Dewi Wara Sembadra kembali ke rakit, tidur berselimut kain putih dan pura-pura mati. Rakit kemudian didorong kembali agak ke tengah sungai oleh Antareja dan Gatutkaca yang lalu bersembunyi.

Gatutkaca mengawal dari atas, bersembunyi di tengah awan, sementara Antareja mengawal dari bawah tanah. Kresna kemudian pergi melanjutkan pekerjaan lain.

Beberapa waktu kemudian ada orang lewat di jalan di pinggir sungai itu. Dia memperhatikan rakit Dewi Wara Sembadra. Gatutakca dan Antareja mengawasi dari tempatnya masing-masing, sudah siap-siap menangkap jika orang itu berbuat sesuatu yang mencurigakan. Namun kemudian orang itu berlalu sambil bergumam dengan tidak jelas.

Di kesempatan lain ada perahu yang lewat di dekat rakit itu. Pemilik perahu itu berhenti di dekat rakit itu dan memperhatikan isi rakit. Kemudian buru-buru pergi menjauh. Sepertinya dia takut dituduh macam-macam.

Kemudian ada perahu lain dengan beberapa penumpang lewat di dekat rakit. Mereka lalu mendekati rakit, salah satu berkata.

” Wah, sepertinya wanita ini sakit. Bagaimana kalau kita bawa ke rumah sakit?”.
” Jangan-jangan”, jawab yang lain.
” Kita laporkan saja ke yang berwajibi”, sambungnya.
” Ya ya, kita laporkan saja”. Jawab lainnya lagi.

Kemudian mereka bergegas pergi dan sepertinya ingin segera melaporkan hal itu kepada yang berwajib.
Melihat kejadian-kejadian itu, terkadang Gatutkaca dan Antareja tersenyum sendiri. Namun juga kadang menjadi curiga dan membuat hati mereka tegang.

Semakin lama menunggu semakin tegang dibuatnya, sangat tidak enak, sangat tidak nyaman. Maka tak salah kalau orang berkata, bahwa menunggu adalah pekerjaan yang berat. Sangat berat. Bersambung Jum’at depan: ……………….. (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version