Manusia dikaruniai akal budi, merupakan kelebihan dari binatang yang makan minum berkembang biak melulu berdasar insting. Dalam lubuk hati yang dalam, manusia memiliki juga filter untuk membedakan mana yang baik mana yang buruk.
Seperti ditunjukan pada Al Qur’an surat Al Adiyat (surat ke 100) ayat 6 dan 7, “sungguh manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhan-nya, dan sesungguhnya dia (manusia) itu menyaksikan (mengakui) keingkaran-nya,”
Bahkan manusia yang paling ingkar, Fir’aun, ketika berbagai musibah bertubi-tubi menerpa negerinya, musim kering, hama kutu, hama belalang, katak bahkan air sungai menjadi darah, hatinya menjadi kecut.
Ia yang mengaku Tuhan-nya bangsa Mesir merasa tidak berdaya dan mengakui Tuhan-nya Musa lebih hebat dan kuasa. Ia berulang kali minta kepada Nabi Musa untuk berdo’a kepada Tuhannya agar mengangkat bencana demi bencana itu, dan Nabi Musa selalu menurutinya.
Kekuasaan dan harta yang berlebihanlah, seperti disebut dalam surat yang sama, ayat 8, yang menutup mata hati Fir’aun dan ketika untuk terakhir kali ia memohon kepada Musa, untuk menolongnya,
“Wahai, Musa anakku. Engkau benar. Tolong. Selamatkan aku”, kata2nya sayup tertelan ombak besar yang menggulung dari 2 dinding air, menyapu prajurit2t dan kereta perang yang dibanggakannya itu. Allah sudah berpaling. Menurut penelitian ilmuwan J.de Miceli (1960), itu terjadi tanggal 9/4/1495 SM.
Allah hanya berjanji menyelamatkan mayatnya guna menjadi peringatan kepada umat manusia. Sampai saat ini, peringatan Allah itu masih bisa kita jumpai di Museum Kairo. Sesuai janji-Nya, mumi Fir’aun, Ramses II, tidak lapuk oleh zaman. (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR