Ada seorang teman, Pak Bagus namanya. Beliau adalah seorang guru yang sangat ceria, menyenangkan dan kocak. Siapapun yang berada di dekatnya merasa gembira ria. Keunikannya adalah ia selalu berkata, “Bagus itu!” untuk segala hal. Di matanya segalanya adalah karunia.
Hujan? “Bagus itu, banyak berkah, saatnya berdoa”
Sakit? “Bagus itu, saatnya untuk beristirahat”
Tidak naik kelas? “Bagus itu, jadi kamu bisa belajar lebih dalam”
Dipecat? “Bagus itu, saatnya belajar sungguh2 menjadi pengusaha”
Dia perfeksionis luar biasa. Ia bisa lihat kesalahan sampai titik koma sekalipun. Beda dengan guru lain, ia tak pernah marah gara2 kurang titik koma. Ia dengan teliti memberi masukan. “Tulisan kamu bagus. Kamu cukup kritis dan analitis. Supaya lebih sempurna, coba pelajari cara menyusun kata2 agar lebih meyakinkan. Bagus itu, kamu jadi tahu dan bisa belajar lebih baik lagi.”
“Bagus itu” tak pernah ketinggalan.
Baginya semua muridnya punya perjalanannya masing2. Tak ada yang bodoh, tak ada yang kurang ajar.
Semua “bagus” dan bisa dibantu untuk “lebih bagus lagi.” Di sinilah perannya sebagai seorang guru, untuk memberdayakan muridnya agar bisa mengeluarkan potensi terbesarnya.
Sebagai guru ia memilih untuk menjadi fasilitator, bukan instruktur. Ia pilih bertanya, dan bukan memerintah. Ia memberdayakan, bukan mengoreksi. Hal yang sama dilakukannya untuk semua temannya. Tak ada korban gossip di matanya, karena semua orang “bagus” dan “hebat.” Ia bisa lihat kebaikan dari semua hal sampai yang terkecil.
Istrinya, anaknya, teman2nya, semua berlian2 di hidupnya yang benar2 disyukurinya. Tak ada yang buruk, semua bagus. Pak Bagus tak bisa dibilang ganteng, tapi lihat wajahnya semua orang merasa teduh. Wajah senyum terus. Ia tak bisa dibilang kaya raya, tapi ia sejahtera, selalu bisa berbagi dan menjadi tangan di atas.
Rejekinya ada saja. Seakan keberuntungan ada di pihaknya. “Hoki” kalau kata orang. Ia jarang sakit, dan keluarganya jarang sakit. Jadi hemat sekali mereka sebagai keluarga. Itulah dia Pak Bagus, karunia bagi semua yang ada di sekitarnya. Karena kita semua tak bisa mengeluh, tak bisa bergossip, tak bisa marah, karena semua dijawab dengan, “Bagus itu!”
Dan teman2nya yang siap mengeluh jadi berfikir, “Ia juga ya. Keluhanku itu bagus. Kenapa nggak terfikir kemarin2 ya?” Nah, teman2, kalau ada yang mau mengeluh, bayangkan ada Pak Bagus di samping dan langsung bilang, “Bagus itu.” Itu dulu. Nanti otak kita akan mencerna dan mencari “bagusnya” di mana. Otak pintar kok. Ia akan menyesuaikan diri pada kata2 kita.
Kalau ada yang mau gossip dekat kita, langsung jawab, “Dia suka marah? Bagus itu. Jadi kita tahu dimarahin itu nggak enak. Sekarang kamu punya jalan dapat pahala kan?” Kalau ada yang kesal gara2 kehilangan barang, “Bagus itu. Siapa tahu kamu kurang sedekah. Bagus cuma kehilangan barang itu. Kalau hidupmu yang diambil, gimana?”
Ada yang nangis baru bercerai, “Bagus itu. Kamu bisa cari yang lebih bagus lagi.” Semua bagus. Karena semua kejadian terjadi sebagai akibat atas perbuatan kita sendiri, dan semua mengajarkan ke kita untuk menanam kebaikan, agar kita panen kebaikan. Kita yang sering sulit cari hikmah di balik semua kejadian.
Semua orang baik apa adanya, karena dalam diri orang2, bersemayamlah Sang Maha Bagus. Yang hadir dalam kehidupan kita memberi pelajaran, agar kita bisa lebih bagus lagi dalam hidup, lebih dekat lagi dengan sesama kita, dan bersedia mempersembahkan yang terbagus buat sesama. (Indira Abidin; https://indiraabidin.com/2016/10/26/katakan-bagus-itu-untuk-segala-hal-maka-akan-terbuka-hikmah-dari-semua-kejadian-yang-menjadi-ketentuannya/)-FatchurR