(REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab)-Kalau kepemimpinan ke-3 wali kota sebelum 1960 (masa demokrasi parlementer), maka setelah Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno ikut menangani berbagai kegiatan pembangunan Ibu Kota.
Bung Karno ingin menjadikan kota ini pusat kegiatan perlawanan ke Nekolim, atau Oldefos (Old Establish Forces). Karena itu, sejak 1960-an, Jakarta jadi tempat serangkaian pertemuan puncak, kunjungan berbagai kepala negara asing, pesta2 besar, berbagai konferensi, pertandingan2 OR internasional (Asian Games dan Ganefo). Tidak kurang, demo dan aksi berbagai kelompok massa menentang Nekolim.
Tapi lebih banyak lagi demo kekuatan kiri (komunis) yang menuntut orang2 Masyumi, PSI, Murba, BPS dan entah apa lagi yang dibubarkan oleh Presiden Sukarno segera disingkirkan dari jabatan di pemerintahan dan juga swasta.
Salah satu kegiatan besar kala itu Peringatan Dasawarsa Konperensi Asia-Afrika (KAA) yang dihadiri belasan kepala negara. Untuk itu, Gubernur Henk Ngantung oleh Presiden diperintahkan, supaya semua jalan / daerah protokol di Ibu Kota harus bersih dari gelandangan.
Meski telah diambil tindakan rutin terhadap gelandangan yang ketika itu banyak berdatangan ke Ibu Kota, tapi sejauh ini tidak berhasil. Setelah diangkut dengan truk2 dan ditempatkan di penampungan2, hanya dalam satu dua hari mereka lolos kembali dan melakukan profesi semula.
Karena Dasawarsa AA memakan waktu dua pekan, dan setelah selesai para kepala negara asing mengadakan berbagai peninjauan, berarti Jakarta harus berada dalam keadaan stand by. Ini berarti selama satu bulan Jakarta harus bersih dari gelandangan.
Henk Ngantung memerintahkan ke para komandan penertiban supaya ia dan pembantu2nya menyamar dan menyusup di kalangan gelandangan untuk cari tahu pusat2 konsentrasi mereka, cari tahu organisasi dan pemimpinnya. Hasilnya gelandangan2 dan pengemis ini ada yang mengorganisir, termasuk tempat2 mereka beroperasi.
Untuk itu, dilakukan kontak langsung dengan pimpinan2nya, dan minta perantaranya supaya mereka sanggup dan menjamin selama sebulan Jakarta bersih dari gelandangan. Tentu saja dengan memberi ‘uang lelah’ kepada para pemimpin kelompok ini.
Cara pendekatan Henk Ngantung ini berhasil. Para pemimpin gelandangan diberi pakaian seragam dan tanda pengenal oleh bagian penertiban. Sehingga, para tamu agung dan masyarakat Ibu Kota yang lewat dan berkerumun di jalan2 dan lingkungan protokol, tidak tahu bahwa :
Petugas2 resmi pemerintah didampingi ‘pemimpin2’ gelandangan turut menjaga keamanan dan ketertiban. Mungkin para kepala negara dan media asing memuji di Jakarta tidak dijumpai gelandangan. (Karta Raharja Ucu; http://www.republika.co.id/berita/selarung/nostalgia-abah-alwi/16/09/21/odubyr282-kisah-henk-ngantung-menyamar-jadi-gelandangan)-FatchurR