Bila Sulawesi Utara tanah kelapa, Sulawesi Tengah negri Cacao, maka Sleman bisa disebut bumi Salak. Di tanah berbukit Kabupaten tersubur di DIY bagian Utara sampai lereng Merapi, tanah bagai tertutup oleh rimbunan kebun salak.
Sepanjang jalan2 yang mulus sampai ke sudut2 desa, memungkinkan lalu-lintas salak lancar, mulai dari petani, pengepol, pasar salak atau dimuat ke truck-truck atau dititipkan ke bus malam, hari itu juga dan esok pagi sudah sampai di tujuan: Jakarta.
Salak butuh gerak cepat, terlambat beberapa hari, buah lezat itu pasti membusuk menjadi timbunan sampah atau dimanfaatkan jadi pupuk hijau. Pohon salak bukan pohon yang ramah, duri2 yang galak di sepanjang pelepah daunnya, mengesankan pohon ini bak pohon liar penghuni hutan rimba.
Salacca edulis ini manja. Ia enggan genangan air, sehingga musim hujan air disekitar parit2-nya harus dialirkan keluar. Musim kering, petani harus mengalirkan air dari selokan2 untuk menggenangi kebunnya. Debu Merapi, jika lama tak dibersihkan / tersiram hujan dapat memusnahkan pohon2 salak.
Daun yang rimbun penuh onak duri, harus sering dipangkas, untuk mengundang sinar matahari agar memberi kehangatan tandan2 Salak. Penyerbukan, menurut dedengkot petani salak, bisa dilakukan pohonnya, namun kebun jadi jauh lebih produktif bila tangan2 manusia trampil membantu menyapukan tandan serbuk sari keatas permukaan bunga2 betina yang kadang dari lain pohon.
Konon dari cerita dari mulut-kemulut, variant Pondoh sudah ada sejak jaman Belanda ada di dukuh Mardikorejo, Tempel yang dirahasiakan keberadaannya. Pada awal 1980-an, tanpa dapat dibendung salak manis yang istimewa ini berkembang luas di kecamatan Tempel, Turi, Pakem, Kali-urang.
Lewat semburan abu Merapi, Allah menyuburkan bumi Sleman sekaligus menyuburkan kebun Salaknya dan menggerakkan roda perekonomian yang pada giirannya memberikan rejeki kepada ribuan umatnya yang pandai bersyukur. Masa Allah. (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR