Antareja minta penjelasan dari abdi yang ada dan mereka memberikan kronolgis kejadiannya. Pagi itu Prabu Kresna raja Kerajaan Dwarawati duduk di pendapa / aula kerajaan nan luas. Dia minta disiapkan tempat tidur di tengah pendapa. Prabu Kresna lalu memberi tahu dia akan tidur di pendapa itu dan berpesan agar dijaga dan tidak seorangpun boleh membangunkan.
Tak lama datang kesatria panengah pandawa, Arjuna dan menanyakan ikhwal Prabu kresna. Ketika tahu Prabu Kresna tidur, Arjuna minta izin untuk memeriksa denyut nadi Prabu Kresna, diizinkan. Arjuna lalu memeriksa denyut nadi PrabU Kresna. ” Apa yang terjadi Raden?”, tanya salah seroang abdi.
” Dia meninggal”, jawab Arjuna. Entah jawaban itu sungguh2 atau bergurau. Jawaban ini dianggap serius para abdi. Para abdi ada yang menangis. Arjuna duduk bersila lalu bersedekap beberapa langkah dari posisi Prabu Kresna. Konsentrasi, matanya terpejam, napasnya melambat. Kalau bahasa dalang, disebut sedang menutup “babahan hawa sanga”
Atau menutup 9 lubang di tubuh. Yang ditutup ini arti kiasan. Dua lubang pertama mata, maka ditutuplah mata, mengosongkan pandangan mata, melupakan yang pernah dipandang. Dua lubang ke-2 : telinga, maka diupayakan tidak mendengar apapun. Dua lubang ke-3: hidung, abaikan yang tercium.
Satu lubang lagi mulut, jadi tutup mulut, tahan segala yang dimasukkan dan disampaikan. Lubang berikutnya alat kelamin, artinya mengendalikan nafsu hubungan pria-wanita, yang terlarang dan yang mendekati terlarang. Lubang terakhir dubur, maksudnya menahan diri tidak membuang yang tidak disuka, tidak diinginkan lagi.
Kesimpulan menutup “babahan hawa sanga” : Mengendalikan nafsu, terutama yang merugikan pihak lain, manusia, hewan tumbuhan dan alam. Menahan, mengendalikan : menyaring, menolak pengaruh dari luar dan menahan yang keluar dari dalam diri. Hanya hal2 baik yang boleh masuk dan keluar dari dirinya. Kalau diri kosong nafsu tidak baik, maka mudah menerima ajaran dan ajakan kebaikan.
Yang nampak, Arjuna diam mematung. Apa yang dilakukan Arjuna dalam diamnya itu, abdi itu tidak ada yang tahu. Sekian lama ditunggu Arjuna tetap dalam posisi diamnya. Para abdi mulai khawatir. ” Raden Arjuna, Raden Arjuna”, mereka memanggil. Yang dipanggil diam. Salah satu abdi menggoyang tubuh Arjuna, malah jatuh lunglai ke lantai. Mati.
Demikian cerita abdi itu ke Antareja yang manggut2 berfikir, apa yang terjadi. Sekian lama berfikir belum ketemu jawabnya. Maka Antareja menyuruh seorang abdi melapor ke kotaraja Amarta kejadian ini kepada Prabu Puntadewa yang juga bernama Prabu Yudistira dan para pandawa lain.
Kabar matinya Prabu Kresna ini menyebar ke seluruh penjuru. Maka tak lama, kerabat Astina berdatangan. Mereka Pendeta Durna, Patih Sengkuni dikawal prajurit dan para kurawa seperti Kartamarma, Dursasana dan senopati andalan Astina, Adipati Karna dari Kadipaten Awangga.
Mereka datang bukan karena ada kabar Prabu Kresna meninggal, mereka yakin Prabu Kresna hanya tidur. Mereka datang dengan misi khusus. Hari2 sebalumnya, Pendeta Durna orang berilmu tinggi dapat bocoran informasi dari langit (dewa2) tidak lama lagi Prabu Kresna tidur dan siapa yang membangunkan, maka pihaknya akan menang dalam perang Baratayuda.
Maka dia melaporkan hal itu ke raja Astina, Prabu Duryudana. Prabu Duryudana mengadalan rapat membahas hal ini. Lalu mengutus Pendeta Durna, Patih Sengkuni, Adptai Karan dan para kurawa, seperti kartamarma dan Dursasana ke Kerajaan Dwarawati untuk membangunkan Prabu Kresna.
Mereka dikwal pasukan prajurit Astina pilihan. Mereka berkemah di luar Kerajaan Dwarawati. Ketika telik sandi atau mata2 menginformasikan Prabu Kresna meninggal, mereka berdatangan ke Dwarawati. Itulah mengapa, tidak lama setelah kabar Prabu Kresna meninggal mereka segera datang.
Antareja menerima kedatangannya, di teras lebar di luar pendapa, namun dekat pendapa itu, terhalang pintu besar yang tidak ditutup namun dijaga pengawal Kerajaan Dwarawati. Setelah saling tegur sapa, Antareja mulai bicara. “Eyang Durna dan kerabat kurawa, perlu apa datang ke Dwarawati ini?”, tanyanya
” Angger Antareja, kami ke sini dengar kabar beliau wafat. Semoga kabar itu salah. Kami ingin melihat Prabu Kresna. Kami ingin tahu. Beliau tidur saja. Namun siapa tahu beliau sakit, kami siap memberi obat. Begitu Antareja”, kata Pendeta Durna. ” Terima kasih perhatiannya Eyang”, jawab Antareja. Hatinya mengatakan pasti ada maksud di balik pembicaraan itu.
“Ijinkan kami lihat dari dekat, untuk memeriksa kesehatan Prabu Kresna”, kata Pendeta Durna.
” Mohon maaf Eyang, kami dipesan agar Uwa Prabu Kresna tidak diganggu tidurnya”, kata Antareja.
” Oh tidak, kami hanya melihat saja kok”, jawab Pendeta Durna.
“Maaf, lihat juga tidak boleh, takut mengganggu tidurnya”, jawab Antareja halus, namun tegas.
Adipati Karna yang sedari tadi diam, telinganya menjadi panas. ” Antareja, kamu ini siapa? Kami ini berniat baik, hanya mau jenguk Kanda Kresna. Kamu bukan warga Dwarawati, sok jago ya?”, katanya.
Antareja sebagai orang yang tidak terlalu sabaran akhirnya terpancing dengan ucapan Adipati Karna.
” Maksud Uwa Karna bagaimana?”, tanyanya tetap dengan halus.
” Boleh tidak boleh kami akan masuk!”, katanya tegas.
” Wah, ini namanya memaksakan kehendak”, jawab Antareja.
” Kurawa, tidak usah banyak bicara, ringkus si Antareja”, kata Adipati Karna tegas.
Kurawa menyerang Antareja dari segala arah. Antareja berada di situasi sulit. Dia menghalangi kurawa dengan pasukannya tidak masuk pendapa, dibantu pengawal kerajaan yang tugas njaga Prabu Kresna.
Kalau para kurawa dan prajuritnya nekat, maka tempat yang penuh perabotan berharga bisa rusak. Kalau dia keluar ke halaman, maka mungkin ada diantara para kurawa yang masuk mengganggu Kresna dan Arjuna yang tertidur atau mati itu.
Rupanya Adipati Karna dan kurawa bisa membaca pikiran Antareja, maka mereka sengaja menyerang, menendang dan merusak perabotan berharga. Antareja segera menyerangnya, namun kini posisinya semakin menjauhi pintu menuju pendapa.
Kemudian Antareja terkurung di tengah kurawa. Dia ingin melepaskan senjata pamungkas berupa jilatan lidahnya yang beracun, hal itu diurungkan, sebab jika ada yang mati dia takut disalahkan juga. Kini yang dilakukan menyerang sekuat tenaga. Musuhnya bukan satu orang, maka hal tu bukan perkara mudah.
Pendeta Durna, Patih Sengkuni, Kartamarma dan Adipati Karna dan prajurit2 berhasil ke pendapa Dawarawati. Pengawal bukan lawan berarti bagi Adipati Karna, mereka dibekuk. Pendeta Durna, Patih Sengkuni, Kartamarma dan Adipati Karna menghampiri Prabu Kresna untuk membangunkannya.
Mereka juga lihat Arjuna tertidur di tempat lain tidak jauh dari situ, namun tidak dihiraukan, sebab perhatian utama membangunkan Kresna, agar bisa memenangkan perang Baratayuda seperti wangsit dewa yang mereka terima. Ketika tidak ada penghalangi, mereka mulai membangunkan Prabu Kresna.
” Prabu Kresna, mohon bangun barang sebentar”, kata Pendeta Durna sambil pegang tangan Kresna. Yang dibangunkan diam ” Kanda Kresna, hamba hadir, mohon bangun”, kata Adipati Karna. Kresna diam saja.
Yang lain ikut coba membangunkan dengan menyebut nama, namun Kresna tak bangun. Mereka satu persatu meng-goyang2 tubuh Kresna, namun nihil. Setelah gagal, kini mereka lebih keras, menepuk-nepuk tangan, badan, tangan dan kaki Kresna. Yang dibangunkan tetap tidak bangun.
Di halaman, Antareja kesulitan karena dikeroyok kurawa. Prajurit2 yang ingin membantun berhadapan prajurit Astina. Di pendapa, tamu Astina yang datang tadi, tamu tak diundang, mulai panas hatinya, sebab tidak dianggap sama sekali oleh Kresna.
Kini mereka lebih keras lagi. Kalau sebelumnya menepuk, kini tubuh Krena mulai dipukul dan ketika gagal juga, mulailah menjadi bulan2an, tubuh Kresna ditendang, diinjak, ditarik ke sana-sini, namun tetap tidak bagun. Kemudian mereka menggunakan senjata, tubuh Kresna kebal. Kini Adipati Karna tidak sabar, dia lalu menghunus pusaka pemberian dewa, pusaka sakti : kunta wijayandanu.
Senajata kunta wijayandanu diarahkan ke dada Kresna. Adipati Karna memusatkan perhatiannya, menahan napas. Pendeta Durna-Patih Sengkuni-Karatmarma-kurawa yang lain memperhatikan yang akan terjadi dengan berdebar. Pusaka kunta wijayandanu bukan pusaka sembarangan. Ini harapan terakhir, agar Kresna akan terbangun dari tidurnya.
Ketika senjata hampir dilepas, tiba2, entah dari mana, macan putih besar, 4x besarnya dibanding macan biasa, menyerang Adipati Karna dari samping. Senjata kunta wijayandanu terpentala beberapa langkah. Macan putih itu menyerang mereka, para tamu tak diundang dari Astina. Menjadikan mereka kalang kabut tidak bisa melawan kekuatan dan kelincahan macan putih.
Mereka melawan dengan berbagai senajta. Senjata mereka ketika mengenai macan putih itu seperti membentur baja keras, bahkan mengeluarkan suara gemerincing dan bunga api. Kini mereka terluka di cakar macan itu. Ada prajurit Astina yang ter-kencing2 saking takutnya.
Mereka, para kurawa, Pendeta Durna, Patih Sengkuni, Adipati Karna berlarian menahan sakit dan luka, meninggalkan ruangan itu diiringi geraman macan putih itu yang marah. Ketika melewati kurawa yang berperang melawan Antareja.
Maka tanpa disuruh, para kurawa itu meninggalkan Antareja dengan ketakutan, takut diterkam macan putih itu. Yang aumannya keras menggetarkan dada, seakan merontokkannya. Anatereja lihat sekelebat macan putih menyerang mereka di pendapa dan berusaha membangunkan Kresna. Antareja tidak tahu sebelumnya di pendapa / sekitarnya ada macan putih dan belum pernah melihatnya sekalipun.
Antareja berlari masuk ke pendapa, cari macan putih. Tentu bukan mengajak berkelahi, namun ingin mengucapkan terima kasih. Itupun kalau si macan bisa mengenali bahwa dia bukan orang seperti para kurawa. Maka Antareja harus ber-hati2, jangan sampai sang macan tiba2 menyerangnya.
Sesampai di pintu pendapa yang tinggi, lebar dan terbuka lebar, langkahnya perlahan, selangkah demi selangkah, kaki dengan posisi kuda2, matanya melirik ke segala penjuru, penuh kewaspadaan. Dia takut jika tiba2 disergap sang macan. Bersambung…… (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR