// Cerita ‘Waktoe Itoe’ ini cerita tentang Indonesia di waktu lalu. Kita batasi 40an tahun yang lalu ya. Anda juga ditunggu cerita pengalamannya. Cerita bisa apa saja, pokoknya menarik. Bisa juga mengambil cerita sendiri, orang tua, kakek-nenek, guru, dsb. //
Di kampung, orang memelihara jangkrik yang bunyinya “krik krik krik”. Jangkrik ini bukan jangkrik sekarang yang dijual untuk makanan burung. Kalau ada, dijual satu2 di ruas bambu dan mahal, mungkin seekor harganya seribu rupiah. Kalau untuk makanan burung satu ons berisi ratusan jangkrik harganya 10 ribuan.
Saya dan kawan2 umur 10 tahunan sering mencari jangkrik itu di sawah yang habis dipanen. Yang kami cari itu namanya jangkrik kalung, sebab ada “kalung” atau lingkaran di lehernya. Ada yang berwarna hitam dan disebut “jliteng”, ada yang merah dan disebut “jlabrang” dan ada yang merah kecoklatan dan disebut “kembang bayam”.
Cara mencarinya. Umpama ada 5 orang. Kami ke sawah yang ada jangkriknya, di malam hari, setelah salat Isya. Kami jalan di pematang. Lalu mendekati salah satu jangkrik yang berbunyi, ber-hati2. Kira2 3 mt dari jangkrik sembunyi. Semua diam di tempat, kecuali seorang intel”, berjalan pelan2 mendekati tempat jangkrik bersembunyi.
Sampai sedekat mungkin dan seyakin mungkin jangkriknya di titik mana. Kadang jangkriknya berhenti berbunyi. Ditunggu sebentar dan dicari lagi letak yang lebih akurat. Bisa juga jangkriknya berhenti berbunyi sama sekali padahal tempatnya belum dipastikan. Semua dilakukan di kegelapan malam.
Kalau sudah maksimal menandai, si “intel” tadi memanggil kawan lain dan menunjukkan tempat jangkrik sembunyi. Lalu kami semua jongkok melingkar mencari di daerah jangkrik bersembunyi dengan menyalakan obor minyak tanah. Biasanya jangkrik sembunyi di celah tanah merekah. Kami ungkit dan giring dengan jerami padi agar keluar dari persembunyian, lalu setelah di atas ditangkap. Hap.
Tidak selalu jangkrik bisa ditangkap. Kadang celahnya memanjang ke mana2 dan jangkriknya bisa sembunyi ke tempat yang lebih sulit. Kalau dapat, dimasukkan ke wadah. Begitu terus sampai lelah dan pulang. Sampai di rumah atau di tempat mangkal, misal di depan masjid atau pos ronda, jangkrik dibagi rata. Orang pertama pilih satu, orang kedua dan seterusnya sampai jangkrik habis dibagi.
Waktu itu kok nggak kepikir kalau ketemu atau menginjak ular yang masih banyak di kampung saya, termasuk ular cobra. Juga tidak takut hantu, padahal lewat jalan sulit dan banyak pohon besar. Anda punya pengalaman juga? (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR