Salah satu yang sering dicibirkan kepada Nabi SAW oleh kaum Quraisy adalah keadaan para sahabatnya,
“Bila ia seorang Rasul Allah, mengapa pendukungnya hanyalah kaum miskin, bekas budak, wanita, orang tua, orang buta dan orang2 yang tersingkir lainnya”.
Padahal sahabat2 Nabi yang miskin, papa, terhina, bekas budak itu memiliki kesetiakawanan tinggi. Mereka rela berjuang, memberikan miliknya yang paling berharga: nyawanya sendiri. Salah satu sahabat Nabi yang sangat miskin, Mush’ab bin Umair, sebelum menjadi muslim adalah putra keluarga yang kaya raya dan terpandang di Mekah.
Mush’ab rela meninggalkan kemegahan dan kekayaan, demi panggilan Allah dan Rasul yang benar. Sahabat2 yang demikianlah yang sejati bersedia mengorbankan jiwanya untuk Islam. Ketika Mush’ab gugur di medan Uhud, tidak ada kain yang cukup menutupi seluruh tubuhnya, ditutup kepala, tampak kakinya, sebaliknya ditutup kaki, kepalaya yang tampak.
Dalam ayat pertama surat Al Kautsar (QS 108:1), Allah berfirman, “Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak”, nikmat yang diberikan-Nya termasuk juga diberikan banyak sahabat yang sejati.
Dalam konteks masa kini, banyak yang tidak sadar bahwa memiliki sahabat yang sejati, sebuah nikmat Allah yang luar biasa besarnya. Mungkin sahabat sejati kita bukan orang kaya. Mungkin pula sahabat kita bukan orang terpandang. Mungkin juga bukan seorang sarjana, bahkan mungkin bukan orang tua.
Sahabat yang membela kita. Sahabat yang bersedia berjuang dan berkorban untuk kita. Sahabat yang menutup rapat aib kita. Sahabat yang sabar mendengar kita. Alangkah malangnya orang yang tidak memiliki sahabat, betapa sunyi hidupnya, mungkin untuk curhatpun ia harus membayar mahal. (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR