Kita tidak tahu kapan masyarakat di Indonesia Bagian Timur sepenuhnya, akan memperoleh kesempatan memilih telepon seluler seperti halnya kita yang di P.Jawa. Sungguh terlalu, dari 5 Operator Seluler yang ada di Indonesia, hanya ada satu Telkomsel yang mengudara di sana. Tanpa adanya pilihan.
Siapakah yang patut disalahkan? Sejak tahun 20 tahun yang lalu sampai kini, sudah 6 rezim pemerintahan negara berjalan, dan tercatat belasan menteri Perhubungan/Kominfo yang mengurusi kesenjangan ini, tanpa hasil mengatasinya.
Miris sekali. Oleh karenanya saat Menkominfo era Presiden Jokowi mengeluarkan jurus best practice dalam upaya mensolusinya, kita pantas memberinya jempol. Dan kita tunggu hasilnya.
Anda tahu? Dua puluh satu tahun yang lalu, tatkala saya memimpin tim Telkomsel memulai pembangunan BTS di Jayapura, Irian Jaya (Papua), hujatan dan ujaran teramat sinis tidak henti ditudingkan kepada saya.
Termasuk dari manajemen Telkom, Indosat dan PTT Belanda selaku pemegang saham. “Insinyur goblok” yang tidak mengerti bisnis, dan bahkan memlesetkan nama saya sebagai “Garuda Sudah Miring”. Alhamdulillah saya tetap tegak.
Saya berpantang surut. “Tim Komando Telkomsel” telah bersumpah setia untuk mengudarakan seluruh 27 provinsi NKRI dalam 18 bulan. Apapun kami kerjakan; menarik kabel, memanjat menara, menyulap gudang jadi ruangan BTS yang sejuk rapi, dan mengelap perangkat. Kantor GraPari Jayapura pun hanya di seonggok ruko yang sewanya relatif murah.
Bro and Sis, Telkomsel mampu beroperasi di seantero provinsi sejak dua puluh satu tahun yang lalu, hanya dalam waktu satu setengah tahun. Sementara itu, tiga dari empat Operator yang mayoritas pemiliknya investor asing (Indosat, XL, 3 dan plus Smartfren), sampai hari ini masih berharap memperoleh fasilitas network sharing dari Telkom dan Telkomsel.
Sah-sah saja! Dasarnya adalah hitungan untung-rugi bisnis dari sebuah wilayah yang penduduknya pun tipis. Namun bagi saya, kunci penggelaran jaringan di Papua adalah: Komitmen sebagai anak bangsa dan rasa mencintai Papua!.
Membangun Irian Jaya dan Indonesia Bagian Timur, bagi saya panggilan bawah sadar yang lahir karena tahun1989 – 1991 saya pernah bertugas dan mengabdi di Telkom Irian Jaya. Selama periode 2 tahun meminum air Papua dan 2xi melewati masa kritis akibat sakit malaria ganas dan mematikan, menjadikan darah dan hidup saya (dan teman2 ex Irian Jaya) menyatu dengan tanah Cenderawasih.
Bila Pemerintah memberlakukan aturan network sharing dan interkoneksi, saya tidak yakin ke-4 Operator lain akan mengoperasikan jaringannya di timur sana. Mereka tidak memiliki totalitas rasa dan suasana kebatinan untuk menghadirkan pilihan seluler di sana. Mohon maaf, mudah2an saya salah menduga.
Di suatu malam, 2 September 1997, beberapa patriot Telkom Papua menghampiri saya di pelataran sebuah hotel kecil di Merauke. “Pace Garuda, mengapa paitua ada di sini. Bukankah acara peresmian belum selesai? Mengapa pula mata paitua basah?”
Saya hanya memeluk mereka, mereka tahu saya terharu. Mengoperasikan Telkomsel di Merauke bagi saya puncak perlawanan atas berbagai predikat kebodohan yang diberikan ke saya karena nekad membangun GSM di area Papua. Saya beruntung karena Menkopolkam Susilo Soedarman (alm) jenderal TNI yang juga pernah memimpin Komando Pertahanan di Irian Jaya.
Almarhum mengerti Papua dan beliau pula yang menyemangati saya untuk tidak gentar membangun Telkomsel di Papua. Beliau pula yang meresmikan pengoperasian Telkomsel di Merauke dalam sebuah acara yang bersahaja, layaknya hanya sebuah kenduri sunatan di Jawa.
Telkomsel, bebanggalah, karena kau adalah bahagian dari sebuah pengorbanan dan perjuangan dalam membangun masyarakat Papua. Dia akan tetap menjadi tanah NKRI, karenanyalah Telkomsel ada di sana. Salam Indonesia! (Garuda)-FR.
NB: Kisah ini saya dedikasikan untuk Ibu Koemarihati yang sedang umroh di tanah suci. (Ref: Buku “Garuda Sugardo Mobile”, 2016)