Rekan-rekan yang baik, Selamat jumpa di Tahun yang Baru ini. Walau masih libur, ada baiknya kita angkat pada awal tahun ini suatu isu kontroversial selama WRC-15 (World Radiocommuniation Conference 2015), yaitu Drone. Perdebatan masih akan dilanjutkan dan belum putus.
Kebanyakan negara2 berkembang, termasuk Indonesia, tidak setuju Drone, pesawat tanpa awak, beroperasi pada pita frekuensi : Pelayanan Satelit Tetap (Fixed Satellite Service, FSS), karena dapat membahayakan pesawat berawak atau berpenumpang. Di sisi lain negara2 maju dipelopori AS, termasuk Australia setuju dan tidak boleh membahayakan-mengganggu layanan, termasuk satelit.
Ini bukan berarti Indonesia tidak setuju pelayanan Drone, melainkan Drone tidak boleh menggunakan pita komersial FSS. Di sisi lain, Drone oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) organisasi yang mengatur ketentuan penerbangan (pesawat berawak), mensyaratkan Drone, walau pesawat tidak berawak, dikenakan ketentuan bagi pesawat berawak.
ICAO benar, karena keselamatan jiwa tidak ada toleransi kegagalan-gangguan sedikitpun. Saya percaya anda juga berpendapat demikian. Bayangkan bila puluhan mungkin ratusan drone di sekitarnya ada satu saja yang nyasar saat pesawat berpenumpang mau mengudara atau mendarat (daerah bandara yang paling ramai dan berisiko), apa ada yang bisa ganti rugi jiwa kita, bukan? -:)
Berita di atas terkait perlawanan pilot2 Australia ke peringanan ketentuan2 pada Drone, mengingat menimbulkan eskalasi penerbangan Drone, khususnya bagi mereka yang amatiran. Di sini tidak disebut pita frekuensi yang digunakan apakah FSS atau pita khusus untuk navigasi radio pesawat, yang dapat membahayakan pilot dan penumpang pesawat. (Salam, APhD)-FR