P2Tel

Hangatnya Surau Kami (FE)

Adzan shalat Isya telah beberapa lama berkumandang, saya keluar rumah dengan payung lebar. Hari gelap, hujan deras. Air di aspal mengalir membasahi langkah saya menuju surau yang terpaut dua rumah dari rumah saya.

 

Terpadu dimata saya seorang gadis kecil bermukena biru me-loncat2 meraih mantal yang tergantung di tembok. Saya panggil dia dan saya ajak bersama menuju ke surau, payung sengaja saya rendahkan menjaga mukenanya tetap kering.

Sering saya perhatikan gadis kecil yang belum SD ini usai shalat menggelar mukenanya dilantai teras surau. Mukena mungil itu dilipat membujur kemudian dilipat melintang menjadi lipatan yang  rapi dan  ia lari pulang kerumahnya diseberang surau. Gadis sekecil itu trampil melipat perlengkapan shalatnya

Di teras mushola kecil itu saya bertemu dengan seorang anak laki-laki, sekitar sepuluh tahun umurnya. Kulitnya cerah dan bersih. Ayahnya yang tinggi, seorang petugas security di Lapangan Terbang Adi Sutjipto, sedang ibunya guru agama di SD Muhammadiyah.

 

Anak ini rajin shalat lima waktu berjama’ah di mushola, sekalipun saat subuh saya lihat ia ter-kantuk2. Melihat ia melakukan ibadah dengan istiqamah, sering saya malu sendiri, saya yang mungkin lebih tua dari almarhum kakeknya, jauh sudah sangat tua baru bisa menirukan kebiasaannya.

Saya tidak tahu di tempat anda, tapi di surau kami ini orang rajin berjabat tangan. Baik sebelum shalat, maupun seusai shalat. Saya perhatikan cara mereka menghormati orang dalamberjabat tangan berbeda-beda. Ada yang tangan kirinya memegang pangkal siku tangan, jadi seperti bersidekap. Ada yang usai tangannya berjabat, disentuhkannya tangan kanannya ke kening. Ada pula yang telapak tangan kanannya di tangkupkan ke dada, atau ke ujung hidungnya. Dalam sehari bertemu dengan banyak orang di surau, saya bisa berjabat tangan puluhan kali (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR

 

Komentar dari salah seorang anggota grup WA-VN :

Maaf membayangkan suraunya seperti bangunan joglo kecil dipinggir danau floating maart lembang yang full kayu jati kering warna kusam karena umurnya. Saya sering merasakan dan mendambakan ketenangan dan kekhusu’ an saat sholat subuh di masjid komplex hasil wakaf meteran warga muslim.

Saya menghindari jabat tangan diawal masuk masjid karena  langsung ke tempat biasa saya duduk disudut, untuk tahyatul masjid, dzikir menunggu waktu adzan. Seolah ingin segera ” menemui yang kurindukan, Illahi Robbi”. Usai berjamaah, kami bersalaman bersama sambil melantunkan sholawat.
Bahkan klo disaat subuhan sblm  sholat Ied kadang kami berpelukan dan ada yang menitikkan air mata.
Hati nyaman, sekalipun bercampur aroma baju yg kurang kering, tetapi keakraban ini begitu mendalam kunikmati. Siapapun mereka yang hadir berjamaah dimasjid kecil kebanggaan kami adalah saudara seiman sehati. Subhanallah, alhamdulillah. (Sunarto; dari grup WA-VN)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version