Perusahaan dengan misi
Dalam bisnis, badai selalu ada, godaan tidak pernah surut. Saat situasi sulit-krisis, tak sedikit orang ‘merayu’ Rachmat menjual perusahaannya. “Perusahaan ini bukan masalah bisnis. Ada nilai perjuangan dan ibadah” tegasnya. Amal jariyah bukan hanya menyumbang ke mesjid, sekolah. Tapi juga perusahaan yang mempekerjakan banyak orang.
Ada banyak manfaat didapat dari perusahaan. “Banyak ilmu bermanfaat yang bisa dibagi,” ucapnya. “Jadi saya tidak hanya berbisnis, tapi juga membangun industri dan beribadah.” Misi itu disampaikannya ke semua karyawan sebagai misi bersama.
Memahami keuntungan
“Keuntungan bagus adalah penghargaan yang diberikan konsumen tanda terima kasih ke kita,” ujar Rachmat. “Jadi perusahaan harus inovatif dan mampu meproduk yang dibutuhkan masyarakat. Jadi bukan sekedar AC atau mesin cuci.” Ia percaya produk perlu ber-value yang berguna bagi konsumen.
“Sehingga akhirnya ada nilai yang bisa didapat perusahaan, bukan Cuma untung. Inilah yang menurut saya membuat kita langgeng. Saya kira ini bagian dari kontribusi kita ke pemerintah dan masyarakat.” Jadi untung bukan sekedar selisih antara biaya produksi dan penjualan, tapi keuntungan adalah proses win2 produser dan konsumen.
Menjaga nilai-nilai
Banyak cara dan tidak akan sama satu perusahaan dengan yang lain. Meski tak ada salahnya terinspirasi oleh yang lain. “Salah satu cara saya menjaga nilai2 yang diwariskan founder, tidak mengubah apapun di ruang kerja ortu. Baju dan sepatu terakhir dipakai masih ada. Sabun mandi yang terakhir ada. Sengaja saya jaga itu agar generasi muda kami paham kakeknya. Itu perlu terus mewariskan nilai2 founder ke generasi2 selanjutnya.”
Bertarung melawan ‘naga’
Menghabiskan masa kecil di perusahaan keluarga bisa semenyenangkan bermain di taman hiburan. Dimanja dan dipuja karyawan-manajer. Maklum anak boss. Tapi bersiaplah kenyataan ‘pemuja2’ itu kelak adalah senior yang bisa berubah jadi ‘duri’ pengganggu. Rachmat Gobel mengalami masa manis itu. “Dulu saya biasa dikasih uang mereka”.
Ketika ayahnya wafat dan ia warisi perusahaan itu, ia harus mengubah sikapnya 180 derajat. “Saya harus memposisikan sebagai pemilik, sebagai partner. Bukan lagi anak Pak Gobel” tuturnya awal suksesinya mengalami pertentangan. “Itu bagian dari proses yang sulit. Sampai akhirnya saya katakan ke mereka saya pemilik perusahaan ini.”
Rachmat merasa harus tegas menjaga kepentingan pihak2 dan membawa perubahan ke arah lebih baik berdasar cita2 pendiri. Bersambung……..; (Artikel ini pernah dimuat di majalah Best Life November 2010)- Prasetya B. Utama-dari grup FB-ILP; sumber dari by ninosantana28 https://membangunindonesiadarirumah.wordpress.com/2014/03/19/tongkat-estafet-gobel-rahasia-mewariskan-bisnis-keluarga/)-FR