Hak seorang muslim atas muslim yang lain adalah, bila wafat, mengantarkannya sampai ke makam. Jadi orang berta’ziyah kepada keluarga yang meninggal, maksudnya menghibur yang sedang belasungkawa agar mereka sabar dan tetap tawakal menghadapi musibah, sekaligus mendo’akan yang imeninggal.
Dalam rangka menghibur inilah kemudian para pelayat juga menyumbang kepada keluarga almarhum/almarhumah. Kebiasaan di desa, selain berupa uang yang diselipkan kedalam baskom bertutup kain, sumbangan itu bisa juga berupa gula, kopi, minyak goreng dan kebutuhan dapur lainnya.
Sumbangan itu tentu bukan untuk si mati, karena yang wafat sudah putus amalnya, ia tidak lagi memerlukan gula, beras, kopi apalagi uang, ia hanya membawa amal sholehnya dan dosanya yang harus dipertanggung jawabkannya sendiri kelak.
Lantas, buat apa uang Taziyah itu? Ya untuk yang hidup. Bisa saja uang itu sebagai pengganti nafkahnya yang beberapa hari terputus karena ngurus sakit sampai dimakamkan, atau buat apa saja silahkan. Yang perlu diluruskan, bila uang itu dishadaqahkan atas nama yang mati, mungkin karena sungkan untuk memakainya.
Penyumbang rugi dua kali, pertama kehilangan uangnya, yang kedua salah niatan, walau maksudnya mulia, karena yang meninggal sudah tidak bisa lagi bershadaqah atau beramal apapun. Kecuali tentu bila sebelum wafat ia sudah berwasiat, “Nak, kalau Bapak mati, sumbangan Ta’ziyah shadaqahkan ke masjid ya?”, tapi apa ya ada orang yang berwasiat demikian? (Sadhono Hadi; dari grup WA-FB ILP)-FR