Di dalam bahasa Jawa ada istilah yang kalau jaman dulu sangat populer yaitu “Waton sulaya”. Sulaya mempunyi dua arti, pertama : “geseh”, meleset, keliru. Contoh : Si Anu dari daerah mau ke Jakarta naik kereta api, sampai Jakarta pagi dan minta dijemput di setasiun.
Setelah menunggu lama jemputan tidak datang. Ternyata yang menjemput ke Stasiun Gambir, dan yang datang tiba di Stasiun Pasar Senen. Ini namanya “Sulaya”.
Ibu2 bikin kue, sudah mengikuti resep dari internet, ternyata kue tidak enak, tepungnya tidak sesuai yang diharapkan, jadinya adonan tidak sesuai yang ada di resep. Ini “sulaya” juga, tepungnya “sulaya”
Dalam konteks “waton sulaya”, ” waton” artinya asal. “Sulaya” artinya bukan seperti dia atas itu, tapi “congkrah”, selisih paham, cekcok, polemik, kelahi. “Pasulayan” artinya perselisihan, percekcokan, perkelahian. Jadi “waton sulaya” artinya ucapan, tulisan, tanaggapan yang “asal” bisa membuat orang lain cekcok, berselisih, berpolemik, berkelahi, dst.
Kini banyak tulisan di medsos “waton sulaya”, asal orang lain bisa dibuat bertengkar, bermusuhan, berkelahi. Banyak media sosial yang dulunya merupakan tempat bersilaturahim, bercengkerama, memupuk persaudaraan, sekarang suasana menjadi “panas”, tidak nyaman, tidak kondusif.
Konyolnya, seperti yang saya lihat di televisi, saat ini ada orang yang dibayar perbulan jutaan rupiah untuk membuat berita, informasi “waton sulaya” ini. Sekedar mengingatkan, kalau menurut agama Islam (khusus yang beragama Islam, sebab kalau menurut agama lain saya tidak tahu),
Menyebarkan kekurangan orang lain (padahal benar) saja ancaman hukumannya berat, apalagi membuat dan atau menyebarkan berita bohong (fitnah/Hoax), ancaman hukumannya sangat berat. Demikian pula tukang “adu domba”. Semoga kita tidak termasuk orang yang “waton sulaya”. (Widartoks 2017; dari grup FB-ILP)- FR