Di sebuah kota di Jawa Timur pernah terjadi orang ber-desak2an berebut amplop zakat yang nilainya beberapa puluh ribu rupiah, sampai ada yang tewas karena ter-injak2. Astaghfirullah, kematian tragis. Mengapa begitu banyak orang tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak rela antri dan berjubel demi uang zakat itu? Karena uang itu diberikan langsung, saat itu juga tanpa syarat “akan”.
Cobalah tawarkan sesuatu kepada anak2 kita yang nilainya jauh lebih menarik dari pada sekedar uang zakat itu, tetapi mengandung konsep “akan”, begini,
“Nak, rajinlah belajar, nanti kamu “akan” menjadi pintar, kemudian cepat lulus dan bekerja di tempat yang baik, penghasilanmu besar dan kamu bisa beli mobil, rumah dan lain sebagainya”. Betapa sulitnya menawarkan hal yang sangat logis, kepada anak-anak.
Lebih sulit lagi, tawaran seorang ustadz hal2 yang mungkin belum bisa diterima oleh iman mereka,
“Tempat yang terbaik disisi Allah kelak, “akan” diberikan bertaqwa tinggi, sungguh2 mengerjakan yang diperintah-Nya dan benar2 menjauhi apa yang dilarang-Nya. Perbanyaklah ibadah, Allah “akan” memberikan taman surga kepadamu”.
“Akan”, itu bagaikan dinding atau tembok pembatas yang memisahkan orang2 yang berhasil menembus itu, yakni orang yang beriman dari orang-orang yang belum menerima hidayah. Dibalik tembok adalah hal-hal yang secara logika mestinya bisa diterima tapi masih pula diabaikan.
Orang2 yang berhasil menembus “akan”, misalnya, tidak segan2 membelanjakan tabungannya ber-tahun2, berpisah dengan keluarga dan ber-desak2an menyebut asma Allah ber tawaf sekeliling ka’bah. Merekalah orang2 berhasil mengalahkan “akan”, mereka yakin, bila Allah menghendaki, “sekarang” pun akan Allah berikan. Masya Allah. (Sadhono Hadi; dari grup WA-BPTg)-FR