Jakarta-Pembangunan MRT di DKI bukan untuk gagah2an atau tidak sekadar membuat Jakarta sejajar dengan kota2 besar di dunia. Yang lebih penting, pembangunan MRT itu titik awal dari upaya pemerintah yang serius mengurangi kemacetan di Jakarta sebagai salah satu kota termacet di dunia.
Bambang mengatakan, sebenarnya solusi untuk mengatasi kemacetan itu banyak alternatifnya. Namun yang paling penting adalah perbaikan sistem transportasi massal. Pembangunan MRT, kata Bambang, menjadi bagian dari upaya memperbaiki sistem transportasi massal.
Bambang berharap, jika pembangunan MRT sudah rampung, warga Jakarta turut mendukung dengan cara meninggalkan kendaraaan pribadi dan beralih ke transportasi massal sehingga dapat mengurangi kemacetan dan dan menjadikan kegiatan aktivitas sehari-hari lebih produktif dan lebih efisien.
“Keberadaan MRT tidak sekadar alat transport, tapi sarana pendorong pengembangan dan aktivitas ekonomi lantaran nanti di stasiun2 MRT bisa dikembangkan sebagai pusat bisnis dan belanja” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro saat meninjau pembangunan Proyek MRT, di Stasiun 13 yang berada di kawasan Bunderan HI Jalan Sudirman (20/3).
Saat kunjungan, Menteri Bambang didampingi Sekretaris Kementerian PPN/Sekretaris Utama Bappenas Imron Bulkin, para Deputi Bappenas, Dirut PT MRT Jakarta, William P Sabandar, serta Direksi PT MRT Jakarta lainnya.
Menurut Bambang, banyak yang berpendapat, di sebagian besar kota2 di dunia, pengoperasian MRT termasuk pembangunannya, harus didukung penuh pemerintah. Artinya, pemerintah selalu ambil porsi terbesar mengalokasikan anggaran, dari anggaran internal dan upaya dari pinjama2.
Best practice pengelolaan MRT yang bisa dijadikan benchmark, adalah Hong Kong. Pengelolaan dan pengembangan MRT di Hong Kong bisa dibiayai oleh kegiatan MRT sendiri dengan cara menggandeng para pemilik properti di seputar rel melalui konsep transit oriented development (TOD).
Setiap stasiun MRT di Hong Kong, tidak hanya mengakomodir pusat perbelanjaan, tapi juga dibangun properti seperti perumahan, perumahan kelas menengah, kelas atas, dan bentuk2 properti seperti low cost housing yang bisa mendatangkan pemasukan. Dari pemasukan itu MRT Hong Kong membiayai kegiatan operasionalnya.
“Laporan akhir, mereka untung dan levelnya triliunan rupiah,” ujar Bambang. Kisah sukses skema pengelolaan MRT dengan konsep TOD yang dikembangkan di Hong Kong, patut dipertimbangkan sebagai model karena kita ingin nanti ada dampak ekonomi dari keberadaan MRT. Jadi MRT sekadar alat transportasi tapi juga sebagai sarana mendorong perekonomian DKI lebih meningkat lagi.
Untuk menjalankan model TOD yang benar, sebaiknya MRT DKI belajar dari pengeloaan MRT di Hong Kong. Diberharapkan MRT mulai mengeksplorasi kemungkinan pengembangan TOD di sepanjang yang dilewati MRT. Mulai dulu fase I, lanjut ke fase MRT penghubung Barat-Timur. “Tapi yang terpenting, di fase I ini kita mulai punya konsep TOD untuk MRT Jakarta,” tutur Bambang.
Untuk pembagunan MRT fase II, Utara-Selatan, akan melanjutkan pinjaman dari Jepang dengan skema persis seperti fase I. Untuk Fase Barat-Timur, itu tahap pengembangan berikutnya. Saat ini pemerintah akan melihat berbagai opsi pendanaan dan teknologi yang terbaik.
“Jadi, kita ingin mengawinkan pendanaan dan teknologi terbaik, baik dari aspek kualitas MRT-nya, maupun juga dari segi pendanaannya”, pungkas Menteri Bambang. (Imam Suhartadi/IS; Investor Daily dan http://www.beritasatu.com/megapolitan/420585-mrt-titik-awal-kurangi-kemacetan-di-dki.html)-FatchurR