Begitulah nasib sejarawan, seperti Machiavelli (1469 -1527), ia hanya menulis fakta, apa adanya secara lengkap, tapi banyak yang membenci. Maksudnya baik, dengan menulis Il Principe, Sang Penguasa, untuk memperbaiki keadaan. Ia ingin meraih “vivere sicuro”, kehidupan yang tentram.
Alih-alih dipuji ia dicela, karena terlalu lengkap dan jelas menuliskan cara2 melanggengkan kekuasaan. Nama Machiavelli, sejarawan, diplomat, pemikir dan filsuf Italia yang disegani di Eropa pada masa Renaisans, kini dikaitkan faham yang berbuat segalanya, menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Orang yang demikian itu disebut sebagai Makiavelis.
Sejarah panjang penguasa itu berusaha melanggengkan kekuasaan. Pengarang fiktif, Aswrendo Atmowiloto dalam serial roman sejarah “Senopati Pamungkas”, menggambarkan dengan keji raja di Jawa mempertahankan kekuasaannya. Walau cerita fiktif, namun Aswrendo sudah mengadakan riset cukup mendalam sebelum menuliskan dongengnya.
Bagaimana nafsu manusia bersemayam di dada Ken Arok. Ia kemudian dibunuh dengan keris yang sama, betapa culas nya ia memainkan tipu meraih kekuasaan. Kemudian Raden Wijaya. Sejarah politik kontemporer yang ditulis Taufik Abdullah, ia sebut sebagai “the greedy state”, negara yang serakah. Waduh, betapa sarkastik-nya.
Tanpa disadari para Makiaveli kini bagaikan gurita yang menjalar ke pemilihan penguasa di pilkada dan sejenisnya dengan melontarkan cerita fitnah, yang dikemas dalam wujud berita medsos, yang secara sistimatis mempengaruhi para calon pemilih. Konon, cerita2 bohong yang memiliki tujuan politis ini bisa dipesan. Tapi bagaimana membuktikannya? (Sadhono Hadi; dari grup WA-BPTg)-FR