Hurgronje bertemu dengan komunitas Aceh di Mekah dan ia belajar banyak dari mereka. Belum sempat ia naik haji, ia dipanggil kembali oleh Den Haag (ibu kota kerajaan Belanda) dan menugasinya ke Indonesia sebagai staff khusus penasihat untuk Bahasa Timur dan Islam.
Tahun 1889 ia bersemangat untuk bertugas di Batavia bahkan tahun 1891 ia menolak jabatan di Leiden, memilih tetap di Indonesia. Juli 1891 ia berangkat ke Aceh, masuk dan mempelajari kehidupan di Aceh, selama 7 bulan dan kembali ke Batavia Februari 1892.
Saat itu Belanda lelah dengan kondisi Aceh yang bergolak dan Hurgronje muncul dan usulan solusi untuk mengatasi umat Islam seluruh tanah jajahan Hindia Belanda khususnya Aceh. Menurutnya masyarakat pribumi harus dimodernisir dan fanatisme Islam akan surut. Pendidikan diberikan kepada kalangan pimpinan lokal dan kelak mereka akan membantu pemerintah kolonial dalam mengelola tanah jajahan.
Hindia Belanda pada jangka panjang akan menjadi bagian dari kerajaan Raya Belanda. Ia percaya “zero sum game”, pendidikan yang tinggi akan menyurutkan fanatisme agama. Ia mengusulkan politik etik, jadi setelah sangat lama menekan penduduk tanah jajahan, saatnya kini membalas kesalahan dengan memberikan pendidikan yang setara dengan pendidikan di Belanda.
Agama diusulkan dipisahkan dari pemerintahan dan dicegah dengan keras untuk masuk dalam ranah politik. Jamaah yang pulang dari haji, menurut Hurgronje akan mengobarkan fanatic dan harus di awasi dan tidakdiberi jabatan sebelum di teliti dengan ketat.
Pada jangka pendek, pendekatan Hurgronje membuahkan hasil, perang Aceh dapat diredakan. Pemerintah colonial mulailah melaksanakan politik etik diseluruh negeri, terutama di pulau Jawa. Hurgronje kembali ke Belanda dan mendapatkan kembali jabatannya di Leiden dan wafat di tahun 1936. Ia sempat menyaksikan putra-putra pribumi yang cerdas dan menyelesaikan studinya.
Namun ia tidak sempat menyaksikan bahwa dengan pendidikan, ternyata umat Islam bahkan lebih taat beragama, keimanan dengan landasan pikiran rasional lebih tebal disamping itu bibit kebangsaan dan keinginan merdeka tumbuh dengan subur pada dada putra-putri anak bangsa.
Teori Zero sum game, dalam kaca mata Belanda buyar, tapi ini justru “blessing in disguise” bagi Indonesia. Sejarah berpihak kepada Indonesia, Perang Dunia ke 2 dan penjajahan Jepang justru mempertebal semangat kebangsaan untuk merdeka. (Sadhono Hadi; dari grup WA-BPTg)-FR