Di Padepokan Giripurwa, di rumah depan, Dewi Kunti menunggui dan membujuk agar Pinten dan Tangsen berhenti menangis, namun gagal, sebab pokok mereka menangis adalah lapar. Ketika Pinten dan Tangsen berhenti menangis sesaat, Dewi Kunti mendengar suara dari arah belakang rumah .
Dia menyuruh putra tertua, Puntadewa untuk mencari tahu siapa mereka. Puntadewa lalu berjalan ke rumah yang berada di bagain belakang padepokan. Dia mengetuk pintu dengan menyebutkan namanya dengan lembut, sebab memang dia beperangai lemah lembut. Sekali tidak dijawab, diulang untuk kedua kali, lalu ketiga kali. Pada saat itulah ada seseorang lelaki yang keluar dari rumah itu.
” Maaf anda siapa dan ada keperluan apa Ki Sanak datang ke rumah saya?”, tanya sang pemilik rumah. Tingkah lakunya menunjukkan rasa ketakutan.
” Saya putra tertua ayahanda Prabu Pandudewanata dari Hastinapura. Kedatangan saya ke sini untuk meminta tolong. Kami dalam perjalanan jauh mau pulang, namun kehabisan bekal, sementar adik-adik kami menangis kelaparan. Kalau boleh bisa meminta bantuan, boleh kami bekerja apa saja, sehingga mendapat imbalan makanan untuk kedua adik saya itu” jawab Puntadewa.
Orang itu terperangah demi disebutkan nama Prabu Prabu Pandudewanata yang merupakan raja besar Hastinapura.
” Oh, Raden, kami mempunyai makanan sedikit. Baiklah kami akan memberikan sedikit untuk adik anda”, jawab orang itu.
” Di mana adik anda Raden?”, tanyanya kemudian.
” Di sana di rumah depan”, jawab Puntadewa sambil menunjuk rumah depan.
Orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan membiarkan Puntadewa diam menunggu di depan pintu. Sesaat kemudian orang itu datang dan membawa sebungkus makanan. Kemunculannya disertai istri dan ketiga anaknya yang hanya mengintip di balik pintu.
” Ini Raden, namun hanya sedikit. Kalau Raden mau menunggu, kami akan memasak lagi”, kata istrinya sambil menyerahkan bungkusan kecil makanan.
” Oh, terima kasih banyak”, kata Puntadewa sambil menangguk hormat, namun segera dicegah oleh orang itu yang merasa derajatnya lebih rendah dari putra rasa besar Hastinapura itu.
” Oh ya, kami mengucapkan selamat datang Raden di Padepokan. Silahkan dibawa Raden, agar adik anda bisa segera memakannya”, kata orang itu.
Puntadewa lalu meninggalkan rumah belakang itu dan menuju rumah depan, tempat ibunya, Pinten dan Tangsen berada.
” Ini ada makanan sedikit, ayo dimakan”, kata Puntadewa begitu sampai di rumah depan. Tanpa disuruh dua kali, Pinten dan Tangsen segera memakan makanan yang hanya sedikit itu. Tak lama kemudian makanan habis.
” Terima kasih Kanda”, kata Pinten setelah selesai makan.
” Tapi saya masih lapar”, katanya.
” Iya, saya juga”, Tangsen menambahi.
” Ya kalian harus bersabar, ini saja hasil pemberian pemilik rumah ini”, kata Dewi Kunti.
Tak lama kemudian Bima datang membawa makanan, disusul kedatangan Arjuna yang juga membawa makanan. Maka kemudian mereka makan bersama, dengan terlebih dahulu menyerahkan kepada Pinten dan Tangsen agar kenyang. Dewi Kunti, Bima dan Arjuna hanya kebagian sedikit dan belum kenyang.
Bima kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya. Begitu juga Arjuna. Kini mereka mengetahui rakyat di negara ini sedang dicekam ketakutan oleh raja mereka yang meminta kurban berupa manusia untuk dimakan hidup-hidup.
Tak lama kemudian pemilik padepokan itu datang membawa makanan hangat. Rupanya istri dan anaknya segera memasak begitu Puntadewa meninggalkan mereka di rumah belakang.
” Sang Dewi dan Raden semua, ini kami membawa makanan, semoga bisa membantu sedikit”, kata pemilik rumah itu.
” Oh terima kasih banyak, kami telah merepotkan kalian”, kata Dewi Kunti mewakili anak-anaknya.
” Tidak Sang Dewi, yang kami berikan hanya makanan desa yang sangat sederhana, berbeda jauh dengan makanan istana yang anda semua bisa memakannya”, kata tuan rumah itu.
” Kami tidak akan bisa melupakan budi baik kalian. Kami akan membayarnya, walaupun dengan nyawa”, kata Dewi Kunti yang membuat tuan rumah sangat kaget. Dewi Kunti dan anak-anaknya juga terkaget dengan reaksi tuan rumah itu.
” Oh ya kita belum berkenalan. Siapa kalian ini?”, kata DewI Kunti.
” Tempat ini namanya Padepokan Giripurwa. Nama hamba Resi Hijrapa sebagai pengasuh padepokan ini. Namun saat ini tidak mempunyai cantrik lagi, sebab semua sudah keluar. Hamba mempunyai istri dan tiga orang anak”, jawab orang itu yang ternyata bernama Resi Hijrapa.
” Oh perkenalkan kami, saya Dewi Kunti”, jawab Dewi Kunti.
” Ini anak-anakku para pandawa. Puntadewa, Bima, Arjuna, Pinten dan Tangsen”, seraya menunjuk anak yang disebut namanya.
” Kami dalam perjalanan pulang ke Hastinapura. Oh ya, mengapa daerah ini terasa sangat sepi?”, tanya Dewi Kunti.
” Ampun Sang DewI”, kata Resi Hijrapa.
” Kami saat ini sedang dilanda masalah besar”, sambungnya.
Resi Hijrapa lalu menjelaskan bahwa selama bertahun-tahu rakyat di negara Ekacakra dilanda ketakutan, sebab setiap tahun harus memberikan kurban berupa manusia hidup, anak muda untuk disantap oleh raja mereka Prabu Dwaka atau Prabu Baka. Dewi Kunti dan para pandawa mendengar penuturan Resi Hijrapa dengan seksama.
Untuk tahun ini dialah yang harus mengorbankan salah satu anaknya kepada Prabu Dwaka. Oleh karena itu dia dan istrinya sangat bingung menentukan anak mana yang akan dikorbankan. Selain itu dia juga harus meneydiakan makanan beserta lauk pauknya untuk para prajurit pengawal raja, ketika mereka datang.
” Hmm. Kurang ajar”, kata Bima yang nampak geram.
” Kapan Prabu Baka akan ke sini?”, tanyanya kepada Resi Hijrapa.
” Tiga hari lagi Raden”, jawab Resi Hijrapa.
” Biar aku hadapi dia”, jawab Bima kemudian.
” Tidak usah Raden, kami tidak ingin Raden terluka apalagi sampai terbunuh”, kata Resi Hijrapa.
” Tidak mengapa kalau harus mati membela rakyat kecil “, jawab Bima mantap.
Mereka kemudian mengatur siasat. Pada saat Prabu Baka datang dan meminta kurban, yang akan menjadi kurban adalah Bima sendiri, menggantikan anak Resi Hijrapa.
Maka mulai saat itu mereka membuat persiapan. Resi Hijrapa sendiri walaupun sangat senang dengan kesediaan Bima menjadi kurban, namun masih ada rasa was-was yang besar, sebab belum tahu apakah Bima bisa menghadapi Prabu Baka yang terkenal sakti mandraguna, apalagi dia pasti datang beserta pasukannya yang tidak segan berbuat bengis dan kejam.
Sementara itu rakyat di Ekacakra bertanya-tanya dengan kedatangan para pandawa yang menginap di rumah Resi Hijrapa. Mereka mengawasi gerak-gerik para pandawa dan keluarag Resi Hijrapa. Ingin tahu apa yang terjadi. Beberapa orang yang pemberani datang menemui Resi Hijrapa dan bersedia membantu sebisanya, terutama bantua berupa tenaga, misalnya memasak. Mereka juga membawa bahan makanan untuk dimasak di rumah Resi Hijrapa.
Di sisi lain, Prabu Baka yang mendapat laporan bahwa ada seseorang yang berani menghajar prajuritnya menjadi marah dan ingin segera membunuh orang tersebut, yaitu Bima. Namun merasa agak gentar juga setelah mendengar cerita tentang kekuatan Bima dari para prajurutnya. Maka dia lalu memutuskan akan menghajar dan membunuh Bima setelah memakan kurban yang akan disediakan oleh Resi Hijrapa, agar tenaganya menjadi berlipat-lipat setelah memakan kurban berupa anak manusia itu.
Prabu Baka lalu memerintahkan prajuritnya untuk memata-matai Padepokan Giripurwa. Jangan sampai Bima dan keluarganya meninggalkan rumah itu, meninggalkan negara Ekacakra. Namun yang terjadi, justru para pandawa dan Dewi Kunti sengaja tinggal di padepoan itu.
Hari yang ditentukan tiba. Resi Hijrapa telah menyediakan hidangan makanan untuk para prajurit Ekacakra. Di tengah makanan itu ada hidangan istimewa berupa manusia utuh yaitu Bima yang tidur terlentang. Di atas badannya ditabrukan sayuran dan bumbu-bumbu.
Tibalah Prabu Baka di kediaman Resi Hijrapa dan para prajurit. Mereka segera menyantap hidangan yang disediakan. Prabu Baka lalu memegang tangan Bima untuk dipelintir dan mau dipatahkan, namun ternyata tangan itubegitu kuat. Dia berusaha sekuat tenagan mematahkan tanga Bima, namun Bima mempertahakan sekuat tenaga juga. Jadilah mereka adu kekuatan tangan.
Karena ternyata tangan Bima sangat kuat dan Prabu Baka tidak bisa mematahkannya seperti yang biasa dilakuakan pada kurban-kurban sebelumnya, kini mulutnya terbuka dan siap menggigit perut Bima. Namun Bima telah siaga sejak awal, maka dipukulnya dagu Prabu Baka dengan sekuat tenaga.
Prabu baka yang tidak menyangkan akan dipukul seperti itu tidak sempat menghindar. Maka kepalanya terlempar kebelakang. Badannya yang besar mengikuti dan akhirnya jatuh terjengkang.
” Kurang ajar! Siap mati ditanganku”, katanya seraya bersiap menyerang Bima.
” Sebelum menemui ajalmua, sebutkan siapa namamu dan dari mana asalmu”, sambungamnya.
” Aku panenggak pandawa, putra Prabu Pandudewanata, Bima namaku”, jawab Bima dengan mantap.
Maka perkelahian serupun tidak bisa dihindari lagi antara Bima dengan Prabu Baka. Mereka kemudian bergerak ke luar rumah agar bisa bertanding dengan bebas. Pertarungan antara mereka berlangsung sangat seru. Rakyat di sekitar Padepokan Giripurwapun menonton dengan ramainya. Mereka memberi dukungan kepada Bima, sementara para prajurit Ekacakra memberi dukungan kepada rajanya, Prabu Baka.
Akhirnya Bima bisa memenangkan pertarungan itu. Di suatu kesempatan, ketika Prabu Baka lengah, kuku pancanaka di ujung ibu jari kanannya berhasil menembus dan merobek perutnya. Tak lama kemudian Prabu Baka tewas. Para prajurit yang membantu menjadi ciut hatinya dan kemudian menyerah.
Resi Hijrapa dan rakyat Ekacakra sangat berterima kasih kepada Bima dan para pandawa beserta Dewi Kunti. Bahkan Resi Hijrapa berjanji suatu hari jika ada peperangan besar antara pandawa dan kurawa, dia bersedia menjadi kurban atau tumbal peperangan itu agar pandawa menang.
” Begitulah Resi Bisma yang terjadi di negara kami”, kata Ki Lurah Sagotra mengakhiri kisah kesaksiannya.
Semua telah mendengar cerita Ki Lurah Sagotra dengan seksama. Pihak kurawa tidak senang mendengar cerita itu, sementara pihak pandawa berterima kasih telah ada yang menjadi saksi bahwa mereka masih hidup.
Di hati Resi Bisma masih ada yang mengganjal, maka katanya.
” Ya ya, saya sudah mendengar ceritamu. Terima kasih Ki Lurah Sagotra atas kesaksianmua”, dia berhenti sebentar.
” Oh ya, kalau demikian Kunti dan para pandawa, kalian datang ke Ekacakra sebenarnya dari mana?”, tanyanya kemudian.
” Mohon ampun Resi Bisma, ceritanya panjang”, jawab Dewi Kunti.
” Coba ceritakan, aku ingin tahu”, kata Resi Bisma.
” Begini Resi Bisma”, kata Dewi Kunti mengawali ceritanya. Dia menghela nafas sebentar, seakan ingin menghimpun tenaga agar bisa menceritakan dengan lancar.
Semua yang hadir memandang Dewi Kunti dan ingin segera mengetahui apa yang ingin diceritakan. Resi Bisma, para pandawa, para kurawa dan tak lupa Ki Lurah Sagotra beserta beberapa orang yang menyertainya. Ada rasa penasaran, ada rasa gembira dan ada rasa was-was di benak mereka. Bersambung Jum’at depan……..; (Widartoks 2017; dari grup FB-ILP)- FR