P2Tel

Perjalanan terakhir

Siang ini aku bawa mobil ke rumah bercat hijau. Kubunyikan klakson tanda taksi yang dipesan siap di rumahnya. Aku tunggu beberapa menit. Tidak ada tanda2 yang akan keluar dari rumah itu. Tadinya aku mau bunyikan klason lagi tapi perasaanku mengatakan aku harus keluar, ketuk pintu rumah itu.

Aku buka pintu mobil, berjalan melalui taman di depan rumahnya. “Taman yang terawat”. Aku ketuk pintu rumahnya. Terdengar suara, “ Hanya satu menit lagi, tunggu ya”. Suaranya lemah, seperti berusia senja. Lalu aku dengar langkah kaki dan sesuatu yang diseret menuju ke pintu tempat aku berdiri.

Tak lama pintu terbuka. Seorang wanita tua berdiri di depanku. Dia kenakan baju ungu  dan kerudung warna senada. Aku tebak umur 70 an tahun.  Di sampingnya terdapat koper kecil yang diseret. Tidak ada orang lain di rumah itu. Aku perhatikan semua perabotan kosong.

 

Terlihat dus2 bekas dan meja kecil yang ditutup koran. Sepertinya pemiliknya akan meninggalkan rumah itu dalam jangka waktu lama atau tidak ingin kembali. “Apakah Anda bisa bawa koper ke mobil? ” .

Aku mengangguk lalu ambil koper dan memasukan ke  taksi, lalu kembali membantu wanita itu. Dia pegang lenganku dan kami berjalan perlahan menuju tempat aku parkir kendaraan. Wanita itu berterima kasih karena mau memegangnya saat ke taksi.

“Tidak mengapa Bu, itu seharusnya saya lakukan. Saya jadi teringat Ibu saya. Saya senang jika Ibu saya diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Jadi seharusnya saya juga melakukan hal yang sama pada Ibu”. ‘Oh, Anda anak yang baik” katanya. Aku senyum. Ketika kami sampai di taksi, wanita itu memberi aku alamat dan bertanya, “Bisakah Anda berkendara melalui pusat kota?”

“Pusat kota? Bukankah itu jadi lebih jauh kalau ke alamat ini Bu?,” jawabku cepat.
‘Oh, saya tidak keberatan. Saya tidak buru2. Saya dalam perjalanan ke panti jompo Nak”.
Aku lihat di kaca spion. Matanya berkilau seperti dia menahan tangis. Ada kesedihan di wajahnya.

“Saya tidak punya keluarga lagi Nak” lanjutnya. “Suami saya meninggal, saya tidak punya anak. Dokter mengatakan saya punya penyakit serius. Jika sendirian di rumah,  dokter khawatir dengan saya. Jadi dokter sarankan agar sisa hidup saya ini dihabiskan di panti jompo saja Nak. ”

Aku diam2 mematikan argometer. “ Ibu ingin lewat jalan apa? Biar saya antar jalan2”. Ibu itu minta melewati jalan di kota yang ramai dia tunjukkan gedung tempat dia pernah kerja sebagai sekretaris. Kami melaju melalui perumahan,  tempat ia dan suaminya pernah tinggal ketika pengantin baru.

 

Lalu dia minta berhenti di depan gudang mebel yang pernah jadi ballroom gedung kesenian tempat dia jadi penari saat gadis. Kadang2 dia minta memperlambat di depan suatu bangunan atau berhenti di sudut jalan. Dia keluar dan  duduk di situ, menatap ke sekeliling. Kadang dia sentuh tembok, atau benda yang ada disana.  Pandangannya menunjukkan rona kesedihan namun tidak mengatakan apa2.

Tanpa terasa matahari meninggalkan cakrawala. Hari berganti gelap.  Dia tiba2 berkata, “Aku lelah. Ayo pergi sekarang’. Kami melaju di keheningan ke alamat yang dia berikan. Sesampainya disana, aku lihat Itu bangunan, seperti rumah peristirahatan kecil.

 

Sekelilingnya penuh tanaman hias beraneka dan suasananya sejuk. Cocok untuk menenangkan diri.  Ada kolam ikan di dekat jalan ke pintu masuk. Kandang2 burung juga ada. Menambah semarak suasana sekitar rumah itu. Ada dua orang perempuan berbaju perawat keluar dari rumah itu. Mereka bawa kursi roda.  Terihat garis kecemasan wajah perawat. Mungkin mereka berharap  wanita itu sejak siang tadi.

Aku buka bagasi, ambil koper kecil dan membawanya menuju pintu masuk. Wanita itu duduk di kursi roda. ‘Berapa yang harus saya bayar untuk ongkos taksinya nak?’ Dia tanya, dan merogoh tasnya. “Gak usah Bu,” kataku.
“Wah gak boleh begitu, Anda kan mencari nafkah,” jawabnya.
“Insya Allah akan ada penumpang lain “. Aku menjawab yakin. Tanpa pikir panjang, aku membungkuk dan memeluknya di kursi roda. Dia balas memelukku dan pegang erat2 tanganku.
“Nak… Anda sudah memberi wanita tua ini kegembiraan tiada tara.  Anda memberi perjalanan terakhir yang menyenangkan untuk dikenang. Terima kasih semua kebaikkanmu Nak”.

Aku meremas tangannya, dan berjalan ke dalam cahaya malam yang redup. Di belakangku terdengar pintu menutup. Rasanya pilu, dingin dan menyeramkan. Seperti tertutupnya harapan dalam kehidupan.
Aku tidak ambil lagi penumpang di jalan meski ada yang minta taksiku berhenti. Aku pergi tanpa tujuan, melamun. Selama sisa hari itu, aku hampir tidak bisa bicara.
Pikiranku melayang saat pertama kali bertemu wanita itu. Bagaimana jika bukan aku sopir taksi yang menjemputnya. Bagaimana jika sopir taksi yang menjemput tidak keluar dari mobil dan hanya marah2 sambil klakson ber-kali2 memberitahu taksi sudah datang? Jika sopir taksi itu tidak mau mengantarnya jalan2 seharian? Padahal di jalan banyak penumpang yang akan pakai jasanya.

Aku akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa aku telah melakukan sesuatu yang benar selain mencari uang di jalanan dengan taksiku ini._  Bukankah hidup bagaikan roda yang berputar? Bagaimana jika wanita tua itu adalah Ibuku sendiri? Bagaimana jika wanita tua itu adalah istriku sendiri?

 

” Allah beserta orang2 yang bertakwa dan  orang2 yang berbuat kebaikan” (Q.S.16:128)
In living and loving memory of Rizka Fitri Nugraheni (5 April 1992-5 November 2016)

(Sumber dari By Deassy M Destiani)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version