Suara panggilan itu terdiam. Lanjut terdengar langkah2 orang di rerumputan hutan dan sepertinya lebih dari satu orang. Langkah itu makin lama makin dekat terdengar. Tanpa diperintah semua orang menoleh dan meperhatikan arah datangnya suara. Kemudian terlihat dedaunan pohon perdu yang tersibakkan.
Selanjutnya muncul dari balik pepohohan dan ternyata hanya seorang lelaki. Langkah lebih dari satu orang yang terdengar sebelumnya itu ternyata adalah langkah kaki kuda.
” Arjuna!”, teriak Dwi Kunti yang segera memeluk Arjuna. Puntadewa, Bima, Pinten danTangsen menyusul memeluk Arjuna yang datang menuntun kuda. Seorang prajurit mengambil tali kekang kuda itu dan mengikatnya di sebuah pohon. Sebelumnya dia melepaskan ikatan tali ke mulut kuda itu terlebih dahulu, agar si kuda bisa memakan rumput dengan nyaman.
Mereka kemudian duduk2 di perakaran pohon besar. ” Arjuna, kamu baik-baik saja?”, tanya Dewi Kunti dengan senangnya.
” Ibu atas doa restu Ibu, Kanda Puntadewa, Kanda Bima, Dinda Pinten dan Tangsen, saya tidak kurang suatu apa”, jawab Arjuna.
” Kamu baik-baik saja Arjuna, tidak diapa-apakan oleh Resi Wilawuk?”, tanya Bima.
” Tidak Kanda Bima, kita malah mendapat pertolongan penting dari Resi Wilawuk”, jawab Arjuna.
” Oh ya kanda Arjuna, bagaimana ceritanya selama dibawa Resi Wilawuk, pasti seru?”, tanya Tangsen.
” Iya iya, seru Tangsen”, jawab Arjuna pula.
” Ceritakan dong Kanda Arjuna”, pinta Tangsen.
” Hm, Arjuna selama kamu belum datang di sini banyak masalah. Apa resi Wilawuk memberi pertolongan itu bisa berguna di sini?”, tanya Bima.
” Iya Kanda Bima, justru beliau tahu apa yang terjadi di sini”, kata Arjuna.
” Kanda Arjuna, ceritakan dulu dong kisah Kanda dibawa Resi Wilawuk”, pinta Tangsen lagi.
” Iya Kanda Arjuna”, Pinten menimpali.
” Iya iya”, kata Arjuna sambil merangkul dan mengelus kepala Tangsen, adik tiri yang sudah kehilangan ayah dan bundanya itu dengan penuh kasih sayang.
” Tapi Kanda Bima sedang menanyakan hal penting, pertolongan apa dari Resi Wilawuk kepada kita”, kata Arjuna kemudian. Tangsen nampak kecewa dengan jawaban Arjuna itu.
” Ya sudah, turuti dulu permintaan adikmu Tangsen dulu”, kata Bima kemudian yang juga sangat sayang kepada Tangsen, adiknya yang sudah yatim piatu, bahkan sejak lahir.
” Ya Arjuna, coba ceritakan kepergianmu dengan Resi Wilawuk”, kata Puntadewa kemudian yang diberi anggukan tanda setuju oleh Dewi Kunti.
” Baiklah. Begini”, kata Arjuna membuka cerita.
” Waktu itu, seperti diketahui kita, saya telah diajak Resi Wilawuk ke rumahnya, namun saya tolak”.
Arjuna melanjutkan ceritanya. Karena Resi Wilawuk bersikukuh mengajak Arjuna ke rumahnya dan Arjuna menolak, maka akhirnya Rsi Wilawuk memaksa dan kemudian terjadilah perkelahian di antara mereka. Namun Resi Wilawuk ternyata sakti mandraguna dan Arjuna kalah.
Kemudian Arjuna dibawa terbang oleh Resi Wilawuk menuju ke rumahnya. Arjuna sendiri, karena mau melawan ternyata kalah dan dari awal Resi Wilawuk menyatakan bahwa niatnya baik, maka Arjuna kemudian menurut dan berbaik sangka kepada Reai Wilawuk.
Resi Wilawuk membawa terbang Arjuna ke rumahnya yang ternyata sebuah pertapaan bernama Pringcendani. Letaknya di hutan juga. Resi Wilawuk yang berujud raksasa itu sebenarnya juga merupakan jin, jadi dia merupaka raksasa jin. Raksasa di jaman wayang itu ditandai dengan mukanya dengan gigi taring yang tajam dan siap menggigit dan atau siap makan orang.
Kadang kuku tangan dan kakinya juga runcing seperti kaki harimau yang siap mencakar atau mencabik musuh. Padahal raksasa saat itu tidak semuanya jahat, tidak semuanya menggigit. Banyak raksasa yang baik hati, suka menolong dan berbudi luhur.
Di depan Pertapaan Pringcendani itu Resi Wilawuk turun dari terbangnya. Arjuna yang sepanjang perjalanan disimpan di kancing gelung, atau di hiasan di kepalanya lalu diturunkan.
” Raden, kita sudah sampai di Pertapaan Pringcendani” Resi Wilawuk menjelaskan.
Arjuna berdiam diri lihat sekeliling pertapaan itu. Pertapaan itu luas dengan beberapa bangunan rumah terbuat dari kayu semua, berupa rumah panggung namun rendah, tingginya sepaha orang dewasa. dibuat demikian agar binatang kecil seprti semut, cacing, ular, kalajengking, tidak mudah datang ke lantai bangunan. Lantai terbuat dari batang-batang kayu dan dilapisi anyaman bambu.
Atap rumah dibuat dari ijuk. Maklumlah pertapaan itu berada di tengah hutan. Beberapa cantrik atau murid pertapaan juga nampak di sana sini sedang mengerjakan kewajibannya masing-masing.
Pertapaan itu bersih. Di sana siniada pohon besar nan rindang, selain peneduh, sebagian merupakan pohon buah2an, seperti manggis, mangga, pala, mundu, nangka, kluwih, sukun dan buah lainnya.
Di sana-sini ada tanaman hias yang asri. Bunga2 yang ada di pertapaan bukan bunga yang didatangkan dari luar hutan itu, atau luar negeri, namun tetap enak dipandang mata. Tanaman puring yang diambil dari sekitar hutan, warna-warni ditata apik. Berbagai anggrek hutan ditambatkan di batang pohon dan bermekaran bunganya.
Ada anggrek merpati yang bunganya kecil, sebesar lalat, berbentuk seperti burung merpati berwarna putih dan kalau mekar berbau harum, namun hanya semalam saja mekarnya. Ada anggrek bulan asli hutan yang orang kota menyebutnya anggrek bulan sepesies berwarna putih juga.
Jenis2 anggrek berbatang panjang dan menggelembung di tengah yang disebut dendrobium juga nampak bermekaran bunganya. Ada yang merah, merah jambu, kuning sampai putih dan kombinasi dari warna-warna itu. Sebagian dari mereka berbau harum, terutama yang berwarna kuning.
Kemudian ada anggrek kelip, vanda, larat, sendok, kaljengking, beberapa anggrek tanah dan masih banyak lagi yang semuanya berasal dari hutan sekitar pertapaan itu.
Ada juga beberapa tanaman melati berwarna putih bersih dan ada putih dengan merah kekuningan di tengahnya yang berbau harum. Orang menyebutnya bunga srigading.
Bunga mawar asli hutan itu, walau warnanya hanya 2 macam, putih dan merah, namun justru semerbak mewangi. Ini berbeda dengan bunga mawar di kota yang berwarna-warni namun sepi dari wangi.
Arjuna terpesona dengan keindahan pertapaan itu. Maka sambil berjalan bersama Resi Wilawuk menuju bangunan rumah agak besar yang nampak-nampaknya merupakan pendapa kecil, tak bosan-bosannya memandang keindahan pertapaan itu.
Sepertinya ada tangan terampil, teliti dan telaten yang menangani semua taman dan tanaman itu, katanya dalam hati. Bukan hanya dengan tangan terampil, namun tentulah juga dengan hati. Jadilah taman itu taman indah di mata dan indah di hati.
” Silahkan Raden Arjuna duduk di sini dulu. Biar putri saya membuatkan minum untuk anda”, kata Resi Wilawuk, seraya beranjak ke rumah lain yang ada pertapaan itu.
Arjuna duduk sendiri di rumah pendapa yang tanpa dinding itu dan sebagai termpat berkumpul, sekalipun terkadang ada cantrik yang tidur di situ. Dia jadi terpikir akan putri Resi Wilawuk, karena tadi Resi Wilawuk mengatakan putrinya akan membuatkan minum. Karena Resi Wilawuk berujud raksasa, tentu putrinya juga berujud raseksi.
” Kasihan”, katanya dalam hati, ” Jika seorang wanita berujud raseksi “.
Betapapun dia tetap menghormati putri Resi Wialwuk walau berujud raseksi. Sebab dia adalah tamu resi
Tak lama kemudian ada seorang wanita muda nan cantik datang membawa nampan berisi minuman dan makanan. Wanita muda itu lalu menaruh dan menyajikan minuman ke depan Arjuna.
” Silahkan Raden diminum”, kata putri itu malu2.
” Oh, terima kasih” kata Arjuna memandang orang yang membawakan minum itu.
” Kalau boleh tahu anda ini cantrik atau tamu di sini?”, tanya Arjuna dengan sopan.
” Raden Arjuna, saya putri Resi Wilawuk “, jawab putri itu seraya duduk di pinggir pendapa itu. Mukanya menunduk, seakan memandangi batu yang ada di tanah, di sebelah kaki kirinya.
” Jagad dewa Batara”, kata Arjun kaget. Tidak sangka putri Resi Wilawuk berujud putri cantik, padahal dia sudah menyangka bahwa putri Resi Wilawuk tentulah berujud raseksi juga.
Tak lama kemudian Resi Wilawuk datang. ” Raden Arjuna perkenalkan ini putri saya. Namanya Dewi Jimambang. Dia lahir dan besar di pertapaan ini, jadi keseharian dia adalah merawat taman, tanaman yang ada di pertapaan ini dibantu oleh para cantrik”.
“Pantesan pertapaan penuh tanaman asri dipandang”, jawab Arjunanya melirik ke Dewi Jimambang.
Yang dilirik tersipu. Tanpa disadari pipinya merah merona. Merah alamiah. Merah meronanya pipi ketika tersipu malu ini di jaman lain dibuat tiruannya dan banyak dipakai wanita di berbagai acara agar pipinya selalu memerah. Namun kadang pewarna pipi tiruan itu dibuat dari bahan berbahaya, akibatnya jika sering dipakai di siang hari pipi jadi hitam dan tidak semulus aslinya.
Hal ini tentu berbeda dengan merahnya pipi Dewi Jimambang yang sebenarnya akibat dari darah yang mengalir dan memenuhi pipi akibat rasa tersanjung di dalam hatinya, sementara kulit pipinya kuning langsat.
Arjuna senang melihat Dewi Jimambang tersipu malu, maka tak disadari dia memandang terus ke putri itu, senyumnya muncul menyembul tanpa dirasa. Dewi Jimambang pipinya menghangat sebentar, akibat darah yang mengalir ke sana, tertunduk malu. Tanpa dikehendakinya, tiba2 matanya seperti tanpa kendali melirik ke wajah Arjuna.
Namun pada saat itu mata Arjuna masih memandangi dia. Maka yang terjadi kemudian, kedua insan yang masih muda bertemu pandang. Kedua hatinya itu terkesiap seketika. Dadanya berdesir. Jantungnya berdegub kencang. Pipinya terasa hangat, itu pertanda memerah jika dilihat orang lain.
Resi Wilawuk yang sudah banyak makan asam agar, segera mengetahui bahwa kedua anak muda itu telah dijalari rasa cinta. Rasa yang menurut sebuah lagu, datang dari mata lalu turu ke hati. Kemudian seluruh tubuh dirasuki, dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Maka kemudian kata Rei Wilawuk. ” Kalau Raden ingin me-lihat2 pertapaan ini, biarlah nanti sore diantar putri saya, setelah beristirahat dan membersihkan diri”, kata Resi Wilawuk.
” Kini saya pamit, mau memeriksa pertapaan dan menemui para cantrik yang lama saya tinggalkan ini”. Sesaat kemudian dia berlalu dari tempat itu.
” Maaf Raden, saya pamit dulu, mau melanjutkan memasak”, kata Dewi Jimambang yang segera bangkit berdiri terburu-buru, seburu-buru denyut jantungnya.
” Bapa Resi, tunggu!”, katanya seraya berlari mengejar Resi Wilawuk.
Sekalipun Dewi Jimambang berusaha lari kencang, namun hatinya tertambat di pendapa itu. Meskipun kakinya menapak bumi, namun hatinya yang ber-bunga2 serasa melayang di udara. Justru karena itu dia hampir jatuh, karena saat berlari itu kakinya terjerat rerumputan. Tubuhnya oleng, namun untunglah tidak sampai terjatuh.
Arjuna ter-bengong2 menyaksikan kelakuan Dewi Jimambang itu. Tanpa disadarinya dia tersenyum sendiri, sementara matanya terus mengikuti dan memburu langkah lari Dewi Jimambang, yang kemudian hilang di balik rimbunnya rumpun kembang. Bersambung Jum’at depan…….; (Widartoks 2017; dari grup FB-ILP)- FR