// Cerita ‘Waktoe Itoe’ ini cerita tentang Indonesia di waktu yang lalu. Kita batasi paling tidak 40 tahun yang lalu ya. Anda juga sangat ditunggu cerita pengalamannya. Cerita bisa apa saja, pokoknya menarik. Bisa juga mengambil cerita sendiri, orang tua, kakek-nenek, guru, dsb. //
Di sisi utara kota saya jalan raya ke kota2 lain. Di sana ada Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan doeloe terbesar di Indonesia. Kampung kelahiran saya, letaknya di depan RSJ itu berjarak 1 Km, kalau ditarik garis lurus. Tapi antara RSJ itu dan kampung saya ada persawahan dan sungai curam, maklum sungai pegunungan. Jadi dari kampung saya ke RSJ itu harus memutar jalan yang jauh.
Jaman dulu, dari desa saya RSJ itu kelihatan, termasuk kendaraan yang lewat dan suaranya juga. Kalau sekarang sudah terhalang rumah2.
Di desa saya yang menghadap ke RSJ itu banyak kebon bambu. Doeloe, kalau orang memotong pohon bambu, ujung pohon, pucuknya 2-4 mt dipotong dan ditinggal saja. Mengapa? Bentuknya tidak lurus dan banyak cabang2. Mau dibawa pulang (dari kebon) sulit, apalagi kalau dari kebon, akan tersangkut ke sana sini, ke pohon lain. Selain itu jaman dulu orangnya belum banyak.
Pucuk pohon ini dibiarkan dan ditinggal saja di kebun. Perlu proses lama sampai rontok. Maka pucuk pohon ini dianggap sampah, limbah bambu dan disebut “sangkrah”. Maka ada desa dengan nama itu. “Sangkrah” ini kadang dibakar saja oleh penduduk, lumayan untuk memanaskan badan di pagi hari.
Di jaman perjuangan (1945-1949), desa kami sering didatangi Belanda, karena sering jadi tempat pejuang di sana. Rumah orang tua saya pernah menjadi tempat mengungsi orang kota di jaman kles (“clash”) Belanda kedua, (1949). Maka tahun 1949 itu suasasa tegang.
Jalan di depan RSJ itu sering dipakai pasukan Belanda berpatroli baik di sekitar kota saya, dan ke kota2 lainnya, karena markas Belanda memang ada di kota saya. Pada suatu hari ada warga desa saya membakar banyak “sangkrah” alias pucuk bambu kering.
Tempatnya di kebun bambu yang menghadap ke RSJ tadi. “Sangkrah” kering mudah terbakar. Nah, ruas-ruas pucuk bambu itu terkena panas lalu meletus. Kalau yang kecil berbunyi “ter ter ter”. Kalau ruasnya agak beasr bunyinya “tar tar tar”.
Mungkin karena banyak yang dibakar, menimbulkan suara ramai “tar ter tar ter”. Ceritanya saat itu ada Belanda berpatroli. Begitu sampai di depan RSJ tadi, dengar suara “tar ter tar ter”, dikira diberondong senjata oleh tentara pejuang Indonesia dari kampung saya. Maka Belanda lalu membalas dengan memberondongkan senjata otomatis yang disebut “bren” Tentu senjata beneran.
Maka orang satu kampung segera berlarian kocar-kacir menyelamatkan diri ke kampung lain. Untunglah tidak ada satupun yang terluka. (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR