Jakarta-Afi Nihaya Faradisa jadi perbincangan netizen. Setelah menceritakan pengalamannya bereksperimen tak menggunakan gadget beberapa hari, kali ini dia bahas mengenai indahnya keberagaman di Indonesia. Tulisannya itu menuai banyak pujian.
Ditilik dari laman FB-nya, Selasa (16/5/2017), tulisan Afi berjudul ‘Warisan’ itu dibagikan sebanyak 8.214x dan dapat reaksi dari 18 ribu netizen. Lewat tulisannya, dia ajak seluruh bangsa Indonesia menjaga toleransi, khususnya di media sosial. Siswi SMA Gambiran, Banyuwangi, Jatim, itu menyoroti soal identitas, baik agama, suku, ras, maupun kebangsaan, adalah warisan dari orang tua.
Dia ajak semua WNI menghayati Pancasila, UUD-1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sehingga kehidupan toleransi hidup beragama terjaga. “Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan ke anak-cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang2nya saling mengunggulkan, meributkan warisan masing2 di medsos.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan,” tulis Afi. “Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama2 berpikir,” sambung Afi. Di kolom komentar, Afi minta agar tulisannya itu tidak dihubungkan dengan Pilkada Jakarta. Tulisan itu se-mata2 membenahi landasan berpikir.
“Ini tulisan untuk membenahi landasan berpikir kita, jangan apa2 dihubungkan ke Pilkada DKI. Mengutip perkataan John Dewer, ‘Pikiran itu seperti parasut; hanya berfungsi ketika terbuka,'” kata dia. Tulisan Afi itu mengundang pujian netizen. Banyak yang mengapresiasi kearifan Afi di usianya yang belia.
Super sekali Afi tulisanmu. Saya suka terutama di bagian ‘ribut di medsos’… tepat sekali, di dunia nyata kita semua baik2, namun masuk di medsos kok panas. Medsos butuh banyak tulisan sejenis yang kamu tulis ini.
Dingin, Adem, Harmonis. Baru aja tadi pagi saya mau memutuskan OFF FB, mau detox dari Postingan2 Panas di FB. Mau berhenti share apapun di FB. Tapi rasanya saya akan ubah, saya akan share Tulisan2 yang dingin2 seperti tulisanmu, supaya semua teman di FB bisa pada adem dah.. ijin share ya,” tulis Ming Ling.
“Kereeennn nihh tulisannya. Smogaa Indonesia segera pulihh dan semoga yg terjadi saat ini adalah Fase Pemulihan ke arah yg jauh lebih baik..Ammiinn #staypositif,” tulis Andromeda Generali.
Berikut tulisan lengkap Afi:
Warisan
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang2 yang memiliki warisan beda2 karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing2 umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.”
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja “iman”. Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali coba menjadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, “Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya”. Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak. Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, tiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolak ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir-(© Afi Nihaya Faradisa; ams/fjp; Aditya Mardiastuti; https://news.detik.com/berita/d-3502343/tulisan-siswi-sma-banyuwangi-soal-keberagaman-tuai-banyak-pujianFatchurR